Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunggu Drama Datang
Siang itu, setelah puas bersantai di kamar, Jessy akhirnya memutuskan untuk turun ke ruang makan. Baru saja ia membuka pintu, ia melihat Bi Tuti sudah berdiri di depan kamar, seolah tahu bahwa Jessy akan keluar.
"Makan siang sudah siap, Neng," ucap Bi Tuti dengan sopan.
Jessy mengangguk santai. "Baiklah, ayo kita turun."
Bersama Bi Tuti, ia menuruni tangga dengan langkah tenang. Sesampainya di bawah, aroma masakan yang menggugah selera langsung menyambutnya. Namun, sebelum menuju meja makan, Jessy merogoh saku nya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Ia menyerahkannya kepada Bi Tuti.
"Bi, ini untuk belanja kebutuhan rumah. Pergilah sekarang dan belanja dengan tenang. Kalau bisa, sekalian mampir ke rumah saudara atau teman dulu, ya. Santai saja, tidak perlu buru-buru pulang."
Bi Tuti tampak bingung. "Tapi, Neng, saya bisa belanja nanti sore saja kalau Nona mau. Lagi pula, saya masih harus menyiapkan camilan sore nanti."
Jessy tersenyum tipis. "Tidak usah, Bi. Sekali-sekali istirahatlah lebih lama. Anggap saja ini waktu untuk jalan-jalan sebentar."
Bi Tuti masih ragu, tapi ia tidak berani membantah perintah majikannya. Akhirnya, ia menerima uang itu dengan hormat.
"Baiklah, Neng. Kalau begitu, saya pergi sekarang."
Jessy mengangguk puas. "Hati-hati di jalan, Bi."
Bi Tuti tersenyum lalu bergegas pergi.
Setelah mendengar suara pintu depan tertutup, Jessy tersenyum miring. "Mari kita menunggu drama sebentar lagi yang akan datang."
Jessy duduk di kursinya dengan tenang, mengambil sendok dan garpu, lalu mulai menyantap makan siangnya. Suasana rumah begitu sepi setelah Bi Tuti pergi, dan itu membuatnya semakin menikmati makanan tanpa gangguan.
Setiap suapan terasa lebih nikmat ketika ia membayangkan ekspresi kaget dan marah yang akan muncul sebentar lagi.
Benar saja.
Langkah kaki terdengar dengan suara dua orang tertawa, entah apa yang di bahas. Namun, ketika mereka sampai di ruang makan, suara tertawa tadi berubah.
"Jessy! Apa-apaan ini?" suara tajam Mama Ella langsung memenuhi ruangan.
Jessy tidak tergesa-gesa menoleh. Ia hanya mengunyah perlahan, lalu meneguk air putih sebelum akhirnya menatap sang mertua yang berdiri di ambang pintu ruang makan dengan ekspresi marah.
Di belakangnya, Molly melipat tangan di dada dengan wajah kesal.
"Ada apa, Ma?" tanya Jessy dengan nada polos.
Mama Ella mengayunkan tangannya ke meja makan. "Maksud Mama, ini! Kenapa di meja makan hanya ada sepiring makanan? Itu pun hanya punya mu dan sudah hampir habis! Mana makanan untuk Mama dan Molly?"
Jessy menatap meja yang memang kosong kecuali piring dan gelas miliknya. Ia tersenyum tipis.
"Tidak ada." ucap Jessy dengan nada santai.
"Apa?!" Mata Mama Ella membelalak penuh amarah. "Terus, mana pembantu itu? Suruh dia masak untuk kami sekarang juga!"
Jessy tersenyum santai sambil merapikan serbet di pangkuannya. "Ah... Bi Tuti? Aku sudah menyuruhnya keluar untuk membeli kebutuhan rumah. Kebetulan, persediaan di dapur sedang habis."
Mama Ella dan Molly saling berpandangan, ekspresi mereka semakin kesal. "Apa? Kenapa tidak menunggu sampai kami makan dulu?" suara Mama Ella meninggi.
Jessy mengangkat bahu. "Aku pikir tidak masalah. Lagipula, Mama dan Molly kan biasanya makan di luar. Jadi, aku tidak menyangka kalau kalian akan makan di rumah hari ini."
Molly mendengus kesal. "Kakak keterlaluan! Harusnya Kakak pastikan dulu sebelum menyuruh Bi Tuti pergi!"
Jessy hanya tersenyum tipis. "Kalau memang butuh makanan sekarang, kenapa tidak pesan saja? Mama dan Molly kan punya uang."
Mama Ella mengepalkan tangan, wajahnya semakin memerah karena marah. "Jessy! Kau benar-benar—"
Sebelum Mama Ella menyelesaikan kalimatnya, Jessy sudah berdiri dengan santai. "Baiklah, kalau begitu aku naik ke kamar dulu. Silakan cari solusi sendiri."
Dengan langkah ringan, Jessy meninggalkan ruang makan, sementara Mama Ella dan Molly masih berdiri di tempat, wajah mereka dipenuhi kekesalan.
Di dalam kamar, Jessy duduk di tepi ranjang sambil tertawa terbahak-bahak. Tangannya memegang ponsel yang menampilkan rekaman CCTV ruang makan. Di layar, terlihat Mama Ella dan Molly yang sedang mengomel penuh emosi.
"Dasar menantu tak tahu diri!" Mama Ella menggebrak meja dengan kesal. "Berani-beraninya dia hanya menyuruh pembantu masak untuk dirinya sendiri! Memangnya dia siapa?!"
Molly mendengus, lipatan di dahinya semakin dalam. "Aku juga gak habis pikir, Ma! Biasanya kak Jessy selalu siapin makanan buat kita, kan? Sekarang malah seenaknya sendiri, semenjak ada pembantu di rumah ini!"
Mama Ella mendengus. "Gak bisa dibiarkan! Mama harus bilang ke Bram nanti malam!"
Molly menambahkan, "Heem... Jadi bagaimana Ma? Aku lapar ni, bagaimana kalau Mama nyuruh kak Jessy untuk memasak untuk kita?"
Di layar, Mama Ella meraih ponselnya dengan kasar. "Mama pesan makanan aja deh! Gak sudi Mama minta dibuatkan makanan ke menantu durhaka itu!"
Molly ikut mendekat. "Iya, Ma! Biar aku pilihkan yang mahal, sekalian kita habiskan uangnya!"
Jessy tertawa lebih keras, menutup mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar. "Silakan saja, toh semua pengeluaran rumah tetap pakai uang anakmu, bukan uangku."
Jessy tersenyum tipis saat melihat di layar ponselnya bahwa Mama Ella dan Molly telah selesai makan dan kembali ke kamar masing-masing. Tanpa tergesa-gesa, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari pakaian.
Ia memilih gaun santai yang tetap terlihat anggun, dengan warna pastel yang lembut. Setelah memastikan pakaiannya rapi, ia meraih alat makeup dan memoleskan riasan natural di wajahnya. Sedikit bedak, lipstik soft pink, dan eyeliner tipis sudah cukup.
Jessy menatap bayangannya di cermin dengan senyum tipis. Makeup natural yang ia aplikasikan membuat wajahnya tampak segar dan elegan. Gaun yang ia pilih membalut tubuhnya dengan sempurna, membuatnya terlihat anggun dan berkelas.
Tangannya menyentuh pipinya perlahan, mengingat hinaan di kehidupan pertamanya. "Dekil? Hah… Dulu aku terlalu sabar menghadapi kalian."
Ia mengingat bagaimana dulu dirinya dihina habis-habisan oleh Molly dan teman-temannya, hanya karena ia tampil sederhana, padahal makanan yang mereka habiskan tanpa tersisa untuknya adalah masakan yang Jessy masak.
"Sekarang, aku ingin melihat apakah kalian masih bisa bicara seperti itu." ucap Jessy tersenyum kecil.
Jessy merapikan sedikit rambutnya, lalu berbisik pada dirinya sendiri, "Kalian pikir aku masih wanita bodoh yang diam saja saat diinjak-injak? Salah besar."
Jessy mengambil parfum favoritnya, menyemprotkan sedikit ke pergelangan tangan dan lehernya. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Jessy berdiri dan menatap dirinya sekali lagi di cermin.
"Kali ini, aku yang akan menertawakan kalian."
Jessy melangkah keluar kamar dengan percaya diri. Jessy menuju ke ruang keluarga, duduk di sofa dengan santai, lalu menyalakan televisi. Matanya menatap layar di depannya, sambil menunggu teman Molly yang datang sebentar lagi.
"Sekarang, mari kita lihat… Apa mereka masih berani menghinaku?"