Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Rival
Qing Qing turun dari mobil, tas sekolahnya tersampir di bahu, melompat-lompat sepanjang koridor memasuki rumah kediaman keluarga di belakang, mulutnya bersenandung kecil.
Rambut panjangnya yang dikuncir kuda bergoyang-goyang seiring gerakan langkahnya. Pipinya yang sudah tidak lagi tembam tampak kemerahan karena panas matahari, masih ada sisa keringat di ujung hidung dan anak rambut di tengkuknya.
Ia masih mengenakan seragam olah raga. Kaos lengan pendek dan celana pendek kaos warna merah muda, dipadu sepatu sneakers hitam dan kaos kaki putih selutut. Ia termasuk salah satu anggota tim basket sekolah, dan tadi baru bertanding melawan kelas dua SMP.
"Ma... Mama..." Ia berteriak penuh semangat, membuka pintu kamar Miranti untuk mencari ibunya itu, lalu beralih ke dapur.
Tidak menemukan ibunya di kedua tempat itu, ia melangkahkan kaki kembali ke depan, menuju ke kantor.
Benar saja, ia menemukan ibunya di kantor, sedang memelototi sebuah buku sementara sebelah tangannya sibuk di atas sempoa. Ia sangat hafal kesukaan ibunya menghitung uang.
"Ma...! Aku panggil-panggil dari tadi, kok gak jawab sih?!" Qing Qing agak cemberut.
"Apa?" Miranti menanggapi tanpa mengangkat kepala.
"Papa pulang hari ini, kan?! Kok Pak Ari gak disuruh jemput ke bandara?"
"Ya kata Papa karena waktunya pas kamu pulang, Pak Ari harus jemput kamu, jadi dia mau naik taksi aja."
Kali ini, Miranti baru mengangkat kepala. Dan matanya mengamati Qing Qing dari kepala hingga ke kaki.
"Ganti baju lah, apa yang kamu pakai itu!" Miranti agak mendengkus. "Gak pantas anak gadis pamer paha ke mana-mana!"
Qing Qing membelalak. "Kok aku dibilang pamer paha sih, Ma? Ini seragam olah raga sekolah kok." Ia tak terima dituduh sembarangan.
"Ya pakai hanya waktu olah raga aja, kalau pulang ganti baju dulu yang layak. Kamu itu sudah dewasa, harus bisa jaga diri." Miranti mengernyitkan kening, suaranya agak ketus.
Qing Qing telah membuka mulut, siap untuk melanjutkan protes. Tetapi terdengar suara gerbang dibuka dan Ari menyambut seseorang yang datang.
Sontak, Qing Qing meninggalkan Miranti, dan bergegas ke depan.
"PAPA!" Ia berlari menubruk ayahnya. Bernard menyambut anak gadisnya itu dalam pelukannya.
"Anak baik, kangen sama Papa ya?" Tersenyum lebar, Bernard mengusap-usap kepala Qing Qing.
"Kangen kangen kangen, Papa lama banget perginya. Qing Qing udah pengen makan masakan Papa," Qing Qing merebahkan kepala di dada ayahnya dengan manja.
"Ya sudah, Qing Qing mau makan apa? Setelah Papa simpan koper, kita ke supermarket untuk belanja, lalu kita masak bareng, oke?"
"Oke, Papa!" Seru Qing Qing antusias. "Aku ganti celana pendek aku dulu."
Bernard mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan ke dalam. Miranti menyambut Bernard dan memberi salam.
"Sudah sampai, Laogong?"
"Hm... ya. Kita mau belanja ke supermarket, nanti mau masak bareng. Kamu mau ikut?" Tanya Bernard.
Miranti menggeleng. Setiap kali melihat Bernard belanja bahan masakan, ia selalu ingin mengembalikan separuhnya ke tempat semula, karena ia menganggap yang dibeli suaminya itu terlalu banyak. Jadi, lebih baik ia tidak melihat.
"Aku masak nasi saja dan tunggu kalian kembali."
Qing Qing keluar kamar tanpa mengganti kaos olah raganya, tetapi celana pendeknya telah ditanggalkan. Kini ia mengenakan rok jeans selutut.
Qing Qing menggelayut di lengan ayahnya. Kedua ayah anak itu lalu naik ke mobil.
Miranti memerhatikan mobil yang melaju menjauh dengan hati yang sukar dilukiskan.
Sejak Qing Qing beranjak dewasa, ada sebuah perasaan tidak nyaman yang tumbuh.
Telah sepuluh tahun berlalu sejak mereka membawanya pulang. Anak itu kini telah melewati usia dua belas. Yang awalnya dimaksudkan sebagai pancingan, ternyata tidak membuahkan hasil. Miranti masih juga tidak mengandung, sampai hari ini.
Ia mulai merasa menyesal, berpikir keputusannya untuk mengadopsi Qing Qing adalah sebuah kesalahan. Anak yang tidak jelas asal usulnya itu, kini bisa mengurangi jatah warisan Bernard. Rasanya ia tidak rela.
Bernard sangat menyayanginya. Sering memberinya uang dan membawa oleh-oleh perhiasan. Bahkan Qing Qing telah dibukakan rekening sendiri, yang jumlahnya tidak ia ketahui, sebab Bernard telah mewanti-wanti Qing Qing bahwa itu adalah miliknya yang tidak boleh ada orang lain yang tahu, termasuk Mama.
Apalagi setelah melihat bayi menggemaskan itu menjelma menjadi gadis muda yang menawan. Kakinya panjang, tubuhnya semampai, telah lebih tinggi dari Miranti, dan masih berpotensi lebih tinggi sebab masa pertumbuhannya belum selesai.
Dadanya yang baru tumbuh memang belum terlalu besar, tapi tampak bulat indah. Belum lagi kulitnya yang putih bersih dan halus licin, bahkan jerawat pun enggan hinggap di sana.
Pipinya selalu bersemu kemerahan. Matanya yang sipit bukan tanpa lipatan, ada lipatan meskipun tidak lebar, dengan ujung mata agak mencuat. Konon, itu disebut mata phoenix. Dan mata itu dihiasi bulu mata lentik panjang.
Bibirnya yang kecil ranum kemerahan, dan hidungnya kecil tapi bangir. Keseluruhan wajahnya yang oriental sangat unik dan eksotis. Miranti menduga, Qing Qing berdarah campuran. Mungkin hasil cinta terlarang gadis berdarah Cina dengan pemuda pribumi, atau sebaliknya.
Meskipun mereka dengan resmi telah mengadopsinya, semua perkembangan ini membuat hati kecil Miranti menolaknya. Ia tetap meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Qing Qing adalah orang lain. Pancingan yang gagal. Anak yang tidak jelas asal usulnya.
Ketika melihat ayah anak itu kembali sambil tertawa-tawa seraya menenteng kantong-kantong belanjaan, kemudian masak bersama di dapur dengan asyik, hati Miranti semakin tidak terima.
Matanya mengamati perawakan Qing Qing dari belakang, dan mulai membandingkan dengan dirinya sendiri.
'Dalam dua tiga tahun lagi, bagaimana jika Tuan tergoda olehnya? Walau bagaimana, dia bukan darah dagingnya.' Setan telah membisikkan kata-kata hasutan di kepala Miranti.
'Qing Qing bukan anak kami, bukan anakku. Dia adalah rival."
byk yg qu skip krn byk yg g penting
karyawan baru emg hrs byk belajar g salah jg mirna menyuruh bangun dini hari
Kejutannya di karya ini adalah ternyata Qing Qing dan Dara Sepupuan.
ahh terpaksa komentar di bagi bbrpa kna kepanjangan wkwkwkwk
semangatt ka Dela👍👍👍
spt cinta Damar dan Qing Qing, tak ada yg salah sama Cinta mereka, wlpn Qing Qing 14 thn dan Damar 19 thn, mereka iya salah kna terpancing gelora muda hingga MBA... tapi jika spt ungkapan ada hukum sebab akibat bkn kah Damar dan Qing Qing sudah mendapatkan nya?