Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Boleh Melaut
“Aku mau lobster bakar madu, Mas.” Kata Inaya setelah melewati sebuah warung makan seafood.
“Sekarang?”
“Untuk makan malam nanti.”
“Oke! Sepulang kamu kerja nanti, kita makan lobster bakar madu.” Kata Weko dengan semangat, sedangkan Inaya hanya tersenyum.
Sesuai dengan janji, Weko membawa Inaya ke warung seafood langganan untuk membeli lobster bakar madu permintaan sang istri. Sayangnya, di sana tidak menyediakan menu tersebut.
Weko akhirnya membawa Inaya berkeliling mencari warung yang menyediakan menu tersebut. Akan tetapi, sampai saat adzan maghrib berkumandang, mereka belum juga menemukan warung yang menjual lobster bakar madu.
“Kita pulang dulu, Mas. Badanku sudah gerah sekali.” Kata Inaya yang sudah menghabiskan es bobanya.
“Iya. Kita pulang dulu. Aku akan bertanya anak-anak, mungkin saja di antara mereka ada yang tahu dimana warung yang menjual lobster bakar madu.” Inaya mengangguk.
Keduanya pulang ke rumah dan mandi bergantian. Setelah melaksanakan sholat maghrib, Weko menelepon teman-temannya satu-persatu. Semua orang sudah ia hubungi tetapi tidak ada yang tahu, tersisa Giga. Weko berharap Giga tahu dimana yang menjual lobster bakar madu, supaya Inaya tidak marah lagi kepadanya.
“Ada! Kamu ke warung seafood yang ada di di perbatasan kota arah barat. Di sana ada beberapa warung yang menjual lobster bakar.”
“Lobster bakar madu.” Weko menekankan apa yang dicari.
“Salah satu dari mereka menjualnya.”
“Baiklah! Terima kasih.”
Weko segera mengabarkan kepada Inaya yang masih membaca Al-Qur’an jika dirinya sudah tahu dimana warung yang menjual lobster bakar madu.
Inaya tersenyum dan segera bersiap. Weko memintanya menggunakan jaket agar tidak terkena angin malam saat di jalan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, mereka sampai di perbatasan. Di sana ada beberapa warung yang menjajakan seafood. Weko memarkir motornya dan meminta Inaya menunggunya sementara ia bertanya kepada siapa di antara mereka yang menjual keinginan istrinya.
“Ayo, Dek!” Weko mengajak Inaya masuk ke warung yang ada di Tengah.
Weko sudah memesan lobster yang diinginkan Inaya, sehingga tak lama setelah keduanya duduk, seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka.
Tatapan mata Inaya berbinar, melihat lobster yang ada di hadapannya. Weko tersenyum melihatnya dan segera memisahkan daging dengan cangkangnya, lalu menyuapkannya. Inaya terlihat seperti anak kecil yang sedang disuapi oleh ayahnya.
Satu porsi lobster habis, Inaya juga sudah tidak berselera. Weko ingin membungkusnya untuk dibawa pulang, tetapi Inaya tidak mau jika sudah dibungkus, sehingga Weko yang memakannya.
“Mau langsung tidur?” tanya Weko saat mereka baru saja masuk rumah.
“Iya, Mas. Aku ngantuk.”
“Tidak sholat dulu?” Inaya mengangguk.
Selesai melaksanakan sholat, Inaya merebahkan tubuhnya di tempat tidur, disusul suaminya. Inaya merapatkan tubuhnya di dekat Weko yang mana membuat suaminya tersenyum lebar. Segera Weko memberikan lengannya untuk digunakan sang istri.
“Kamu sudah memaafkanku, Dek?” bisik Weko.
“Sudah. Tapi tolong jangan diulangi lagi!”
“Iya. Aku janji!” Weko tersenyum seraya mengecup kening Inaya yang tidak menolaknya.
Malam itu Weko sudah bisa bernafas lega karena Inaya sudah tidak mengabaikannya lagi. Keduanya kembali tidur saling memeluk tidak seperti beberapa hari yang lalu, dimana Inaya memunggunginya.
“Mas, bangun!”
“Hmmm.. Jam berapa?”
“Jam 2.”
“Kamu mau ke kamar mandi?” Inaya menggeleng.
“Apa mau sholat malam?”
“Aku mau martabak telur.”
“Hah?” Weko mengucek matanya tidak percaya.
“Besok saja, bagaimana? Jam segini sudah tidak ada yang jual.”
“Aku maunya sekarang!” Weko menganggukkan kepalanya.
Setelah mencuci muka, Weko pergi mencari martabak keinginan istrinya. Setelah menyusuri jalanan, Weko sampai di alun-alun kota. Ia memutari alun-alun, berharap masih ada penjual martabak telur di sana.
“Martabak telurnya masih tidak?”
“Masih, Mas. Mau telur ayam atau telur bebek?” Weko tidak bisa menjawab.
Ia lupa bertanya martabak telur apa yang diinginkan Inaya. Mau menelepon tidak bisa karena dirinya lupa membawa ponsel. Akhirnya ia membeli martabak telur ayam dan martabak telur bebek masing-masing satu.
Sampai di rumah, Inaya menyambutnya dengan senyuman. Saat martabak dibuka, aromanya membuat Inaya hampir menitikkan liur. Tetapi Ketika ia menggigit potongan martabak telur bebek, Inaya mengernyitkan alisnya dan melihat potongan yang ia gigit. Ada potongan sayur kol di sana. Ia pun meletakkan kembali martabak di tangannya.
“Kenapa, Dek?”
“Mas saja yang habiskan.” Kata Inaya yang minum air putih.
“Apa rasanya tidak enak?”
“Enak.”
“Lalu kenapa tidak di makan?”
“Ada kolnya. Aku tidak mau.” Weko sebisa mungkin menahan amarahnya.
Ia ingin marah karena istrinya tidak menghargai perjuangannya membeli martabak dini hari. Tetapi ia tidak mau membuat istrinya yang sedang mengidam mendiamkannya lagi.
“Setidaknya, habiskan satu potong. Kasihan bayi kita yang menginginkan martabak.” Bujuk Weko.
Inaya mengangguk dan menghabiskan sisa potongannya. Setelah itu ia kembali tidur. Weko yang tidak berselera makan, segera menyusul Inaya.
Beberapa hari kemudian, Weko sudah bersiap untuk kembali melaut. Anehnya, Inaya seolah tidak ingin melepaskan suaminya. Morning sicknessnya semakin parah sehingga Weko harus selalu berjaga di dekatnya. Inaya sampai izin dari pekerjaannya.
“Apa tidak sebaiknya kamu resign sekalian?” tanya Weko.
“Resign?”
“Iya. Kalau kamu resign, kamu bisa fokus dengan kandunganmu.”
“Aku tidak ada kegiatan kalau kamu ke laut, Mas.”
“Benar, juga.”
“Tidak bisakah Mas tidak ke laut minggu ini?” tanya Inaya yang menggenggam tangan suaminya.
“Kalau aku tidak melaut, bagaimana aku menafkahimu?”
“Hasil yang kemarin masih cukup untuk bulan ini, Mas.”
“Aku mau membeli mobil. Saat perutmu semakin besar, lebih nyaman mengendarai mobil saat bepergian. Jadi, aku akan mengumpulkan uang untuk membelinya. Bekas juga tidak masalah.”
“Tapi aku tidak mau kamu melaut kali ini, Mas! Entah mengapa aku tidak rela.”
“Kenapa? Apa kamu takut tidur sendirian, sekarang? Atau kamu mau kita bermesraan terus?”
“Bukan, Mas! Aku hanya tidak ingin kamu melaut kali ini. Kalau bulan depan, boleh!”
“Tapi aku sudah berjanji akan berangkat.” Inaya diam tidak menjawab.
Entah mengapa ia benar-benar tidak rela suaminya pergi melaut kali ini. Perasaannya tidak tenang saat tahu suaminya akan berangkat minggu depan. Apa karena pengaruh hormon kehamilan, atau karena ia tidak mau sendiri, Inaya tidak tahu alasan pastinya.
Weko yang merasa istrinya aneh, tidak terlalu memikirkannya. Ia mengira, Inaya menjadi sensitifkarena perubahan hormon kehamilan.
Terakhir kali karena masalah martabak telur, Weko bertanya kepada Sintya yang sudah berpengalaman sehingga dirinya bisa menekan amarahnya saat Inaya menolak apa yang telah diinginkannya.