Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta
"Sedang apa kau?" Valeri menoleh dan menemukan Mario di belakangnya.
"Hanya duduk." Valeri kembali memalingkan wajahnya.
"Jangan berpikir untuk lari."
Valeri mendengus. "Apa aku bisa?"
Mario tak mengatakan apapun lagi pria itu berbalik,lalu pergi meninggalkan Valeri yang menatap dengan heran. "Dia datang hanya untuk mengatakan itu?"
Valeri mendengus lalu kembali menatap pepohonan di depannya. Tak berapa lama Hilda muncul. "Nona anda harus bersiap."
Valeri mengerutkan keningnya. "Bersiap?"
"Anda akan menemani Tuan menghadiri pesta."
"Apa?" Valeri mengeryit dengan menatap ke dalam rumah. Tadi, pria itu tak mengatakan apapun padanya dan pergi begitu saja. Apa begitu sulit untuk bicara padanya?
"Mario tidak bilang padaku?"
"Tuan sudah pergi lebih dulu, Nona."
"Aku bisa menolak?" Hilda diam. Itu artinya dia tak bisa menolak dan Valeri segera bangkit dari duduknya dan pergi ke kamarnya untuk bersiap.
"Dimana itu?"
"Di perusahaan, Nona." Valeri melihat gaun yang di sediakan. Mendadak sudah ada disana, di kamarnya. Dan seperti biasa yang harus dia kenakan adalah warna putih.
"Ada apa dengan warna putih, Hilda?" Hilda tertegun, sementara Valeri menatap gaun berbahan satin berwarna putih di depannya.
"Ini kesukaan Tuan."
Valeri tersenyum lalu menggeleng. "Ini kesukaan Nona Yasmine." Valeri mengusap gaun di depannya. "Aku mengerti sekarang. Sejak awal Mario memang ingin aku jadi pengganti." Hilda kembali diam.
Valeri menoleh pada Hilda. "Aku membutuhkan sesuatu, bisakah kamu memberikannya?"
...
"Nona, anda yakin dengan ini?" Hilda menatap Valeri yang sudah siap dengan gaun berwarna merah yang sudah melekat indah di tubuhnya. Wajah khawatir tak bisa Hilda sembunyikan.
"Kamu bilang aku harus membuat Tuanmu melupakan Nona Yasmine bukan? Aku bukan dia. Mulai sekarang aku benci warna putih. Jika dia harus menyukai aku, maka dia harus menyukai Valeri. Bukan sosok Nona Yasmine yang sudah tak ada." Valeri mengoleskan lipstik berwarna merah senada dengan gaun yang dia yakin akan membuat Mario marah.
Biar saja pria itu marah. Kemarahan seperti apa yang akan dia tanggung nanti? Di kurung? Di siksa? Atau di lecehkan? Valeri bahkan tak akan takut meski pria itu membunuhnya karena memberontak.
....
Valeri turun dari mobil yang membawanya ke perusahaan, dari depan dia melihat suasana ramai oleh beberapa wartawan. Karpet merah di gelar di pintu masuk membuatnya terlihat seperti pesta kalangan atas. Padahal yang Valeri dengar dari Hilda ini hanya perjamuan makan malam untuk kerjasama besar yang baru saja selesai.
Mungkin karena Mario pengusaha sukses, jadi semua harus nampak eksklusif.
Saat berjalan Valeri merasa menjadi pusat perhatian, kilatan kamera mengarah padanya, apalagi melihat Rey menunggunya di depan pintu.
"Apa dia benar-benar kekasih Tuan Mario?"
"Tidak tahu, tapi kau lihat ... itu asisten Tuan Mario, bukan?"
"Kita tunggu saja pernyataan Tuan Mario, nanti."
Valeri berjalan tegak tanpa peduli bisik- bisik dari para wartawan itu. Tatapannya terus ke arah depan bahkan tanpa senyuman.
Rey mengangguk lalu mempersilakan Valeri untuk segera masuk dengan mengikutinya.
Rey menoleh ke belakang untuk memastikan penampilan Valeri. "Aku salut akan keberanian anda, Nona," ucapnya dengan senyum miring di wajahnya.
Valeri hanya diam. Tak dapat di pungkiri jantungnya berdebar kencang menunggu hukuman apa yang akan dia dapatkan dari Mario nanti. Namun dia tak boleh menunjukkan kelemahannya. Jadi, dia berjalan dengan tegap mengikuti Rey menunju sebuah ruangan dengan pintu besar yang masih tertutup. Hingga saat mereka tiba di depannya dua orang penjaga membuka pintu membuat penampakan mewah di dalamnya terlihat di mata Valeri.
Valeri tertegun saat melihat seluruh mata tertuju padanya. Dan yang membuat lonjakan debaran di jantungnya adalah Mario yang menatapnya dengan tatapan datar.
Valeri meremas sisi gaunnya dengan erat saat Rey mempersilakannya agar segera masuk. Valeri berjalan dengan mata terus tertuju pada Mario yang berjalan ke arahnya dengan mata tajam dan rahang yang mengeras.
Pria itu mengulurkan tangannya agar Valeri segera mendekat. Valeri menyambut dan melingkarkan tangannya di lengan besar Mario.
"Berani sekali kau," desisnya.
"Bagaimana menurutmu? Apa aku terlihat cantik?"
"Lihat bagaimana aku membuatmu tak akan pernah berpikir untuk melawanku."
Valeri hanya diam dan justru melihat sekitarnya yang tengah memperhatikan mereka. Beberapa dari mereka saling berbisik dan ada juga yang hanya memperhatikannya.
"Tuan Mario, inikah istrimu?" Seorang pria menghampiri, dan mengulurkan tangannya kepada Valeri, "Anda sungguh cantik, Nona." Namun belum juga Valeri menyambut, suara Mario terdengar tajam membuat senyum pria di depan mereka memudar menjadi wajah pucat.
"Aku tak suka milikku di sentuh pria lain."
Pria berkepala botak dengan tubuh gimpal itu terkekeh. "Aku mengerti, Tuan. Maafkan aku," ucapnya dengan menunduk. Tak menunggu waktu lama Mario segera membawa langkah mereka meninggalkan si pria yang masih menundukkan wajahnya.
Mario membawa Valeri berkeliling menemui para tamu. Dan yang Valeri lihat semua tamu yang datang begitu segan bahkan hanya menunduk dengan sesekali saja mendongak menatap Mario. Mereka bahkan tak berani menatap Valeri sebab tatapan tajam Mario, juga tingkah posesif Mario yang kini tengah melingkarkan tangannya di pinggang Valeri.
Dari pikiran orang lain mungkin Mario sedang menjadi suami posesif, dan menjaganya. Namun bagi Valeri pria itu tengah memberi ancaman padanya lewat remasan di pinggangnya. Mario bahkan tak melepaskannya meski mereka sudah memulai acara dan layar menyala menampakan proyek besar yang telah Mario lakukan dengan salah satu pengusaha kaya dari China yang berdiri di sebelah Mario. Setidaknya itulah yang Valeri dengar.
Layar menampilkan pusat perbelanjaan sekaligus hotel yang ada dalam satu gedung. Seperti biasa semuanya serba eksklusif dengan pangsa pasar menengah ke atas. Mulai dari barang yang akan di jual juga harga kamar hotel yang menurut Valeri bisa untuk kebutuhan hidupnya berbulan-bulan, namun di pakai untuk menginap satu hari saja disana.
Valeri bosan dan tak mengerti dengan apa yang di tampilkan di layar. Dia tak mau pusing memikirkan kekayaan orang lain hanya untuk masuk hotel itu dan berbelanja disana. Belum lagi dia harus tetap berdiri di sebelah Mario dan menempel pada tubuhnya seperti perangko. Pria itu membuatnya sesak dengan prilakunya. Valeri menoleh pada jajaran makanan dan minuman di meja, hingga sebuah ide muncul untuk lepas dari cengkraman pria ini.
"Aku ingin minum," kata Valeri saat layar besar sedang nampak di depan sana.
Mario menoleh tanpa melepaskan pinggangnya yang artinya Valeri tidak boleh pergi. Mario mengangkat tangannya ke atas membuat salah satu pelayan dengan minuman di tangannya datang menghampirinya.
"Kau yakin ingin aku meminum ini? Aku ingin air putih." Valeri menatap minuman bermacam warna di nampan, yang dia tahu itu bukan jus atau semacamnya.
"Kau hanya membuat alasan untuk minum?"
"Kau berani menanggungnya jika aku berani minum ini?"
"Jangan katakan kalau kau beralasan agar bisa kabur?" ucap Mario tak peduli.
Valeri menghela nafasnya lalu meraih satu minuman untuk dia teguk perlahan. Mata Valeri menatap minuman di tangannya, lalu bergumam. "Terserah." Valeri meneguknya hingga habis, lalu memanggil lagi pelayan untuk membawa minuman padanya.
Valeri kembali menghabiskan minuman tersebut. Namun baru saja minuman tertelan gelas di tangannya jatuh dan pecah membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Tubuh Valeri merosot, membuat Mario mengeratkan genggamannya di pinggang Valeri.
"Ada apa?" Mario melihat muncul ruam merah di wajah Valeri, namun Valeri hanya terkekeh dan menyentuh lehernya yang terasa sesak. Nafasnya terengah dengan kemerahan yang semakin banyak. "Kau alergi alkohol?"
Valeri hanya tersenyum di balik nafasnya yang terasa sesak. "Kau gila!" Mario segera meraih tubuh Valeri untuk dia gendong dan dibawanya ke rumah sakit.
Melihat Mario berlari membawa Valeri dengan wajah panik membuat semua orang memperhatikan termasuk seseorang yang berdiri di sudut ruangan. "Dapat," ucapnya dengan meneguk minumannya, lalu senyum miring muncul di wajahnya.
nyari2 kelemahan Mario...