Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Laura dan Lucas
Bab 27
"Nah, sekarang siapa yang rakus?" Elara melancarkan ledekan pada Zayden.
"Heh, gak usah menghakimi begitu. Ini hak aku."
"Iya hak kamu, memang. Mau pesen Coklat marshmallow 100 gelas pun, terserah. Tapi itu mubadzir tahu."
"Siapa suruh kamu minum punyaku."
"Aku kan cuma cicipi dikit. Gak meminum, satu sendok pun enggak. Ngerti kata mencicipi gak sih?"
Rupanya tadi Zayden menelpon pelayan, untuk membuatkan satu gelas coklat marshmallow lagi. Zayden tidak suka, minuman kesukaannya berkurang. Kenikmatannya pasti berbeda.
Elara belum selesai mengatur napas setelah argumen kecil dengan Zayden ketika suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Langkah itu terdengar mantap, namun tetap halus, mengisyaratkan seseorang yang percaya diri tapi tetap menjaga penampilan.
Elara mencolek lengan Zayden. “Kamu dengar? Sepertinya ada tamu.”
Zayden hanya menoleh sekilas, kemudian kembali bersandar di sofa dengan santai. “Biasa saja. Jangan terlalu heboh.”
Sikapnya yang acuh membuat Elara merasa aneh. Siapa pun yang datang pasti cukup penting jika berada di rumah ini, pikirnya.
Beberapa detik kemudian, seorang wanita muncul dari balik pintu. Dia tampak anggun dengan gaun pastel yang memeluk tubuh rampingnya, meski perutnya buncit. Rambut panjangnya yang berkilau tergerai, dan wajahnya dihiasi senyum tipis yang tampak terlatih—tapi tak sampai ke matanya.
“Mbak Laura,” Elara bergumam pelan. Ini kali kedua dirinya bertemu langsung dengan istri dari suaminya.
Zayden tetap pada posisinya, seolah wanita itu bukan siapa-siapa. Sementara Elara, mencoba bersikap sopan. Dia berdiri, menyapa dengan ramah, dan mengulurkan tangan. “Halo, Mbak. Apa kabar."
Laura hanya melirik tangan Elara, lalu memalingkan wajahnya tanpa berkata apa pun. Hening menyergap, membuat udara di ruangan itu terasa dingin.
Elara menarik tangannya dengan canggung, mencoba menutupi rasa malunya. Dalam hati, ia mulai bertanya-tanya kenapa Zayden pernah memilih wanita ini.
Di sisi lain, Zayden menatap interaksi itu dengan pandangan datar. Dalam hatinya, dia menganggap tindakan Elara tadi sebagai sesuatu yang tak perlu. Kenapa harus merendahkan diri seperti itu untuk seseorang yang bahkan tak tahu sopan santun? pikirnya.
Tak lama kemudian, Kakek Abraham muncul dari salah satu pintu di sisi lain ruangan. Senyum lebar terpampang di wajahnya saat melihat Laura.
“Laura! Anak manis, akhirnya kamu datang juga,” katanya dengan antusias.
Laura langsung berlari kecil ke arahnya, ekspresinya berubah drastis. Mata yang sebelumnya dingin kini terlihat basah, dan dalam hitungan detik dia sudah memeluk Kakek Abraham sambil terisak.
“Kakek, aku benar-benar nggak tahu lagi harus gimana. Zayden... dia sama sekali nggak peduli padaku. Dia bahkan nggak mau menyapaku tadi,” adunya sambil terisak, memastikan tangisannya terdengar jelas.
Elara, yang berdiri tak jauh, memandang adegan itu dengan heran. “Dia menangis?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Zayden, yang akhirnya berdiri dari sofa, mendekat ke Elara dan berbisik dengan nada sinis, “Lihat? Drama queen sejati.”
Elara hanya bisa menahan senyum kecil, meski hatinya merasa risih.
Kakek Abraham mengusap kepala Laura dengan lembut. “Oh, jangan khawatir, Sayang. Kakek akan bicara dengan Zayden. Dia memang keras kepala, tapi kakek yakin semuanya bisa diselesaikan.”
Saat mendengar itu, Elara makin yakin bahwa Kakek Abraham punya sisi genit. Kenapa dia bisa begitu memanjakan Laura? Kalau Zayden dan Laura bermasalah, bukankah seharusnya kakek mendukung cucunya, bukan malah membela wanita ini? pikirnya.
Setelah situasi sedikit tenang, mereka bertiga—Zayden, Elara, dan Laura—diminta duduk di ruang tamu utama. Kakek Abraham duduk di kursi besar di depan mereka, seperti seorang hakim yang siap menyampaikan putusan penting.
“Baiklah,” Kakek Abraham memulai. “Ada hal penting yang ingin kakek bicarakan dengan kalian. Ini soal pembagian warisan keluarga.”
Zayden langsung menyandarkan tubuhnya ke sofa, jelas tak tertarik. “Kakek, aku sudah bilang. Aku nggak tertarik soal warisan.”
“Tapi ini bukan cuma soal kamu, Zayden. Ini tentang tanggung jawab keluarga,” balas Kakek Abraham dengan nada tegas.
Elara menatap Zayden dengan penasaran. “Kamu nggak mau warisan?” bisiknya.
Zayden hanya mengangkat bahu. “Bukan prioritas.”
Laura, di sisi lain, tampak sangat tertarik. Dia duduk dengan posisi tegak, matanya berbinar-binar mendengar topik ini.
“Kakek sudah memutuskan,” lanjut Kakek Abraham. “Zayden, sebenarnya warisan ini bukan untukmu. Tapi untuk kedua istrimu."
"Kakek. Istri Zayden hanya satu. Aku saja," bantah Laura protes.
"Tenang saja dulu," timpal Abraham.
Elara terdiam. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman tersembunyi.
Laura segera menyela. “Itu sebabnya, Kakek, aku datang ke sini. Aku ingin memperbaiki hubungan kami. Aku yakin Zayden dan aku masih bisa bersama. Tapi aku gak bisa tenang kalau ada wanita ini." Lauran menunjuk pada Elara.
“Sampai di situ saja, Laura,” potong Zayden dingin.
Zayden menahan Laura yang berdiri dan menunjuk Elara.
Elara menoleh dengan kaget. Dia mendengar kembali mendengar Zayden berbicara dengan nada sedingin itu. Setelah beberapa hari ini, dia begitu hangat pada dirinya.
“Aku sudah memutuskan,” lanjut Zayden. “Aku akan menceraikanmu. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan itu.”
Ruangan itu hening sejenak, sebelum Laura bangkit dari kursinya. Wajahnya memerah karena marah dan malu. “Kamu akan menyesal, Zayden!” serunya sebelum berlari keluar ruangan.
Laura yang sedang hamil, perasaannya tentu sensitif. Dia tidak sanggup berlama-lama di tengah orang yang sudah menganggapnya asing. Apalagi ada Elara di sana. Keadaan seakan mengejek Laura, "Kamu tidak punya siapa-siapa sekarang."
###
Beberapa menit setelah Laura pergi, seorang pria masuk ke ruangan itu. Langkahnya tenang, auranya memikat, dan wajahnya…
Elara tertegun. Mata pria itu—Lucas—seolah mencerminkan wajahnya sendiri.
“Permisi, apa kalian akan mengusirku?" katanya, nada bicara pria ini memang angkuh.
Kakek Abraham tersenyum lebar. “Ah, Lucas. Senang akhirnya kamu sampai di sini.”
Zayden menatap Lucas dengan tatapan curiga. “Siapa dia, Kek?”
Kakek Abraham hanya tertawa kecil. “Lucas adalah salah satu yang terhubung dengan bisnis kita. Nanti kau akan tahu."
Elara, yang masih tak percaya dengan kemiripan mereka, memberanikan diri bertanya, “Maaf, Tuan Lucas. Apa anda sadar dengan kemiripan kita?"
"Elara, jangan bicara dengan orang asing!" tegur Zayden.
"Aku hanya penasaran," bisik Elara, mendekatkan tubuhnya pada Zayden.
Lucas menoleh, menatap Elara dengan intens. “Kurasa tidak. Kita tidak mirip. Usia kita saja terpaut jauh. Dari sisi mana bisa dikatakan mirip.” Dia tersenyum tipis.
Namun, sesaat kemudian. Lucas kembali berkata. “Kamu mengingatkanku pada seseorang.”
Elara malah merinding, terkesiap mendengar pernyataan Lucas. Takutnya suatu hal yang merugikan, jika Lucas merasa mengenal wajah Elara dengan seseorang yang jahat. Bagaimana?
Bersambung...