Istri Kontrak Sang Posesif

Insiden di lobi menjadi topik panas yang menyebar lebih cepat daripada api di PT. Mahardika Jaya Nusantara. Semua karyawan, dari security hingga level manajer, menyaksikan drama seorang wanita yang berteriak-teriak mengaku ibu dari Asisten Pribadi CEO, menuntut uang, dan yang paling mengejutkan, pelukan posesif dari Arjuna Mahesa di depan umum.

Arjuna, yang sangat peduli pada citra dan efisiensi, tahu ia harus segera meredam isu ini sebelum rumor pernikahan mereka (yang dirahasiakan) mulai muncul.

Begitu ia dan Kirana kembali ke Lantai Eksekutif, Arjuna memanggil Bayu dan Kepala Humas untuk rapat darurat.

"Segera kirimkan memo internal kepada seluruh staf perusahaan," perintah Arjuna dengan nada suara yang tegas.

"Jelaskan bahwa keributan di lobi adalah insiden yang melibatkan seorang penipu yang berpura-pura menjadi kerabat Asisten Pribadi saya, Nona Aulia, untuk tujuan pemerasan."

"Tapi Pak Arjuna, Bapak tadi..." Bayu ragu-ragu.

"Aku akan menjelaskannya sendiri," potong Arjuna.

Tak lama kemudian, sebuah memo resmi beredar, mengutuk tindakan pemerasan dan berjanji akan mengambil tindakan hukum. Kemudian, Arjuna mengirimkan email pribadi yang singkat namun memiliki dampak besar ke seluruh jajaran Direksi dan Manajer Senior:

Subjek: Klarifikasi Insiden Lobi

Isi: Insiden hari ini adalah murni masalah keamanan dan integritas karyawan. Saya bertindak tegas sebagai pimpinan untuk melindungi Nona Aulia dari ancaman yang tidak berdasar. Di PT. MJN, kami melindungi setiap karyawan dari ancaman luar. Jangan biarkan insiden ini mengganggu fokus kerja.

— Arjuna Mahesa, CEO.

Dengan email itu, Arjuna berusaha menetapkan narasi bahwa ia adalah bos yang melindungi bawahannya yang berprestasi. Pelukan posesif itu? Hanya tindakan bos yang mengklaim otoritas atas perlindungan.

Pengalihan isu Arjuna berhasil dari sisi korporat. Direksi menerima penjelasan bahwa ia melindungi seorang karyawan dari pemerasan. Namun, di tingkat karyawan, narasi yang terbentuk jauh lebih jahat.

Mereka tidak percaya bahwa pelukan Arjuna hanya sebatas 'perlindungan'. Mereka melihat ada sesuatu yang mendidih di antara Kirana dan CEO dingin itu.

Dia pasti punya hubungan dengan CEO.

Itu kan ibunya? Berarti dia menyembunyikan masa lalunya yang miskin dan kotor dari Arjuna.

Dia pasti sudah menggoda Pak Arjuna. Wanita miskin yang memanfaatkan kecantikannya.

Mulai hari itu, lingkungan kerja Kirana di Lantai Eksekutif, yang sudah dingin, kini menjadi sangat beracun.

Saat Kirana berjalan melewati meja-meja lain, bisikan tajam menyambutnya. Lita, teman lamanya dari Departemen Marketing, bahkan menghindar ketika Kirana mencoba menyapa.

"Aku tidak mau terlibat dengan wanita yang sudah menjebak CEO," bisik Lita kepada rekan lainnya.

Saat Kirana meminta dokumen kepada staf administrasi, staf itu sengaja melemparkannya ke meja Kirana alih-alih memberikannya dengan sopan.

"Ambil sendiri. Nyonya Asisten CEO," kata staf itu dengan nada sinis.

Makan siangnya di pantry selalu sepi. Jika ada karyawan lain di sana, mereka akan berhenti bicara saat Kirana masuk, dan mulai berbisik lagi begitu Kirana keluar. Mereka meninggalkan catatan-catatan kecil di mejanya "Penyihir," "Pelacur Miskin," dan "Perayu."

Perundungan itu halus, namun konsisten. Tekanan mental ini jauh lebih sulit bagi Kirana dibandingkan tugas-tugas dari Arjuna. Ia harus menjaga emosinya demi bayinya, tetapi ia merasa sendirian dan terpojok.

Arjuna menyadari adanya kebencian tersembunyi terhadap Kirana. Ia mendengar bisikan-bisikan itu, tetapi ia tidak bisa memecat setiap karyawan yang bergosip. Ia memutuskan untuk mengatasi hal itu dengan cara yang paling efektif untuk menunjukkan dominasinya.

Ia mulai menjadi sangat posesif terhadap Kirana, hanya untuk menunjukkan kepada semua orang bahwa Kirana berada di bawah perlindungannya, dan menyentuh Kirana berarti menantang Sang CEO.

Di Kantor.

"Nona Aulia, kamu tidak perlu mengambil makan siang di pantry lagi. Mulai hari ini, makananmu akan diantar ke kantorku," perintah Arjuna. Ia melakukannya bukan karena peduli pada Kirana, melainkan untuk memastikan Kirana tidak berinteraksi dengan karyawan lain dan agar ia tahu pasti Kirana makan dengan baik demi bayinya.

"Aku akan mengantarmu pulang," katanya suatu malam, tanpa basa-basi.

"Tidak perlu, Pak. Saya bisa naik taksi."

"Ini perintah. Aku tidak ingin ada insiden lagi. Lagipula, kamu bekerja lembur untukku," kata Arjuna, mengabaikan penolakan Kirana.

Setiap kali Kirana keluar dari toilet atau kembali dari lobi, Arjuna akan memastikan matanya bertemu dengan mata Kirana, seolah memeriksa keadaannya.

Dari Laksmi:

Laksmi Mahesa juga semakin ikut campur. Ia mengirimkan pesan kepada Kirana.

"Sayang, Mama tahu kamu lelah. Mama akan mengirimkan koki pribadi untuk memasakkan makanan sehat untukmu di rumah dinas. Dan ingat, mulai sekarang, kamu harus tidur minimal delapan jam, ya. Jangan pedulikan pekerjaan Arjuna."

Campur tangan Laksmi yang hangat justru menjadi masalah bagi Kirana. Ia harus berbohong kepada Laksmi bahwa ia sedang makan dengan baik di kantor, padahal ia sering kali menyelinap kembali ke meja kerjanya untuk menyelesaikan tugas Arjuna.

Suatu sore, Kirana sedang mengetik di mejanya. Ia merasa sangat lelah. Perutnya sedikit keram, dan ia merasa pusing. Ia tahu, tekanan fisik dari kehamilan dan tekanan mental dari perundungan di kantor mulai memakan dirinya.

Tiba-tiba, ia melihat sebuah kertas kecil terlipat di bawah keyboard-nya. Ia membukanya.

"Kenapa kamu tidak jujur pada CEO? Katakan saja dia Ayah dari bayimu. Berhentilah berpura-pura, pelacur."

Kalimat itu membuat Kirana terpaku. Bagaimana mereka tahu?

Ia menyentuh perutnya yang masih rata. Tidak mungkin. Rahasia itu hanya diketahui oleh Arjuna, Bayu (sebagian kecil), dan Laksmi.

Kirana menyadari. Seseorang, yang sangat dekat dengan Arjuna dan Laksmi, pasti telah membocorkannya. Atau, kecurigaan karyawan lain sudah mencapai titik puncak.

Air matanya menetes. Ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Rasa sakit karena diasingkan dan dibenci di tempat kerja, ditambah dengan tekanan kehamilan, membuatnya berada di ambang batas.

Saat Arjuna keluar dari ruangannya untuk mengambil air, ia melihat Kirana sedang menyeka air mata.

"Kenapa kamu menangis, Kirana?" tanya Arjuna, nadanya datar.

Kirana segera menyembunyikan kertas itu, berdiri tegak.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya lelah."

Arjuna menatapnya lurus-lurus. Ia tidak tahu isi catatan itu, tetapi ia tahu bahwa kebencian di kantor sudah terlalu jauh.

Arjuna Mahesa, yang selama ini hanya peduli pada logika dan kontrak, kini merasa emosi yang asing: rasa marah karena istrinya (meski hanya kontrak) diperlakukan tidak adil.

"Kirana," kata Arjuna, suaranya lebih tenang dari biasanya. "Kita tidak punya waktu lagi. Aku akan membuat pengumuman."

"Pengumuman apa, Pak?" tanya Kirana dengan cemas.

"Aku tidak bisa membiarkan kamu terus dipermalukan di tempat kerjaku," kata Arjuna. "Aku sudah menahannya demi kontrakmu, tetapi situasinya sudah tidak terkendali. Kita akan mengumumkan pernikahan kita kepada seluruh perusahaan di jamuan akhir tahun bulan depan. Kamu adalah istri sah ku. Mereka harus menerimanya."

Kirana terkejut. "Tidak, Pak! Bapak sudah janji akan merahasiakannya! Itu hanya akan membuat kebencian mereka semakin besar!"

"Terserah," potong Arjuna dingin.

"Kini aku adalah suamimu, dan aku akan memutuskan apa yang terbaik untuk nama belakang anakku. Mulai sekarang, Kirana, kamu tidak perlu lagi memakai plester itu."

.

.

Cerita Belum Selesai.....