Desa Semilir dan sekitarnya yang awalnya tenang kini berubah mencekam setelah satu persatu warganya meninggal secara misterius, yakni mereka kehabisan darah, tubuh mengering dan keriput. Tidak cukup sampai di situ, sejak kematian korban pertama, desa tersebut terus-menerus mengalami teror yang menakutkan.
Sekalipun perangkat desa setempat dan para warga telah berusaha semampu mereka untuk menghentikan peristiwa mencekam itu, korban jiwa masih saja berjatuhan dan teror terus berlanjut.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Siapakah pelaku pembunuhannya? Apakah motifnya? Dan bagaimanakah cara menghentikan semua peristiwa menakutkan itu? Ikuti kisahnya di sini...
Ingat! Ini hanyalah karangan fiksi belaka, mohon bijak dalam berkomentar 🙏
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zia Ni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Yang Sangat Berat
Dengan berjalan tertatih-tatih, Satrio mengedarkan pandangannya ke sekitarnya untuk mencari dahan pohon yang dimaksud. Sesudah menemukan dahan pohon itu, remaja laki-laki tersebut mematahkan sedikit salah satu bagian ujungnya agar bisa ditancapkan pada tubuh ikan.
Dengan langkah pelan-pelan lagi, Satrio berjalan menuju ke arah sungai dan mulai mencari ikan. Karena raganya sedang tidak baik-baik saja, bocah laki-laki tersebut beberapa kali gagal menancapkan dahan itu ke tubuh ikan. Sesudah mencoba hampir 1 jam an, akhirnya Satrio berhasil mendapatkan 2 ekor ikan yang ukurannya lumayan besar.
Setelah menahan rasa lapar hingga tubuhnya tinggal tulang belulang, akhirnya remaja laki-laki itu memiliki kemampuan dan persediaan untuk bertahan hidup.
Sesudah perutnya merasa kenyang, Satrio pun merasa sangat ngantuk dan dia pun jatuh tertidur di dekat api unggunnya hingga dia terbangun karena ada suara keras yang membentaknya.
"Bangun bocah pemalas! Enak betul kamu tidar tidur saja kerjaannya!"
Satrio sangat kaget setelah membuka matanya dan melihat ada sesosok gendruwo tinggi besar yang sedang berdiri di dekatnya.
"Mbah gendruwo...," suara lemah bocah laki-laki itu tercekat di tenggorokan karena ketakutan.
"Cepat bangun! Lalu kau jelajahi hutan ini!" ketus makhluk berbulu hitam tersebut.
"Haruskah malam ini, Mbah? Saya sedang sakit," Satrio menghiba.
"Manja betul kamu! Bisa-bisanya mau tawar-menawar denganku!"
Dengan terpaksa, remaja laki-laki itu pun mencoba bangkit berdiri sekalipun badannya terasa sakit dan demam tinggi.
"Cepat! Jangan lelet kamu! Atau mau kubanting tubuhmu!" bentak gendruwo tersebut.
"Saya harus lewat jalan yang mana, Mbah?" Satrio berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
"Telusuri pinggiran sungai ini!"
Sambil menahan rasa sakit, bocah laki-laki itu mulai melangkahkan kakinya yang tidak beralas karena sendal jepitnya sudah putus saat dia melarikan diri dari Desa Glagah.
Di tengah tertawaan dan seringaian menyeramkan dari para dedemit hutan, Satrio menyusuri pinggiran sungai yang tampak gelap karena waktu itu memang sudah malam.
Setiap kakinya menapak pinggiran sungai yang berkerikil dan berbatu, bocah laki-laki tersebut menyeringai kesakitan, namun mulutnya tidak berani protes karena dia diawasi oleh banyak dedemit hutan.
Hawa dingin yang menyerang tubuh Satrio, membuat kondisi fisik remaja laki-laki itu semakin tambah buruk, suhu badannya terasa semakin panas.
2 jam perjalanan, Satrio berusaha bertahan untuk melanjutkan perintah si gendruwo, tapi tak berselang lama dia mulai muntah-muntah namun hal itu malah membuatnya ditertawakan oleh beberapa dedemit hutan bahkan ada yang menimpuknya dengan kerikil.
Seiring bertambahnya langkah remaja laki-laki tersebut, bertambah pula rasa sakit dan demamnya hingga akhirnya fisik Satrio tidak bisa bertahan lagi dan dia pun jatuh pingsan. Bersamaan dengan jatuhnya tubuh bocah itu ke tanah, para dedemit hutan tertawa mengejek lalu menghilang dari pandangan.
Sekarang ini tubuh Satrio tergeletak tak berdaya di pinggiran sungai tanpa ada yang mempedulikannya padahal suhu badannya lumayan tinggi. Si gendruwo yang bertugas mengawasi bocah itu hanya berdiam diri saja di tempatnya.
Karena tidak diobati, sakit Satrio cukup lama sembuhnya, ditambah lagi dia tergeletak di alam terbuka yang tubuh ringkihnya banyak terkena hawa dingin terutama pada malam hari hingga pagi hari.
Saking tinggi suhu tubuhnya dan badannya terasa sakit semua, bocah laki-laki itu tidak mampu berpindah tempat, hingga untuk kesekian kalinya dia harus menahan rasa lapar dan haus sampai beberapa hari.
Secara logika, sebenarnya Satrio sudah kehilangan nyawanya ketika dia terbaring tak berdaya di dalam gua tanpa makan dan minum selama 2 minggunan. Tapi karena sokongan ilmu magis penguasa hutan terlarang, remaja laki-laki tersebut masih bisa bertahan hidup sampai saat ini.
Pada hari ke 4 semenjak jatuh pingsan di pinggiran sungai, akhirnya Satrio bisa berpindah tempat sekalipun butuh usaha yang tidak mudah. Terdorong oleh rasa lapar dan haus, bocah laki-laki itu mencoba untuk menyeret tubuhnya agar bisa meraup air sungai demi menghilangkan dahaganya.
Sesudah berusaha sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Satrio pun berhasil mencapai air sungai lalu segera menghilangkan rasa hausnya. Namun dengan kondisi fisiknya yang buruk, remaja laki-laki itu tidak sanggup memancing ikan untuk mengisi perutnya yang sudah sangat lapar.
Tanpa diduga-duga, tubuh Satrio tiba-tiba terlempar di tengah sungai yang membuat bocah laki-laki tersebut kaget dan geragapan karena tidak ada persiapan, sehingga badannya yang sedang sakit itu sempat terbenam di air sungai selama beberapa detik.
Untungnya saat itu adalah musim kemarau dan arus sungainya tidak terlalu deras sehingga tubuh Satrio tidak tenggelam atau terbawa arus.
"Ha ha ha ha ha! Bagaimana? Seger kan rasanya?" ejek si gendruwo setelah menampakkan wujudnya. Rupanya makhluk itulah yang sudah menendang Satrio hingga tercebur ke tengah sungai.
"Perutmu lapar? Makanya jadi laki-laki jangan mlempem!" bukannya menolong, si gendruwo malah menghina seperti biasanya.
Mendapat perlakuan seperti itu dari makhluk berbulu hitam tersebut, Satrio hanya pasrah, tidak berani komplain atau berkomentar. Baru saja kondisi tubuhnya sedikit mendingan, untuk kesekian kalinya dia mendapat siksaan lagi yang tidak tahu apa tujuannya dan sampai kapan akan berakhir.
Dengan sisa kekuatannya, remaja laki-laki itu berusaha untuk beranjak dari tengah sungai menuju ke pinggiran diiringi seringaian kesal si gendruwo.
"Kamu masih punya tanggungan untuk menjelajahi hutan ini. Kalau kamu seperti ini terus, sampai kapan kamu akan ada kemajuan?" ucap makhluk berbulu hitam tersebut.
"Saya sedang sakit, Mbah... Untuk bergerak saja, badan rasanya sakit...," Satrio mengharapkan pengertian si gendruwo.
"Kenapa sih kamu mesti masuk hutan ini?! Merepotkan aku saja!" dengus makhluk berbulu hitam tersebut.
"Kalau saya memang merepotkan, maukah Mbah mengeluarkan saya dari hutan ini?" timpal bocah laki-laki itu.
"Kalau kamu ingin keluar dari hutan ini, trus kamu ingin tinggal dimana ha?! Kamu mau ditangkap dan disiksa oleh warga desamu?!" ketus si gendruwo yang tak berapa lama melangkah menuju ke sungai lalu menangkap beberapa ekor ikan dengan menggunakan ilmu mistisnya yang kemudian dilemparkannya di dekat Satrio.
"Bakar sendiri!"
Setelah berkata demikian, makhluk berbulu hitam itu pun menghilang dari pandangan, meninggalkan Satrio yang tubuhnya tampak basah kuyup dan menggigil kedinginan.
Sambil menahan rasa nelangsa di hatinya, remaja laki-laki tersebut memaksa badannya untuk mencari kayu bakar dan dedaunan kering sekalipun harus dengan merangkak.
Sesudah berjuang selama hampir 2 jam, Satrio berhasil mengumpulkan kayu bakar dan dedaunan kering yang cukup untuk membakar ikan hasil tangkapan si gendruwo.