Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27 Tante Jelek
Adrian berdiri di depan ruangan pengap dan sempit itu, kedua tangannya terlipat di dada dengan tatapan tajam yang tak bisa disembunyikan.
Dari dalam, ia mendengar suara pukulan bertubi-tubi disertai erangan kesakitan. Anak buahnya sedang menginterogasi Pras, pria yang diduga menculik putranya–Enzio.
Di sampingnya, Kania berdiri gelisah. Tangannya terus mencengkram ujung bajunya sendiri, bibirnya bergetar menahan tangis.
“Mas, berapa lama lagi mereka akan mendapatkan jawaban? Bagaimana kalau benar-benar terjadi sesuatu pada Zio?” bisiknya pelan, matanya berkaca-kaca.
Adrian melirik Kania.
Ada banyak hal yang ingin ia katakan untuk menenangkannya, tapi amarah yang mendidih dalam dirinya membuatnya sulit berpikir jernih.
“Aku janji, Zio akan kembali. Percayalah padaku,” katanya singkat namun tegas.
Kania mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. “Tapi mas, siapa Pras? Nama itu tidak asing. Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya,” gumamnya, mencoba mengingat.
“Nanti mas jelaskan.”
Anak buah Adrian terus memberikan tekanan pada Pras. Pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhnya, namun Pras tetap teguh dengan jawabannya.
“Aku bukan penculiknya!" teriak Pras. wajahnya basah oleh keringat dan darah. “Aku bahkan sedang berada di rumah sakit menemani putriku saat kalian menyeretku ke sini! Aku tidak tahu apa-apa soal anak itu!”
Adrian masuk ke ruangan itu, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar anak buahnya berhenti.
Ruangan itu mendadak sunyi. Hanya terdengar nafas Pras yang terengah-engah, terbungkus dalam rasa sakit dan ketakutan.
Adrian mendekat, menatap pria itu dari atas dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam.
“Pras,” ucap Adrian dengan nada pelan namun menusuk. “Kalau benar kamu tidak terlibat, kenapa seseorang menyebut namamu sebagai pelaku penculikan?”
Pras mendongak perlahan, matanya yang lebam menatap Adrian dengan panik.
“Karena aku adalah kambing hitam! Seseorang memanfaatkan reputasiku! Aku tidak tahu siapa yang menculik anakmu!”
Adrian menarik kursi dan duduk di depan Pras.
Jari-jarinya mengetuk meja kayu di antara mereka, menciptakan suara monoton yang membuat Pras semakin gugup.
“Siapa yang ingin menjebakmu?” tanya Adrian, suaranya datar namun penuh ancaman. “Kamu bahkan bukan siapa-siapa. Percaya diri sekali!” ejeknya.
Pras menelan ludahnya dengan susah payah. “Aku... aku tidak tahu. Tapi aku yakin ini ada hubungannya dengan Laras.”
Mendengar nama Laras, Kania yang berdiri di luar pintu mengejang. Ia langsung masuk ke ruangan itu, matanya membulat penuh emosi.
“Apa maksudmu? Laras? Apa hubungannya dia dengan ini semua?!” tuntut Kania.
Pras menunduk, takut bertemu tatapan Adrian yang kini berubah lebih tajam.
“Aku tidak punya bukti. Tapi dia pernah bicara padaku soal Enzio. Dia bilang ingin menghancurkan hidup kalian. Aku pikir itu hanya omong kosong. Aku tidak tahu kalau dia benar-benar berani melakukan ini! Kalian tahu bagaimana keluarga Laras terutama ayahnya, bukan?”
Kania hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Laras? Dia memang selalu membenciku, tapi aku tidak pernah berpikir dia sekejam ini sampai tega menculik anakku!” Air mata mulai mengalir di pipinya.
“Mas, cari Zio! Zio tidak bersama pria ini. Dia dalam bahaya!”
Adrian menghela napas panjang, mencoba menahan amarahnya.
“Lepaskan dia," perintahnya pada anak buahnya, merujuk pada Pras.
“Tapi, Pak–” protes salah satu anak buahnya.
“Lepaskan dia!” ulang Adrian, kali ini dengan nada yang tak bisa dibantah. Pras terkulai lemas di lantai, sementara dua anak buah Adrian membantunya berdiri.
“Kamu bebas untuk kali ini, Pras. Tapi kalau aku menemukan bukti bahwa kau berbohong…” Adrian mendekatkan wajahnya ke arah Pras, suaranya lebih rendah namun mengerikan. “Aku akan memastikan kamu tidak akan pernah melihat dunia luar lagi.”
Pras hanya mengangguk ketakutan sebelum diseret keluar ruangan.
Adrian berbalik ke arah Kania yang masih menangis. Ia mendekat dan memeluk mantan istrinya dengan erat, mencoba menyalurkan kekuatan di tengah situasi yang genting ini.
“Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Zio. Aku janji, aku akan membawanya pulang,” bisiknya di telinga Kania.
Kania memejamkan matanya, menggenggam kemeja Adrian erat-erat.
“Tolong, Mas. Aku tidak peduli pada Laras, aku tidak peduli pada siapa pun. Yang aku inginkan hanya Zio kembali dengan selamat. Aku mau putraku!”
Adrian mengepalkan tangannya di belakang punggung Kania, matanya penuh dengan kilatan marah.
“Laras sudah melewati batas. Kalau ini benar-benar ulahnya, dia akan menyesal telah bermain-main denganku.”
**
Di sebuah gudang tua yang gelap dan pengap, Enzio duduk terikat pada kursi kayu.
Tangan dan kakinya diikat erat dengan tali kasar yang membuat pergelangannya memerah. Bocah lima tahun itu menangis dan berteriak, meminta pertolongan.
“Diam! Kamu ini berisik sekali!” bentak seorang wanita dengan nada penuh amarah.
Laras berdiri di hadapan Enzio dengan rambut acak-acakan dan tatapan mata penuh kebencian. Penampilannya tidak seperti wanita elegan yang biasanya dikenal orang, melainkan seperti seseorang yang kehilangan kewarasan.
“Kamu pikir bisa merengek seperti itu dan ada yang akan datang menolongmu, hah?” Laras mendekati Enzio dan mendorong kursinya dengan kasar hingga bocah kecil itu hampir terjatuh.
Enzio menggigit bibirnya, menahan tangis yang semakin deras.
“Lepaskan aku! Mama dan papa akan datang menjemputku! Tante jelek akan ditangkap polisi dan masuk penjara!” seru Enzio dengan suara bergetar, meski ketakutan ia mencoba tetap kuat.
Laras tertawa sinis, suaranya menggema di ruangan yang kosong itu.
“Oh, jadi kamu pikir Adrian akan datang untukmu? Hah! Kalau bukan karena kamu dan ibumu, hidupku tidak akan berantakan seperti ini!” bentaknya.
Enzio menatap Laras dengan keberanian yang tak biasa bagi seorang bocah.
“Papa nggak suka sama tante jelek! Papa akan melindungi aku dan mama dari orang jahat seperti tante!”
Ucapan polos itu membuat Laras semakin murka.
“Beraninya kamu bicara seperti itu! Karena kamu, aku dicampakkan! Adrian memilih kalian dan meninggalkanku! Semua ini salahmu!” Laras memukul meja di samping Enzio, membuat bocah itu terlonjak ketakutan.
Namun Enzio, meskipun kecil dan tak berdaya, tetap menatap Laras tanpa gentar.
“Tante yang salah! Tante jahat! Nanti tante masuk penjara atau ke rumah sakit jiwa!" teriaknya.
Laras mengangkat tangannya, nyaris melayangkan tamparan, namun berhenti di udara. Nafasnya memburu, dan tubuhnya gemetar. Matanya yang penuh kebencian mulai terlihat berair.
Namun ia segera menepis rasa itu dan berbalik meninggalkan ruangan, membiarkan Enzio yang tetap terikat di kursinya. Bocah itu hanya bisa berdoa dalam hati agar segera ditemukan oleh orang tuanya.
“Mama, papa, Zio takut sama tante jelek hiks…”