Mila, seorang gadis modern yang cerdas tapi tertutup, meninggal karena kecelakaan mobil. Namun, takdir membawanya ke zaman kuno di sebuah kerajaan bernama Cine. Ia terbangun dalam tubuh Selir Qianru, selir rendah yang tak dianggap di istana dan kerap ditindas Permaisuri serta para selir lain. Meski awalnya bingung dan takut, Mila perlahan berubah—ia memanfaatkan kecerdasannya, ilmu bela diri yang entah dari mana muncul, serta sikap blak-blakan dan unik khas wanita modern untuk mengubah nasibnya. Dari yang tak dianggap, ia menjadi sekutu penting Kaisar dalam membongkar korupsi, penghianatan, dan konspirasi dalam istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Perjalanan ke Desa Ping’an memakan waktu lima hari. Lima hari yang dipenuhi debu jalanan, malam-malam berhenti di pondok kosong, dan sore yang diisi dengan percakapan ringan—kadang tentang cara mengolah tanah, kadang tentang awan yang bentuknya seperti kura-kura.
Qianru menyadari satu hal selama perjalanan itu, Lin Yun memang tak pernah banyak bicara, tapi ia selalu hadir.
Ketika ia merasa lelah, pemuda itu akan diam-diam menyeduh teh di sudut hutan. Ketika mereka menyeberangi sungai kecil, Lin Yun akan terlebih dulu melepas sepatunya dan mengecek kedalaman air, memastikan tak ada batu tajam di jalur mereka.
Ia bukan murid yang cerewet, bukan pelindung yang menggembar-gemborkan diri. Ia hanya ada, dan itu cukup membuat Qianru merasa lebih ringan.
---
Desa Ping’an berada di lembah yang hijau, dikelilingi oleh perbukitan lembut dan ladang-ladang luas.
Penduduknya tak banyak, sebagian besar adalah petani yang tersenyum ramah dan mudah percaya.
Mereka menyambut kedatangan dua orang asing dengan kepala tertunduk dan tangan terbuka.
“Kalian mencari tempat tinggal?” tanya seorang kakek tua bernama Abo.
“Kami ingin menyewa tanah dan rumah kecil,” jawab Qianru. “Kalau ada yang tak terpakai.”
Abo menggaruk kepala, lalu menunjuk ke arah timur desa. “Ada satu rumah kayu bekas gudang gandum. Tak terlalu besar, tapi cukup kokoh. Kalau kalian tak keberatan merenovasi sedikit, aku bisa serahkan kuncinya.”
“Berapa biayanya?” tanya Lin Yun.
Abo melambai santai. “Kalian bantu kami tanam padi musim depan, sudah cukup.”
Dan begitulah, pada hari keenam, Qianru dan Lin Yun resmi menjadi penghuni desa kecil di ujung dunia. Rumah mereka berdinding kayu gelap, berlantai tanah, dan beratapkan jerami yang mulai reyot. Tapi di balik kesederhanaannya, rumah itu seperti lembaran baru yang siap ditulisi.
---
Hari-hari pertama diisi dengan kerja keras. Lin Yun menggali parit di sekitar rumah, membetulkan pagar, dan memotong kayu dari hutan. Qianru menyapu debu-debu lama, mencuci tirai usang, dan membuat dapur kecil dari batu bata bekas.
Mereka tak saling menyuruh. Semua berjalan alami, seperti roda yang berputar perlahan.
Pada hari ketiga tinggal di sana, Qianru terbangun lebih pagi. Ia duduk di depan rumah, memandangi kabut tipis yang melayang di atas ladang. Tiba-tiba ia merasa, sudah lama sekali ia tak menikmati pagi tanpa suara langkah kasim, tanpa jadwal upacara, tanpa kecemasan tentang intrik istana.
“Pagi.” Suara Lin Yun menyusul dari belakang. Ia datang membawa dua gelas air hangat.
“Air dari sungai timur,” katanya. “Lebih jernih.”
Qianru menerimanya dan tersenyum kecil. “Kau bahkan tahu mana air yang lebih jernih.”
Lin Yun duduk di sebelahnya. “Kalau hidup begini terus, apa kau akan menyesal?”
Qianru menatap langit yang perlahan berubah biru. “Tidak. Aku hanya... belum terbiasa tidak mencemaskan apa-apa.”
“Hidup seperti ini... terasa lambat, ya?” tanya Lin Yun
Qianru mengangguk. “Tapi tenang.”
---
Sore harinya, penduduk desa mengundang mereka menghadiri perjamuan kecil di balai bambu. Qianru mengenakan pakaian sederhana berwarna biru muda, rambutnya dikepang lepas. Ia terlihat begitu berbeda dari sosok selir agung di istana. Lin Yun, dengan jubah coklat lusuh, tampak seperti pemuda desa biasa.
Orang-orang mulai menyukai mereka. Qianru yang ramah dan tak segan membantu menumbuk padi. Lin Yun yang cepat tanggap saat atap balai bocor dan segera memperbaikinya.
“Aku kira kalian kakak adik,” celetuk seorang ibu-ibu sambil tertawa.
Lin Yun dan Qianru saling melirik sekilas. Tak ada jawaban, hanya senyum tipis yang menggantung.
Malam itu, saat mereka berjalan pulang, Qianru berkata pelan, “Aku tak keberatan kalau orang mengira kau adikku.”
Lin Yun hanya tertawa kecil. “Aku juga tak keberatan kalau mereka mengira aku... lebih dari itu.”
Qianru menatapnya, kali ini lebih lama. Tapi ia tidak menjawab. Belum saatnya. Hatinya masih seperti tanah yang baru dibajak—masih butuh waktu sebelum benih bisa tumbuh.
---
Hari berganti minggu. Qianru belajar menanam kacang di pekarangan, sementara Lin Yun membuat sumur kecil dengan bantuan pemuda desa. Suatu sore, Qianru tersandung dan jatuh di ladang. Lin Yun langsung berlari, memeriksa lututnya yang tergores.
“Bodoh,” kata Qianru pelan sambil meringis. “Kenapa aku seperti anak kecil.”
“Karena kau manusia.” jawab Lin Yun
Qianru tertawa geli. “Itu jawaban paling... bijak dan menyebalkan.”
Lin Yun membantu membersihkan lukanya dengan air sungai. Gerakannya lembut, hati-hati, seakan lutut Qianru terbuat dari kaca. Qianru memandangnya dalam diam. Ada sesuatu di dada yang mulai bergerak, namun ia cepat-cepat mengalihkan pandang.
“Terima kasih,” katanya akhirnya.
Lin Yun menunduk. “Aku ada di sini, bukan hanya untuk membangun rumah. Tapi juga... untuk berjalan bersamamu, jika kau mengizinkan.”
Qianru menatap tanah. Ia tahu apa yang Lin Yun maksud. Tapi ia belum siap menjawab. Yang ia tahu, hari itu langit begitu cerah, udara begitu segar, dan ia... tidak lagi sendiri.
Bersambung