NovelToon NovelToon
Strange Rebirth

Strange Rebirth

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Sistem / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Teen School/College / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Lemonia

Reyna dikirim ke masa lalu setelah berhasil menjebloskan suaminya kedalam penjara.

"Kenapa baru sekarang? Kenapa aku kembali saat aku sudah terbebas dari baj*ngan itu?"

.

"<Bos! kamu membuat mereka lebih dekat! Lakukan sesuatu bos!>"

"Biarkan saja dulu. Sistem, dimana tokoh antagonis sekarang?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25: Pengakuan

Reyna berdiri di depan gudang peralatan olahraga, menatap ponselnya dengan gelisah. Tadi pagi, ia sudah mengirim pesan pada Radit untuk menemuinya di sini. Waktu berlalu, namun yang ada hanya keheningan yang menyelimutinya. Sesekali, angin mengibaskan helai rambutnya yang tergerai, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Radit.

Gudang itu terletak di bagian samping sekolah, tempat yang jarang dilalui siswa. Reyna memeriksa ponselnya sekali lagi. Tidak ada balasan. Bibirnya mulai merapat dalam garis tipis, perasaan was-was mulai merayap di benaknya.

"Apa dia lupa? Atau... dia sengaja menghindar?" pikirnya sambil menghela napas pelan.

Seketika, langkah kaki terdengar dari kejauhan. Reyna mengangkat kepalanya, matanya terfokus pada bayangan seseorang yang mendekat. "Radit?"

Jaden tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum tipis saat sudah cukup dekat, seperti biasa. Namun, sesuatu dalam dirinya terasa aneh. Terlalu tenang, atau mungkin terlalu asing. Reyna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran hatinya yang semakin keras. Desakan pertanyaan sudah menggantung di ujung lidahnya, tapi ia tahu tak ada gunanya terburu-buru.

"Maaf, kalau aku menyita waktu makan siang kamu," kata Reyna, menyodorkan roti wijen isi daging yang dia bawa. “Sebagai gantinya, aku bawain roti ini. Kamu pasti lapar kan?”

Jaden memandangi roti itu sejenak, lalu mengambilnya dengan senyum ramah. "Terima kasih," jawabnya. "Kebetulan aku memang belum sempat makan."

Reyna tersenyum, meski hatinya masih diliputi kegelisahan. Dia memperhatikan cara Jaden menggigit roti itu—tenang dan tanpa ragu. Seolah-olah semuanya baik-baik saja, seolah tidak ada yang berubah. Tapi, Reyna tahu lebih baik daripada mempercayai penampilan luar.

Mereka berdiri dalam keheningan sejenak, hanya suara hewan-hewan kecil di sekitar gudang yang menemani. Reyna merasa canggung, tapi dia harus memulai percakapan ini, bagaimana pun sulitnya.

“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan,” katanya pelan, suaranya berusaha terdengar santai meski perasaannya kacau. Dia tidak ingin terdengar terlalu menekan, namun kata-kata itu terbungkus dalam lapisan kecurigaan yang sulit dia sembunyikan.

Jaden menghentikan suapannya sejenak, menatap Reyna dengan senyum kecil di bibirnya. "Ya, itu juga yang kamu bilang di pesan teks. Kedengarannya serius."

Reyna mengangguk pelan, bibirnya menipis seakan menahan pertanyaan-pertanyaan yang sudah mendesak keluar. “Dulu kamu selalu bilang untuk hidup sehat dan menghindari minuman bersoda, tapi kemarin kamu malah meminumnya, kelihatan sangat menikmati itu.”

Ada jeda. Jaden menatap Reyna dengan sedikit terkejut, namun dengan cepat, ia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Ya, selera orang bisa berubah, Rey. Kadang aku juga butuh sesuatu yang manis.”

Reyna tersenyum tipis, tapi dalam hatinya ia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang salah. "Mungkin," gumamnya, mencoba terdengar wajar. "Tapi... bukan cuma soal itu, Dit. Banyak hal yang... berbeda dari kamu belakangan ini."

Jaden hanya menatapnya, seolah menunggu Reyna melanjutkan. Namun, Reyna bisa merasakan ketegangan di antara mereka, seperti benang yang hampir putus. Mata Radit tidak setenang biasanya, ada sedikit kegelisahan di sana, meski tersamarkan di balik senyumnya.

Jaden diam, seakan tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Reyna menatapnya lebih dalam, merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi... aku rasa kamu sudah berubah terlalu banyak. Aku kenal kamu lebih baik daripada siapa pun. Dan ini... bukan perubahan biasa. Ini seperti... kamu bukan Radit yang aku kenal.” Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Jawab jujur, siapa kamu sebenarnya?”

Jaden tersentak, rasa panik dan takut ketahuan tiba-tiba membuncah dalam dadanya. Namun, dengan sekuat tenaga, ia menekan gelombang kegelisahan itu. Ia memasang senyum lagi, meski kali ini senyumannya tampak lebih dipaksakan dan nyaris goyah. "Tentu saja, aku Radit."

Reyna menatapnya dalam diam, perlahan menggelengkan kepala. Rasa ragu yang selama ini ia pendam mulai menguap, digantikan oleh keyakinan yang semakin kuat. "Mungkin kamu tidak tahu, tapi Radit… dia alergi biji wijen." Suaranya rendah, namun tegas saat pandangannya beralih ke roti di tangan Jaden yang hanya tersisa setengah. "Dan kamu memakannya dengan santai."

Jaden berhenti sejenak. Kejutan di matanya tidak bisa disembunyikan, ekspresinya membeku sebelum dengan terburu-buru ia terbatuk, mencoba mengeluarkan makanan dari mulutnya. "Uhuk! A-apa?" Ia mendesah putus asa, napasnya tersengal, wajahnya pucat dalam panik yang mendadak. "Kamu tahu aku alergi, tapi kamu tetap memberikannya padaku?"

Reyna tetap berdiri tegak, tidak tergerak oleh reaksi Jaden. Ada sesuatu yang aneh, dan ia tahu bahwa apa pun yang akan keluar dari mulut Jaden kali ini tidak bisa dipercaya begitu saja. Ini bukanlah Radit yang ia kenal, dan semakin lama ia memperhatikannya, semakin ia yakin.

"Apa sekarang kamu mau mengaku?" Nada bicara Reyna lembut, tapi setiap katanya menyiratkan ketegasan yang tidak bisa diabaikan.

Jaden menatapnya dengan pandangan kosong sejenak, seolah mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Wajahnya tampak tegang, namun ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum tipis yang penuh kepalsuan. "Reyna..." suaranya lirih, seperti mencoba mencari simpati. Kemudian, dengan tawa kecil yang terdengar hambar, ia berkata, “Kamu mencoba untuk mencelakaiku hanya demi ini?”

Reyna menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul. "Kalau kamu benar-benar Radit, kamu tidak akan tertipu. Sejujurnya Radit tidak alergi biji wijen. Aku hanya menjebakmu."

Ekspresi Jaden perlahan berubah. Kepanikan yang semula jelas terlihat di wajahnya mulai menghilang, berganti dengan raut wajah datar dan tatapan kosong. Pikirannya berputar, mencerna situasi. Apa dia baru saja dikerjai?

Untuk pertama kalinya, Jaden benar-benar harus waspada dengan ucapan Reyna agar tidak terjebak lagi.

"Aku... aku jatuh dari tangga waktu itu, ingat? Ingatanku... bermasalah. Mungkin aku lupa tentang beberapa hal."

Reyna mendengus kecil, merasa muak dengan alasan yang seolah-olah diciptakan untuk menutupi kebohongan. “Kamu bisa berkelit terus, tapi aku tahu kamu berbohong. Semenjak kemarin, ingatanmu sudah sangat bagus. Kamu tidak pernah lupa hal-hal kecil seperti itu.”

Jaden terdiam. Tatapannya menghindari Reyna, matanya berkedip cepat, seakan sedang memikirkan apa langkah selanjutnya. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada kata yang keluar. Reyna mengamati setiap gerakan tubuhnya dengan cermat. Ia bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti Jaden, seperti seseorang yang terpojok namun masih mencoba mencari jalan keluar.

Dalam keheningan itu, Reyna bisa mendengar detak jantungnya yang berdetak cepat, bergema di telinganya. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya—antara cemas, ragu, dan harapan yang samar. Ia ingin percaya bahwa sosok di hadapannya adalah Radit, seseorang yang seharusnya ia hindari di kehidupan keduanya. Namun, terlalu banyak hal yang terasa salah. Orang ini bukanlah Radit, setidaknya bukan Radit yang ia kenal, dan jika itu benar... maka ini adalah berita baik.

Jika Radit bukan dia yang sesungguhnya, Reyna akhirnya bisa bebas. Bebas dari bayang-bayang masa lalu, dari tekanan yang selalu menghantuinya, dan yang paling penting, ia bisa menjalani kehidupan yang selama ini ia inginkan tanpa harus terus menghindar atau bersembunyi.

"Radit…" Reyna menghela napas panjang, "Aku tidak marah. Jika memang benar kamu bukan Radit, aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi, aku punya satu permintaan—aku ingin kamu menjauh dariku setelah ini."

Radit terdiam sesaat, wajahnya menunjukkan keterkejutan. "A-apa? Tidak, aku tidak bisa melakukan itu."

Pikirannya berkecamuk, 'Bagaimana dengan misinya?' Batin Radit bergejolak.

"Dan kenapa tidak?" Reyna mendesak, tatapannya tajam namun ada kelembutan di baliknya, seolah ia memberi kesempatan untuk sebuah kejujuran.

"Rey, a-aku... aku," kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Setiap kebohongan hanya akan memperburuk keadaan.

Reyna menatapnya dengan tenang, namun ada kelelahan di matanya. "Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa hidup sebagai Radit. Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya. Tapi kita hanya dua orang asing, kita tidak pernah benar-benar saling mengenal, jadi... sebaiknya mulai sekarang kita tidak perlu menjadi akrab."

Reyna berbalik untuk pergi, merasa bahwa pembicaraan ini sudah selesai. Beban di hatinya sedikit berkurang, meskipun tidak sepenuhnya hilang. Namun, langkahnya terhenti oleh suara yang datang dari belakangnya.

“Aku Jaden,” suara itu terdengar lebih tenang, lebih dalam dari sebelumnya. Reyna mematung."Aku sudah memberikan namaku. Aku tidak ingin menjauh darimu."

Reyna terdiam, punggungnya kaku. Jantungnya kembali berdetak cepat, namun kini lebih karena kebingungan dan ketidakpastian. Ia menoleh perlahan, tatapannya menelisik sosok di hadapannya.

“Akan aku katakan semua alasanku,” lanjut Jaden, suaranya terdengar memohon namun tetap tegas. “Jadi... jangan minta aku untuk menjauhimu.”

1
aca
masih teka teki
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!