Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Dibalik Layar
Senin pagi yang biasanya riuh oleh deretan to-do list dan brainstorming kini berubah hening. Suasana kantor Kartanegara Beauty seolah ditarik ke bawah tekanan yang tak terlihat. Tidak ada obrolan ringan di pantry, tidak ada candaan menyambut hari baru.
Semua tahu—penyelidikan internal sedang berlangsung.
Setelah kabar bocornya file strategi kampanye menyebar ke manajemen, Gilang langsung meminta divisi legal dan IT melakukan audit data. Siapa yang terakhir mengakses dokumen, kapan, dan ke mana dikirim, semua sedang dilacak. Email dikaji ulang, file server ditelusuri, dan semua yang terlibat dalam proyek dimintai keterangan.
Tari duduk di ruang kerja divisi kreatif dengan punggung tegang. Rega belum masuk sejak Jumat lalu, dan Nana bahkan belum menyapanya. Hanya Restu yang sesekali menenangkan dengan pandangan tenang, meski tak bisa menyembunyikan keresahannya.
Setiap langkah Tari terasa diawasi. Setiap tatapan—meski pura-pura sibuk—mengarah padanya.
Sore harinya, Tari menerima email resmi: panggilan klarifikasi dari tim legal internal. Ia diminta hadir pukul 16.00 di ruang audit lantai tujuh.
Di ruang audit, Gilang sudah menunggu bersama dua orang dari divisi hukum. Ia tampak tenang, tetapi tatapannya lebih tajam dari biasanya. Tari duduk di seberangnya, mencoba menjaga sikap.
“Kami tidak menganggap kamu bersalah, Tari,” ujar salah satu perwakilan legal. “Ini prosedur. Kami perlu mendengar langsung dari kamu—kapan terakhir mengakses dokumen, apakah kamu pernah mengirimkannya ke pihak luar, dan sebagainya.”
Tari menjelaskan dengan jelas. Ia hanya bekerja di komputer divisi, tidak pernah membuka dokumen dari luar kantor, dan tidak pernah mengirim dokumen final apa pun ke alamat email mana pun selain ke Restu dan sistem internal.
Gilang mendengarkan tanpa menyela. Namun sesekali ia mencatat di tablet kecil di depannya.
Setelah wawancara selesai, Gilang menatapnya lebih lama dari biasanya.
“Kalau kamu benar, aku akan pastikan namamu dibersihkan,” ujarnya pelan.
Tari mengangguk. “Aku tidak pernah bohong, Pak Gilang.”
Malam harinya di rumah besar Pondok Indah, ruang makan terasa lebih formal dari biasanya. Tari makan malam bersama Bu Tirta dan Gilang. Tak ada pelayan yang ikut duduk—hanya tiga orang di meja bundar dengan hidangan lengkap di hadapan mereka.
Baru beberapa suapan, Bu Tirta membuka suara.
“Aku dengar file kampanye bocor.”
Tari langsung menunduk. “Saya sudah memberikan klarifikasi kepada tim audit, Bu. Saya tidak melakukannya.”
Bu Tirta menatapnya dalam. Wajahnya tenang, tapi penuh pertimbangan.
“Aku percaya kamu,” katanya akhirnya. “Kalau kamu bersalah, kamu tidak akan menatap mataku dengan jujur seperti itu.”
Tari menghela napas lega, namun belum sempat mengucapkan terima kasih, Bu Tirta melanjutkan, “Dan aku juga tahu siapa yang kemungkinan besar ada di balik ini.”
Ia menoleh ke Gilang.
“Vanya.”
Gilang tidak terkejut. Tapi ia juga tidak langsung menjawab.
“Sejak awal, aku tahu dia bukan orang baik. Aku biarkan saja dia bermain di luar perusahaan karena kupikir kamu sudah menutup pintu untuknya, Gilang.”
“Sudah kututup sejak lama,” jawab Gilang pelan.
“Bagus. Karena mulai sekarang, aku tidak ingin nama Vanya ada lagi dalam satu proyek pun dengan Kartanegara.”
Ia kemudian menoleh pada Tari. “Perjalanan ke Denpasar akan tetap kamu jalankan. Aku ingin kamu tetap mendampingi sebagai wakil tim kreatif.”
Tari menelan ludah. “Baik, Bu.”
Lalu, Bu Tirta kembali menatap Gilang. “Dan kamu, aku minta selesaikan kasus ini sebelum akhir minggu. Audit selesai. Ambil keputusan. Minggu depan kamu menyusul kami ke Bali. Ada pertemuan investor penting.”
Gilang hanya mengangguk, tapi dalam dadanya... ia tahu tekanan itu lebih dari sekadar kasus bocornya file. Ini adalah ujian kepercayaan, sekaligus pengukuhan posisi.
Bab 13 – Keberangkatan ke Bali
Suasana pagi itu terasa berbeda. Tari berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya cukup rapi dan formal untuk sebuah perjalanan kerja. Blazer krem dipadukan dengan rok span hitam, rambut dikuncir rapi, dan riasan tipis memperlihatkan sisi profesionalnya. Walaupun jantungnya masih diliputi ketegangan akibat rumor dan penyelidikan internal, hari ini ia harus fokus.
Bandara Soekarno-Hatta ramai seperti biasa. Tari datang lebih awal bersama Mba Rahma, asisten pribadi Bu Tirta yang selama ini lebih sering berada di balik layar. Perempuan paruh baya itu ramah tapi pendiam, tak banyak bicara kecuali saat ditanya. Ketika mereka tiba di ruang tunggu, Bu Tirta sudah ada di sana, mengenakan setelan abu-abu lembut dengan tas tangan kecil dan kaca mata hitam.
“Kita duduk di business class,” ucap Bu Tirta tanpa basa-basi. “Kamu duduk di sampingku, Tari.”
Tari hampir tersedak. “Maaf, Bu... saya pikir, saya akan di belakang bersama Mba Rahma.”
“Rahma di kelas ekonomi. Aku ingin bicara denganmu di perjalanan.”
Tak ada ruang untuk menolak. Tari hanya bisa mengangguk, lalu mengikuti langkah elegan Bu Tirta menuju boarding gate.
Selama di pesawat, mereka tak banyak berbicara. Tari sibuk membaca ulang materi kampanye, mencoba menguatkan hatinya. Sementara Bu Tirta sesekali memandang ke jendela atau menyisip teh hangat yang disediakan pramugari. Keheningan itu bukan dingin, tapi penuh pengamatan. Bu Tirta seperti sedang menilai Tari tanpa mengucapkan satu pun kata penilaian.
Hotel Mulia tampak megah saat mereka tiba. Kompleksnya luas, dengan pemandangan langsung ke laut. Tari mengangkat kepalanya, menatap baliho-baliho besar yang menampilkan wajah Bu Tirta sebagai salah satu pembicara utama konferensi bisnis berkelanjutan bertema "Cinta Bumi".
“Kita di villa,” ucap Bu Tirta saat check-in. “Tiga kamar. Aku, kamu, dan satu cadangan. Rahma akan tinggal di kamar hotel terpisah, di kompleks ini juga.”
Tari mengangguk pelan. Di dalam hati, ia semakin sadar bahwa Bu Tirta perlahan mulai membawanya masuk ke lingkaran lebih dalam.
Villa yang mereka tempati luar biasa. Tiga kamar mewah dengan kolam pribadi, balkon menghadap pantai, dan ruang tengah yang seperti suite kerajaan. Tapi semua kemewahan itu tidak bisa menenangkan kegugupan Tari. Esok hari adalah konferensi besar, dan ia akan mempresentasikan kampanye yang telah dirombak setelah insiden pencurian konsep oleh Vanya.
Malam sebelum konferensi, mereka tidak makan malam di dalam vila. Bu Tirta memutuskan makan malam di restoran hotel yang menghadap langsung ke laut. Meja mereka berada di sisi paling pinggir, diterangi lampu temaram dan suara debur ombak sebagai latar.
Gilang tiba malam itu, langsung dari Jakarta. Ia bergabung di meja makan dengan kemeja santai dan wajah yang sedikit lelah. Tari duduk di antara Bu Tirta dan Gilang, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Setelah makanan disajikan dan obrolan ringan berlalu, Bu Tirta menatap Gilang.
“Aku tahu kamu baru datang dan pasti lelah. Tapi aku butuh kamu di sini minggu depan,” katanya.
Gilang mengangguk singkat. “Saya akan pastikan semua urusan di Jakarta beres dulu, Bu.”
Bu Tirta menyisip teh, lalu menatap laut sebelum kembali bicara. “Tari akan butuh bimbingan. Aku bisa melihat potensinya, tapi kamu tahu sendiri, posisi seperti ini tak bisa hanya diisi oleh semangat. Dia harus kuat. Dan kamu, Gilang... kamu yang paling tahu bagaimana menguatkan seseorang di bawah tekanan.”
Tari menoleh pelan ke arah Gilang. Wajah pria itu yang semula datar, kini berubah menjadi muram. Bukan karena marah. Tapi karena mengerti apa artinya diminta menempa orang lain, seperti dulu dirinya ditempa.
Gilang hanya mengangguk pelan. “Baik, Bu.”
Tak ada percakapan lebih lanjut setelah itu. Namun Tari bisa merasakan sesuatu berubah di antara mereka. Ada beban yang dipindahkan tanpa suara. Dan ia bisa melihat, untuk sesaat, sisi rapuh Gilang yang tersembunyi di balik raut dinginnya.
Pagi konferensi tiba. Hotel penuh dengan pebisnis, akademisi, dan media. Banner bertema lingkungan tergantung di berbagai sudut ruangan. Tari berdiri di belakang panggung, menunggu gilirannya, sementara Bu Tirta sudah duduk di kursi kehormatan bersama pembicara lain.
Namun beberapa menit sebelum Tari naik ke panggung, panitia mendekat.
“Maaf, Mbak Tari. File presentasinya tidak bisa dibuka dari sistem kami. Bisa tolong kirim ulang via flashdisk?”
Tari pucat. Flashdisk itu... ada di tas laptopnya. Di villa.
Tanpa pikir panjang, ia meminta tolong salah satu panitia untuk meminjam motor hotel. Ia melaju kembali ke villa, menahan panik, menahan takut. Lima belas menit kemudian, ia kembali ke hotel dengan napas ngos-ngosan. Flashdisk di tangan.
Ketika akhirnya ia naik ke panggung, jantungnya masih berdebar. Tapi ia menarik napas, berdiri di depan layar besar, dan mulai bicara.
“Cinta pada bumi... bukan hanya soal alam. Tapi soal keberanian untuk berubah, memperbaiki, dan bertumbuh dari luka yang pernah kita buat.”
Ia mempresentasikan kampanye yang kini telah diperbarui: narasi baru, visual baru, strategi baru. Tak ada yang tersisa dari konsep lama yang sempat dicuri. Ini murni suara timnya. Suara dirinya.
Ketika presentasi selesai, ruangan hening sejenak, lalu tepuk tangan meriah bergema.
Tari menunduk, mengucap terima kasih. Ia berjalan turun panggung, dan saat itu, Bu Tirta bangkit dari kursinya.
“Sebelum acara dilanjutkan,” ucapnya di mikrofon, “Saya ingin memperkenalkan seseorang.”
Semua mata menoleh.
“Dia bukan hanya anggota tim kreatif kami. Dia adalah masa depan perusahaan ini. Tari Sukma Dara... adalah cucu kandung saya.”
Suara gemuruh memenuhi aula.
Tari membeku di tempat. Dunia seakan berhenti.
Dan di ambang pintu aula, seseorang baru saja tiba. Gilang.
Ia mendengar kalimat itu. Melihat Tari di tengah panggung. Dan tubuhnya nyaris jatuh, kalau saja tidak ada tembok di belakangnya.
Beberapa wartawan yang hadir di ruangan langsung bergerak cepat. Mikrofon dan kamera diarahkan ke arah Tari dan Bu Tirta. Suasana mendadak ricuh. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan:
“Bu Tirta, sejak kapan Anda menyembunyikan cucu kandung?”
“Apakah Tari akan menjadi CEO selanjutnya?”
“Bagaimana dengan posisi Gilang Adiyaksa?”
Rahma segera bergerak cepat, menyelamatkan Bu Tirta dari kerumunan wartawan dan menariknya menuju lorong belakang panggung.
Tari masih berdiri terpaku, matanya kebingungan oleh sorotan kamera dan teriakan pertanyaan. Namun sebelum ia kehilangan kendali, sebuah tangan menggenggam jemarinya.
Gilang.
Ia menarik Tari menjauh dari kerumunan, melindunginya dari lensa kamera yang terus memburu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tapi genggamannya... cukup kuat untuk mengantar Tari keluar dari kekacauan itu.