NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Yang Diuji

 

“Aku antar!” ucapnya tegas, tak bisa ditawar. Badannya yang tinggi dan tegap menjulang menghadangku di depan pagar.

Aku mendengkus menahan kesal. Nih cowok bener-bener ya! Baru kembali satu hari, sifat posesifnya kambuh lagi.

“Pokoknya aku antar!” tandasnya kemudian.

“Nggak usah!” Kutolak mutlak tawaran tersebut. “Aku naik line B aja, langsung turun depan kantor.”

Line B adalah nama angkutan kota yang melintas di Jalan Pahlawan. Aku biasa naik angkot tersebut untuk berangkat ke tempat PSG. Sementara untuk pulangnya naik angkot Line A. Seperti itu nyaris setiap hari.

“Kalau Adek nekat naik angkot, angkotnya aku berhentiin! Bodo amat!”

Tawaku menyembur. “Mas Raga pikir aku anak kecil yang mempan ditakut-takuti!”

“Coba aja kalau berani!”

“Nggak usah ngancem!”

Raga tertawa menyeringai. Sesungguhnya aku agak gentar mendengar gertakannya. Pemuda itu tak pernah main-main terhadap ancaman. Dia tipe orang yang nekat kalau sudah punya keinginan. Hal sekonyol apapun yang menurut orang lain mustahil, bagi Raga justru tantangan.

“Pokoknya kalau nekat naik angkot, aku berdiri di tengah jalan, aku halangin tuh angkot sampai Adek diturunkan.”

“Ish!” Aku mendengkus kesal. Betul-betul keras kepala. Andai benar manusia tercipta dari tanah, aku rasa Raga tercipta dari tanah cadas. “Ya udah, ayo!”

Mendengar ucapan pasrahku, dia tersenyum puas, lalu berbalik dan berjalan menghampiri sepeda motor yang terparkir tak jauh dari pagar. Diambilnya sebuah helm biru tua yang semula nangkring di atas tangki, lalu dia berikan kepadaku.

“Lagian ngapain sih jam segini udah nyampe sini?” Aku terus menggerutu, bahkan saat dia sedang membantu memasang gesper helm. “Bikin repot aja!”

Pemuda gagah tersebut tak menanggapi omelanku. Terkulum senyum di bibir merahnya saat mendengar ‘unjuk rasaku’. Jika aku bilang saat itu jengkel dengan kenekatannya, aku tidak bohong.

Persis seperti yang pernah aku katakan, Raga ini tipikal orang yang alot. Sekali diizinkan untuk melakukan hal yang dia mau, maka dia akan terus melakukannya. Meski mendapat penolakan, mana pernah dia peduli.

Setelah hari itu, keesokan harinya dia kembali muncul di rumahku pada jam yang sama. Perdebatan kembali terjadi, dan endingnya tetap aku yang kalah. Alhasil, empat hari berturut-turut aku pergi ke kantor diantar oleh dia. Jika saja tak kucegah, pulang pun maunya dia yang menjemput sebagaimana yang terjadi pada hari pertama. Begitu aku keluar dari kantor, cowok itu sudah ngejogrok nungguin di seberang jalan.

Mumpung tidak ada kegiatan, katanya. Lagi pula dekat dari rumah, sepuluh menit sampai. Dia tidak sadar kalau ulahnya tersebut menimbulkan huru-hara di kalangan teman-teman satu kelompokku.

 

🍁🍁

 

Hari Sabtu, aku berencana ke Ponorogo karena ada kegiatan Lomba Lintas Alam. Kegiatan rutin tersebut merupakan sarana untuk kami saling bersilaturahmi dengan teman-teman dari luar kota. Bagaimanapun aku selalu merindukan momen pertemuan bersama mereka.

Namun, hari itu Raga memohon supaya aku ikut dia dan teman-temannya ke Telaga Sarangan. Acara main tersebut katanya sudah mereka rancang sejak hari di mana dia menemukan aku kembali.

Raga memang sempat berkata ingin jalan-jalan bersamaku sebelum berangkat ke Surabaya. Saat itu kupikir yang namanya jalan-jalan ya sekadar jalan saja, tidak sampai bermalam. Eh, malah ke tempat wisata.

Telaga Sarangan!

Telaga Sarangan merupakan salah satu destinasi wisata yang menjadi ikon kabupaten Magetan. Lokasinya berada di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Kecamatan Plaosan.

“Kita nginep di Villa keluarga Sinyo, berangkat Sabtu siang, pulangnya Minggu. Jangan khawatir, kamu nggak cewek sendiri. Adeknya Sinyo ikut, Kirana dan sepupuku yang dari Surabaya juga ikut,” bujuk remaja lelaki tersebut panjang lebar supaya aku bersedia ikut mereka.

Begitu mendengar nama julukan Kevin disebut, tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk. Andai Raga tahu alasanku menyetujui ajakannya, dia pasti akan membatalkan acara tersebut saat itu juga.

Tapi aku penasaran terhadap Kevin. Apakah dia masih marah kepadaku? Aku juga ingin tahu, apa alasan dia marah. Dan semarah apa sampai bertemu pun tidak mau? Padahal, peristiwanya sendiri sudah cukup lama berlalu. Kurun waktu satu tahun tidak bisa disebut sebentar.

Pukul 3 sore, kami berangkat dengan mengendarai mobil milik keluarga Raga. Sembilan orang berdesakan dalam Honda CRV—yang untungnya memiliki desain interior lumayan luas. Untungnya lagi, aku diminta nemenin Raga nyetir, jadi tidak harus ikut berdesak ria seperti yang lain.

Membayangkan pun sudah engap. Kirana, Cleo—adek Kevin, Hana—sepupu Raga, bertiga duduk di jok tengah. Sedangkan di belakang ada Kevin, Satria, Ronald, dan Taufik. Sempitnya mereka seperti apa, tak perlu dibayangkan.

“Nada, tolong ingatkan Masmu kalo nyetirnya ngawur ya,” pesan Mama sebelum melepas kami pergi.

Aku tersenyum mengangguk.

Rasanya aneh mendengar sebutan ‘Masmu’. Kata yang memiliki arti ‘Kakakmu’ tersebut bermakna intim bagi orang Jawa. Ada kata bantu milik di sana, yang berarti hubunganku dengan Raga dianggap sudah sangat dekat.

“Tenang aja, Tante.” Ronald yang nyahut. “Kalo Raga ngebut, kita yang nimpukin dari belakang.”

“Nunggu kamu mah kelamaan atuh. Kalo Nada kan di sebelahnya pas,” tukas Mama disambut tawa riuh kami.

 

🍁🍁

 

Hari itu, pertama kali aku bertemu gadis yang bernama Cleo. Gadis yang biasa disapa Nonik tersebut adalah adik semata wayang Kevin. Kehadiran dialah yang menyebabkan Kevin tersingkir dari lingkar keluarga Papinya. Gara-gara si Mami hamil Cleo, Kevin dititipkan pada keluarga sang sopir.

Hari itu juga, aku dikenalkan dengan keluarga Raga di luar keluarga inti. Namanya Hanara. Dia merupakan putri sulung dari almarhum paman Raga. Hanara cantik, berbadan bagus, modis—dengan rambut lurus panjang tergerai, manis, dan supel, meski sikapnya kadangkala terkesan liar. Fashionnya seolah mewakilkan pergaulan gadis Surabaya, tempat tinggalnya selama ini.

 

 

🍁🍁

 

Kami tiba di Villa pada pukul 5 sore. Hawa dingin khas puncak pegunungan menyapa kulit begitu pintu mobil terbuka. Aku bergegas merapatkan jaket sembari menunggu yang lain mengemas barang bawaan. Bawaan mereka pada heboh seperti orang mau pindahan. Sementara aku hanya membekali diri dengan tas ransel ukuran sedang. Namanya pencinta alam, terbiasa simpel.

Aku kebagian satu kamar bersama Kirana dan Hanara. Sementara Cleo memiliki kamar sendiri. Dia bahkan sudah booking itu kamar semenjak dari rumah. Bebas dong, suka-suka dia. Kan dia yang punya Villa.

Anak itu awalnya agak songong, seolah sengaja menjaga jarak dengan kami—tiga cewek ini. Namun, karena tak dihiraukan dan terus kami dekati seolah tak ada apa-apa, lama kelamaan jadi akrab sendiri. Begitu sudah akrab, ternyata yang namanya nonik-nonik tuh sama saja dengan gadis seusianya. Seusiaku lebih tepatnya, karena kami memang sepantaran.

“Teteh mandi nggak?” Hanara menghampiri aku yang sedang berdiri di depan jendela kamar, menikmati indahnya pemandangan. Gadis yang dua tahun lebih muda dariku tersebut memang sejak awal memanggil aku dengan sebutan ‘Teteh’. Dia bilang, aku mengingatkannya kepada Teh Rana. “Dingin banget, Teh. Jadi takut mau mandi,” keluhnya lirih.

“Aku sudah mandi,” jawabku datar tanpa memalingkan pandangan. Di sana, tak terlalu jauh dari Villa, hamparan telaga seluas 30 hektar membentang laksana lukisan alam.

“Mbak Kirana gimana?” Gadis itu lantas heboh sendiri, bertanya ke sana kemari hanya untuk urusan mandi. Sampai para cowok juga dia tanya.

Lagi pula, dia salah kalau bertanya kepadaku. Aku ini anak gunung, terbiasa dengan kondisi alam seperti apapun. Stay di kaki gunung, lereng gunung, bahkan puncak gunung pun sudah pernah. Udara dingin adalah kawanku dalam bertualang. Tidur di alam terbuka, tanpa alas apapun, hanya bermodal sarung, itu sudah biasa.

 

🍁🍁

 

“Na, aku keluar sebentar,” pamitku kepada Kirana setelah kami selesai melaksanakan salat magrib.

Sambil melipat mukena di pangkuan, kekasih Taufik itu menatapku heran. “Mau ke mana, Nad? Kan belum makan.”

“Gampang. Kamu duluan aja,” kilahku cepat. Bergegas kukenakan kupluk warna navy yang biasa kupakai saat mendaki gunung. Lumayan untuk mengatasi udara dingin. Apalagi pelengkapnya adalah jaket rajut tebal pemberian majikan Ibu. “Aku nggak lama, kok.”

“Tapi kamu mau ke mana?”

“Jalan-jalan.”

Kirana termangu menatap aku yang sibuk membenahi jaket dan topi. Tatapannya tak lepas mengikuti semua gerak gerikku, hingga aku berjalan menuju pintu. Sampai di situ aku teringat sesuatu, sehingga berbalik menghadap dia.

“O iya, tolong sampaikan ke yang lain, kalau pada mau makan, makan aja duluan. Nggak perlu nungguin aku,” pesanku kepada gadis berwajah lembut tersebut. “Kalo Mas Raga nanyain aku, bilang aja aku jalan-jalan ke bawah. Nggak usah dicari.”

Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas keluar. Sengaja berjalan dengan mengendap-endap supaya tidak ketahuan Raga maupun yang lain. Aku tidak berpamitan kepada mereka. Kalau Raga tahu, dia pasti ikut. Padahal, aku sedang ingin menyendiri.

Tujuan awalku adalah telaga, yang meski hari sudah malam, ternyata keindahannya tak berkurang sama sekali. Aku pernah mendengar cerita dari anak Bos Ibu. Kata dia, Telaga Sarangan pada malam hari jauh lebih indah. Suhu yang berkisar antara 15 hingga 20° C, menjadi khas dan daya tarik dari telaga yang berada di ketinggian 1200 MDPL tersebut.

“Dek, mau ke mana?” Sebuah suara menyapa ketika aku menuruni jalanan sambil menunduk. Sontak kuangkat muka untuk menoleh.

Waduh, Kevin!

“M-mau k-ke telaga.” Mendadak aku gagap. Pemuda itu terasa asing sekali. Tak heran jika aku kagok berbicara dengannya. Lalu, dia panggil apa barusan? Dek? Ya Tuhan! Kuatkan imanku.

“Ke telaga sama siapa?”

“Sendiri.”

“Ini malem.”

 Iya, tahu! Siapa pula yang bilang ini pagi?

“Memangnya kenapa?”

“Aku temani!”

Belum sempat aku menjawab apapun, pemuda itu sudah berjalan mendahului. Mau tak mau, kuikuti langkahnya. Kami menuruni anak tangga di samping Villa, melewati beberapa belokan di antara rumah-rumah penginapan, hingga sampai di sebuah pohon dekat telaga. Kevin berhenti di situ, berbalik menatapku.

“Sudah sampai. Mau ngapain?”

Aku tak menjawab pertanyaan tersebut. Bergegas kulangkahkan kaki mendekati bibir telaga yang dikelilingi pondasi batu dan pagar besi setinggi perut orang dewasa. Kusandarkan badan di sana dengan lengan sebagai penumpunya. Kevin mengikuti apa yang aku lakukan.

“Kamu apa kabar, Dek?” tanya cowok itu setelah beberapa saat kami diliputi sikap saling diam.

“Sehat,” jawabku singkat. Tatapan kami masing-masing lurus ke depan. “Katanya lagi di Surabaya?”

“Siapa?”

“Koko.”

“Oooh....” Lalu diam lagi. Aku yang merasa yakin akan ada lanjutan dari 'oooh' tersebut, menunggu dengan setia. Dan ternyata keyakinanku benar. “Kemarin balik, sekalian menemani Hanara. Dia bilang pengen liburan di Madiun.”

Deg!!!

Ada desir aneh di dadaku. Inikah yang dinamakan cemburu? Saat itu aku berpikir cepat. Jadi, si Hanara datang ke Madiun berdua dengan Kevin? Pantas terlihat akrab sekali dengan cowok kece itu. Bukan sekadar sok akrab. Menurutku, lebih tepat jika disebut agresif.

“Aku minta maaf,” ujar Kevin kemudian. Kutoleh dia, bertepatan dengan dia tengah menolehku juga. Aseeem, asem! Batinku misuh-misuh. Masih serakah aja tuh orang. Ganteng kok diborong sendirian. “Terakhir kali bertemu, suasananya kurang enak. Maaf jika aku kasar waktu itu.”

Aku tersenyum kecut. “Sudah dari dulu aku maafkan.”

Kevin terkekeh lirih, membuat pandanganku kembali berbelok kepadanya. Namun, yang kudapati hanya sebuah tatapan menerawang lurus, jauh ke depan.

“Kamu dan Raga gimana, Dek?” Pertanyaan yang satu tahun lalu pernah dia ucap, kembali ditanyakan. “Sudah jadiankah?”

Serta-merta kugelengkan kepala.

“Aku pikir sudah.”

“Mas Raga nggak cerita?”

“Soal apa?”

“Tentang kami.”

Kevin menggeleng.

“Aku dan dia itu nggak mungkin bisa....”

“Apanya?”

“Mustahil untuk bersatu.”

“Lah, kenapa?”

“Karena aku nggak bisa!”

“Alasannya?” Kevin balik badan, pindah posisi menghadap ke arahku. “Raga tuh sayang banget sama kamu. Kenapa nggak bisa?”

“Lihat saja aku dan keluargaku, lalu bandingkan dengan Mas Raga dan keluarganya.”

“Memangnya kenapa?”

“Kami jauh berbeda, Ko. Gadis seperti aku, mana pantas buat dia.”

“Bentar, bentar!” sergah Kevin terlihat antusias. Dia mendekat ke arahku. “Kamu minder?”

“Jujur, aku merasa tidak pantas disukai oleh Mas Raga. Tapi aku tidak berani menyampaikan hal itu. Bagiku, dia cukup jadi mimpi saja.”

“Jadi itu alasan kamu menolak dia?” Kevin tergelak lirih, lalu memamerkan senyum sinis khasnya yang bagai mata pisau mengiris-iris hati. “Kolot banget cara pikirmu!” oloknya kemudian.

“Itu satu dari beberapa alasan lain.”

“Wah, luar biasa! Jadi selama ini aku terlalu GR ya,” lirihnya, “aku pikir kamu nolak dia tuh gara-gara aku.” Lagi-lagi cowok di sebelahku terkekeh, melempar tatapan kosong ke arah telaga yang terhampar di hadapan kami.

Reaksi tersebut membuatku tersenyum masam. Ingin rasanya berteriak lantang di samping telinga tuh orang. “Memang kamu salah satu penyebabnya! Kamu yang membuat aku tidak sanggup menerima Raga!”

Namun, teriakan tersebut hanya menggema di sudut hati. Nyatanya, yang keluar justru pertanyaan aneh. “Memangnya boleh aku jadiin Koko sebagai alasan menolak Mas Raga?”

Air muka Kevin seketika memerah. Sambil tertawa sungkan, pemuda pemilik bibir indah tersebut berujar panik, “jangan! Jangan ya! Aku cuma bercanda.”

“Nah, makanya,” tukasku sok tenang.

Harap dicatat! Dia hanya bercanda! Seharusnya aku tertawa, bukan jatuh cinta.

“Lagi pula, cewek bego mana yang lebih memilih aku di saat nyata-nyata seorang Raga mengharap dirinya?”

“Kalau beneran ada cewek sebego itu, gimana?”

“Ya aku sadarkan dong, biar begonya nggak permanen.”

Tawa kami meledak tak tertahan. Itu tawa yang rasanya sudah berabad-abad tak kudengar. Tawa yang aku rindukan. Tawa yang begitu lepas, seolah memberi harapan. Tertawa bersama Kevin membuatku sejenak merasa seakan mampu menggapainya.

Jika saja nyaliku setingkat lebih tebal, seharusnya waktu itu adalah kesempatan paling baik untuk mengatakan hal yang sejujurnya kepada Kevin. Tak harus peduli bagaimana reaksi dia. Jika selesai, biar sekalian selesai.

Namun, aku bukanlah Hanara yang bisa dengan cuek berkata, “aku suka sama Kakak,” walau sudah jelas Kevin menghindar. Mentalku belum sebaja dia, yang ketika mendapat penolakan mentah-mentah, masih bebal untuk mengejar.

Hanara memang menyukai Kevin. Suka dalam arti cinta antara pria dan wanita. Kenyataan tersebut aku ketahui malam itu saat tanpa sengaja mendengar percakapan mereka di teras samping Villa.

“Aku suka sama Kakak!”

“Makasih.” Suara Kevin terdengar ogah-ogahan.

Dari nada suara yang aku dengar, kurasa dia berkata begitu sambil mengerjakan sesuatu yang lain. Entah apa, aku tidak melihat sebab posisi kami terhalang dinding kamar mandi.

“Makasih doang, nih?” goda Hanara dengan logat genit. Entah mengapa, saat mendengarnya aku jijik dan benci sekali.

Hening. Entah apa yang berlangsung di luar sana. Tak lama kemudian, suara Hanara terdengar kembali.

“Kakak tidak suka sama aku, ya?”

“Hmmm?”

“Kakak sudah punya cewek?”

“He-em.”

“Pacar?”

“Emmm, ada perempuan yang aku sukai sejak lama. Tapi kami tidak pacaran.”

“Maksud Kakak?”

“Sekadar suka. Mustahil buat jadian sama dia.”

“Kenapa? Beda agama?”

“Intinya... aku minta maaf tidak bisa membalas perasaan kamu.”

“Tapi dia siapa? Kenapa nggak bisa jadian?” Hanara masih mengejar dengan rasa penasaran tingkat tinggi.

Tak lagi terdengar suara lawan bicaranya setelah itu. Mungkin Kevin menjawab dengan isyarat karena Hanara kembali bicara. Namun, aku sudah tidak tertarik untuk menguping. Yang jelas, saat itu aku tahu Hanara menyukai Kevin, tapi Kevin menyukai gadis lain—entah siapa.

 

  🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!