Hazel nyasar masuk ke dalam novel sebagai karakter antagonis yang semestinya berakhir tragis dengan bunuh diri. Namun, nasib memihak padanya (atau mungkin tidak), sehingga dia malah hidup adem ayem di dunia fantasi ini. Sialnya, di sekelilingnya berderet cowok-cowok yang dipenuhi dengan serbuk berlian—yang terlihat normal tapi sebenarnya gila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Cuma Pena
Suasana kelas sepi di jam istirahat, hanya ada beberapa siswa yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hazel tertidur dengan tenang di bangkunya, wajahnya terlihat damai di antara keheningan ruangan.
Tangannya yang terlipat di atas meja berfungsi sebagai bantal alami, memberikan kesan bahwa dia sedang dalam mimpi yang nyaman.
Di bangku sebelahnya, Febrian duduk dengan posisi yang santai, matanya terfokus pada wajah Hazel yang sedang tertidur.
"Cantik banget sih," gumam Febrian pelan, seolah hanya untuk dirinya sendiri.
Dia mengistirahatkan kepalanya di atas tangannya yang bertumpu di atas meja, tidak ingin melepaskan pandangannya dari Hazel.
"Orang secantik dan selucu lo gak mungkin jahat," lanjutnya, suaranya begitu lembut hampir seperti bisikan di tengah keheningan.
Kehadiran Febrian di sebelah Hazel seolah menambah kesan damai di ruang kelas yang sepi itu. Dalam hati, Febrian merasa hangat melihat Hazel yang begitu tenang saat tertidur.
Tanpa disadari, perlahan-lahan dia mengulurkan tangannya, berniat untuk menyentuh sehelai rambut yang menutupi wajah Hazel, mungkin untuk sekadar menggantungkannya di belakang telinga atau sekadar memastikan agar tidak mengganggu tidurnya.
Namun, sebelum jarinya benar-benar menyentuh rambut itu, sebuah tangan tiba-tiba menahan pergerakannya dengan tegas.
"Ikut gue," perintah tegas yang keluar dari suara pemilik tangan itu menghentikan langkah Febrian.
***
Di belakang bangunan perpustakaan yang biasanya ramai oleh pelajar yang bersantai, suasana terasa sangat sepi. Bangku-bangku yang biasanya dipenuhi oleh tawa dan obrolan kini kosong, karena ada satu sosok yang membuat semua orang pergi.
Febrian duduk di bangku kayu, tubuhnya bersandar pada sandaran yang keras dan sedikit miring ke belakang. Satu kakinya terlipat di atas lutut kaki lainnya, menunjukkan postur yang tampak rileks tapi penuh kewaspadaan.
Tangannya bertumpu di atas sandaran bangku, jari-jarinya bergerak perlahan seakan mengikuti irama yang tidak terdengar.
"Apa mau lo?" tanya Febrian dengan nada tegas.
Suaranya rendah dan tenang, tapi penuh dengan otoritas. Ia tidak mengubah posisinya, tetap bersandar dengan kaki yang disilangkan, namun sorot matanya semakin intens.
"Gue gak mau apa-apa. Cuma mau tanya aja," jawab Agler dengan nada santainya. Ia menatap Febrian dengan senyum tipis yang tidak lepas dari bibirnya.
Febrian menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan kecil dari Agler. Senyum sinis mulai terukir di bibirnya, memperlihatkan ketidakpercayaan yang mendalam. Ia menggeser sedikit posisi duduknya, tubuhnya kini lebih condong ke depan, menunjukkan bahwa ia siap merespon dengan cepat jika situasinya berubah.
"Emang lo mau tanya apa?" tanya Febrian, nada suaranya tetap tegas, tapi kini dengan sedikit nada menantang. Tangannya bergerak sedikit, jari-jarinya mengetuk sandaran bangku dengan ritme yang hampir tidak terdengar, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia masih dalam kontrol penuh.
Agler tertawa kecil, suaranya terdengar ringan di tengah keheningan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, sikunya bertumpu pada lututnya. "Hazel," ucapnya singkat, sambil menatap langsung ke mata Febrian.
Mendengar nama itu, Febrian langsung mengubah posturnya. Senyum sinisnya menghilang, digantikan oleh ekspresi serius dan penuh kewaspadaan. Ia berdiri dengan cepat, mengangkat tubuhnya dengan satu gerakan yang penuh dengan energi dan kekuatan. Kedua kakinya kini berdiri kokoh di tanah, siap untuk bergerak kapan saja.
"Dia cukup menarik," lanjut Agler, nada suaranya terdengar main-main, sambil menahan tawa kecil.
Febrian tidak bisa menahan amarahnya lagi, dalam satu gerakan cepat ia melangkah maju dan meraih kerah baju Agler dengan kuat.
Agler terkejut, tubuhnya terangkat dari bangku dan berdiri, kedua kakinya hampir tidak bisa menahan keseimbangannya. Tapi ia tetap mencoba mempertahankan ketenangannya, meski tatapan matanya menunjukkan sedikit kekhawatiran.
Febrian menarik Agler lebih dekat, wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci. Matanya berkilat-kilat dengan kemarahan yang sulit ditahan.
"Lo pikir lo bisa main-main sama dia?" desis Febrian dengan suara rendah namun penuh ancaman.
Agler menelan ludah, tapi tetap mencoba mempertahankan senyum tipisnya. "Jangan marah, gue gak akan nyakitin dia. Karena gue rasa gue mulai tertarik sama dia," jawabnya sambil tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar sedikit gemetar.
Febrian mengepalkan tangan kanannya, siap untuk memukul wajah Agler. Namun, tangannya terhenti di udara, seolah ada sesuatu yang menahannya. Perlahan, ia menurunkan tangannya dan melepaskan cengkramannya dari kerah baju Agler.
"Bukan hanya tertarik atau suka, tapi gue cinta sama dia," lanjut Agler dengan senyum yang semakin melebar, matanya penuh dengan keyakinan.
Febrian terdiam, tidak mampu berkata-kata. Ia duduk kembali di bangkunya dengan gerakan yang kasar, kakinya menendang kursi di sampingnya hingga terbalik, menciptakan bunyi keras yang menggema di keheningan. "Lo bener-bener pinter mancing emosi orang," ucapnya dengan nada kesal, wajahnya memerah karena marah.
Agler hanya tersenyum meremehkan, merapikan dasinya dengan santai. "Gue cuma bilang yang sejujurnya."
***
Sepulang sekolah, Febrian meminta Tania untuk menemuinya di sebuah restoran privat. Meja telah dipenuhi dengan hidangan yang tersaji rapi, tetapi keduanya belum menyentuh makanan sama sekali.
Suasana restoran yang biasanya tenang dan nyaman terasa tegang dengan percakapan yang belum dimulai.
Tania duduk dengan gelisah, mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran yang jelas. "Lo tahu betul gue orangnya sibuk. Kalau cuma diem aja mendingan gue balik. Lo bisa chat gue, itu pun kalau gue bales," ujarnya dengan nada kesal, matanya menatap tajam ke arah Febrian.
Hari ini banyak hal yang membuat mood-nya hancur, dan undangan mendadak dari Febrian hanya menambah rasa frustrasinya.
Febrian menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Tania dengan serius. "Lo harus jagain Hazel," ucapnya dengan nada yang penuh urgensi.
Tania yang mendengar itu tak bisa menahan tawanya. Tawa yang penuh sarkasme memenuhi ruangan yang hening. "Tanpa lo minta pun gue selalu jagain dia," balasnya dengan nada sinis, mata mengernyit menatap Febrian seolah mempertanyakan kewarasannya.
Febrian tidak terpengaruh oleh tawa Tania. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Tania dengan lebih intens.
"Ini beda," ucapnya, suaranya lebih rendah namun serius. "Agler ngincer Hazel. Dan asal lo tahu, si Agler lebih gila dari yang lo bayangin."
Tania mengangkat alisnya, menatap Febrian dengan penuh skeptisisme. Ia mengambil gelasnya dan minum dengan cara yang elegan, mencoba mengatur emosinya yang mulai naik.
"Meskipun Agler itu anak haram dan gak terdaftar dalam KK ataupun pengakuan ke publik bahwa dia anggota keluarga Ranjendra, tetapi tetap aja dia punya posisi dan pengaruh," lanjut Febrian, suaranya penuh ketegangan.
Tania meletakkan gelasnya dengan perlahan, suara dentingan halus terdengar ketika gelas menyentuh meja.
"Gue tahu Agler itu siapa dan gimana bahayanya dia. Tapi lo gak perlu khawatir, Hazel selalu dalam pengawasan gue," ucap Tania dengan tegas, meskipun dalam hatinya ia mulai merasakan kekhawatiran yang sama seperti yang dirasakan Febrian.
Febrian terdiam sembari menatap Tania yang kini sibuk memakai liptintnya. Ia memperhatikan setiap gerakannya, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Tania terlihat tenang, meskipun suasana hati Febrian penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran.
"Sejujurnya bukan cuma Agler doang yang nincer Hazel. Tetapi teman-temannya juga, Ananta, Davian, dan Bastian juga lagi deketin Hazel," ucap Tania dengan santai, namun penuh ketegasan.
Febrian merasa darahnya mendidih. Selama ini, ia hanya fokus pada Hazel dan tahu bahwa Ananta juga tertarik padanya. Ternyata, kenyataannya lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
"Hazel sendiri gak akan sadar bahwa yang deketin dia dan kelihatan kayak manusia normal, romantis, manis, baik, pengertian, perhatian, punya kesedihan, tapi semua itu palsu. Mereka semua gila," lanjut Tania sambil memijat pelipisnya, tampak frustrasi dengan situasi ini.
Febrian tertegun mendengar pernyataan Tania. Tatapan tajam Tania kemudian mengarah padanya, membuatnya merasa terpojok.
"Lo juga termasuk," ujar Tania, sorot matanya menelusuri wajah Febrian dengan penuh kecurigaan. "Jangan lo pikir gue gak tahu apa yang lo kasih ke Hazel," tambahnya dengan nada sinis.
Febrian hanya tersenyum seolah sudah ketahuan, namun tidak menunjukkan penyesalan atau kekhawatiran.
"Padahal gue cuma ngasih pena doang," tawa Febrian, mencoba meredakan ketegangan dengan candaan, meskipun Tania jelas tidak terhibur.
"Febrian," kata Tania dengan nada lebih lembut namun tegas, "lo tahu, masalahnya bukan cuma pada benda yang lo kasih. Tapi pada niat dan maksud di baliknya. Lo, Agler, Ananta, Davian, Bastian... kalian semua punya motif tersembunyi yang Hazel gak tahu. Dan itu yang bikin gue khawatir."
semangat terus author update nya ..😉