Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengunjungi Klan Bai II
Zhang Wei menghentikan langkahnya ketika suara dalam menggema langsung ke dalam kesadarannya.
“Zhang Wei… datanglah ke Aula Leluhur. Aku telah menunggumu.”
Itu adalah suara Bai Huo—tenang, namun bergema dalam setiap lapisan kesadaran, seolah datang bukan dari satu arah, melainkan dari kedalaman bumi itu sendiri. Suara spiritual yang hanya bisa dikirimkan oleh makhluk kuno dengan penguasaan jiwa di atas rata-rata, dan hanya bisa diterima oleh mereka yang memiliki inti kesadaran yang tak terikat oleh hukum biasa.
Zhang Wei menoleh sekilas ke arah timur, lalu melanjutkan langkah. Tak butuh waktu lama sebelum seorang murid muda klan Bai berlari menghampirinya dengan wajah sedikit pucat.
“Tu-tuan Muda Zhang… saya diperintahkan untuk mengantar Anda ke Aula Leluhur.”
Zhang Wei hanya mengangguk. Murid itu menggigit bibirnya pelan lalu berjalan cepat di depannya, menuntun dengan sedikit rasa canggung. Mereka melewati beberapa aula latihan dan pelataran teknik. Masing-masing ruang memancarkan aura berbeda—tekanan pedang dari berbagai generasi. Di sepanjang jalur itu, para murid lain yang sedang berlatih perlahan menghentikan gerakan mereka satu per satu.
Satu-satu.
Lalu dua, tiga, dan semakin banyak kepala menoleh.
Bisik-bisik mulai terdengar, beberapa penuh rasa hormat, sebagian penuh keraguan, sebagian lain menyimpan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
“Itu dia… Zhang Wei, kan?”
“Orang yang menghancurkan lima kaisar…”
“Dengar-dengar, dia pendekar pedang juga… tapi, levelnya berbeda…”
“Katanya… dia berusia 17 tahun? Tapi kenapa auranya seperti legenda telah lama yang hidup?”
Beberapa tetua yang sedang duduk di balkon pun ikut berdiri dan mengamati sosok yang berjalan perlahan melewati mereka. Beberapa dari mereka menyaksikan langsung betapa mengerikannya Zhang Wei, dan kehadiran Zhang Wei diundang secara langsung oleh leluhur mereka itu bukanlah perkara ringan. Setiap orang di klan ini memahami… bahwa Bai Huo hanya akan mengundang seseorang ke Aula Leluhur jika yang bersangkutan menyimpan sesuatu dari zaman yang nyaris terlupakan.
Ketika langkah Zhang Wei semakin mendekati bangunan besar di ujung timur kompleks—sebuah aula kuno dengan pintu batu hitam dan pilar berukir pusaran qi yang melingkar seperti naga tidur—semua suara seakan lenyap tertelan waktu. Di depan aula itu, dua penjaga bersenjata pedang giok putih menunduk dalam keheningan.
Murid yang membimbingnya hanya menunduk. “Sampai di sini, Tuan Muda…”
Zhang Wei menatap pintu besar itu. Suasana di sekitarnya berbeda. Udara lebih pekat, lebih berat. Seolah seluruh masa lalu dan kenangan tentang klan ini terkunci di balik gerbang itu, dijaga oleh pedang-pedang dari generasi yang tak lagi bernama.
Sret—
Pintu batu terbuka perlahan tanpa disentuh. Qi kuno merembes keluar dari celahnya, menyapu rambut Zhang Wei perlahan seperti tangan tak terlihat.
Ia melangkah masuk ke dalam.
Dan bayangan panjangnya tertelan cahaya lembut dari puluhan obor spiritual yang menyala dalam keheningan, menuntunnya menuju sosok qilin tua yang sedang duduk bersila di tengah aula, dikelilingi oleh pusaran lambat api merah keemasan. Bai Huo membuka matanya perlahan. Tatapannya menembus ruang, seolah sudah lama menanti momen ini.
“Aku kira kau tak akan datang, Zhang Wei…” bisiknya pelan.
Zhang Wei melangkah mendekat, membiarkan aura tenang dari api merah keemasan yang mengelilingi Bai Huo menyentuh kulitnya seperti desir angin hangat yang melintasi musim dingin. Ia berdiri tepat di hadapan sang qilin tua, matanya menatap lurus, namun tak ada tekanan ataupun sikap merendahkan dalam sorotnya. Hanya penghormatan yang sunyi, dan tekad yang tak pernah surut.
“Bagaimana mungkin aku tidak datang?” ucapnya perlahan, suaranya dalam namun tetap tenang. “Masih banyak hal yang belum aku ketahui… dan siapa lagi yang bisa kuandalkan jika bukan engkau, makhluk tua yang telah hidup lebih lama dari banyak sejarah yang pernah dituliskan.”
Bai Huo tertawa kecil, suara tawa itu serak namun mengandung kehangatan yang aneh, seperti percikan api di dalam tungku batu.
“Mulutmu memang tak berubah, Zhang Wei. Kau tetap saja menyebutku makhluk tua.”
Zhang Wei mengangkat bahu. “Itu pujian.”
Ia lalu melirik ke sekeliling aula, seolah mencari sesuatu.
“Ngomong-ngomong, aku tak melihat Bai Chen. Padahal kalau dia tahu aku datang, pasti dia sudah membuat keributan, menantangku beradu pedang seperti biasa.”
Nada bicaranya ringan, hampir seperti bercanda. Namun ada ketulusan yang terpancar dalam nada suaranya, mencerminkan kedekatan dan rasa hormat yang ia miliki terhadap pemuda konyol itu.
Bai Huo tersenyum, ekspresinya menjadi lembut. “Dia tidak ada di sini karena sedang dalam kultivasi tertutup. Beberapa hari lalu dia berhasil menstabilkan fondasi Martial Ancestor puncak… dan kini mencoba menembus ke ranah Martial Sovereign.”
Mata Zhang Wei memancarkan kilatan yang berbeda, nyaris tak terlihat tapi cukup bagi Bai Huo yang duduk di seberangnya untuk menangkapnya.
“Begitu cepat,” gumamnya pelan, lalu mengangguk perlahan. “Aku tahu dari awal, dia memang berbakat. Meski mulutnya besar, hatinya jujur dan tekadnya kuat. Dia layak menyandang nama klan Bai dan berdiri sejajar dengan para pendekar agung.”
Ia berhenti sejenak, lalu mendesah. “Aku senang mendengarnya. Rasanya seperti melihat seorang saudara yang perlahan menemukan jalannya sendiri.”
Bai Huo mengamati Zhang Wei dalam diam, melihat bagaimana ekspresi pemuda itu tak dibuat-buat. Bukan kebanggaan kosong, melainkan ketulusan yang hanya bisa muncul dari mereka yang benar-benar memahami arti berjalan di jalur pedang—jalan kesunyian, pertarungan, dan pengorbanan.
“Dia selalu menganggapmu sebagai saingan dan panutan,” ujar Bai Huo perlahan. “Dan meski dia tak pernah mengatakan itu langsung… aku tahu, semangatnya selalu terbakar ketika mendengar namamu.”
Zhang Wei tersenyum samar, lalu duduk bersila tepat di depan Bai Huo, membiarkan api spiritual itu mengelilingi mereka dalam lingkaran keheningan.
“Kalau begitu,” katanya tenang, “sebelum ia bangun dan menantangku lagi, mungkin sebaiknya senior ceritakan lebih banyak tentang dunia ini. Tentang masa lalu, tentang zaman perang kuno, dan hal-hal yang mungkin bisa membantuku dalam perjalananku.”
Api di sekeliling mereka bergetar pelan, seolah merespon permintaan itu. Bai Huo menatap dalam-dalam mata kelabu di hadapannya, lalu menutup matanya perlahan. Saat ia kembali membuka, kilatan merah menyala samar di dalam pupilnya.
“Baiklah, jika kau sudah siap… maka dengarkan dengan baik, karena apa yang akan kuberitahukan bukan hanya cerita. Ini adalah luka. Dan luka itu belum benar-benar sembuh dari dunia ini…”
tetap semangat berkarya Thor, msh ditunggu lanjutan cerita ini