Divi hampir menyerah saat pengajuan pinjamannya ditolak, dengan alasan Divi adalah karyawan baru dan pengajuan pinjamannya terlalu besar. Tapi Divi memang membutuhkannya untuk biaya operasi sang ibu juga untuk melunasi hutang Tantenya yang menjadikan Divi sebagai jaminan kepada rentenir. Dimana lagi dia harus mendapatkan uang?
Tiba-tiba saja CEO tempatnya bekerja mengajak Divi menikah! Tapi, itu bukan lamaran romantis, melainkan ada kesepakatan saling menguntungkan!
Kesepakatan apa yang membuat Arkael Harsa yakin seorang Divi dapat memberikan keuntungan padanya? Lantas, apakah Divi akan menerima tawaran dari CEO yang terkenal dengan sikapnya dingin dan sifatnya yang kejam tanpa toleransi itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 27. Mulai Menyadari Rasa Yang Hadir
Jantung berdebar. Tangan mulai dingin. Kelopak mata mengerjap. Apakah Divi sedang berhalusinasi? Atau sedang berkhayal terlalu jauh? Jika ciuman itu bukan hukuman seperti apa yang pernah dikatakan Arkael sebelumnya, lantas apa arti ciuman tadi?
"Pak Kael jangan bercanda." Akhirnya Divi memilih untuk menelan realita, siapa dirinya, siapa pria di depannya. Arkael bisa saja hanya terbawa suasana, terbawa perasaan yang seharusnya tidak.
"Apa saya kelihatan sedang bercanda?" Tatapan mata Arkael tajam.
"Lalu apa maksud Bapak?"
Arkael tidak sempat menjawab lantaran pintu kamar diketuk dan suara Bimo terdengar dari luar sana. Pria itu berdecak, enggan meninggalkan Divi, tapi mendengar ketukan Bimo yang tidak sabaran membuat Arkael mau tak mau harus menjeda percakapannya dengan Divi untuk membuka pintu.
"Apa?" tanya Arkael dengan nadanya yang gusar.
Bimo berbisik pada Arkael, dari tempatnya berdiri Divi bisa melihat bagaimana Arkael mengepalkan tangannya setelah Bimo selesai menyampaikan sesuatu.
"Ada apa, Pak?" tanya Divi. Ia khawatir Paulina membuat drama lagi hingga membuat Arkael terlihat gusar seperti itu.
"Nggak ada apa-apa. Kamu istirahat saja. Saya keluar dulu."
Dan blam! Arkael meninggalkan Divi begitu saja dengan berjuta tanda tanya dalam kepalanya.
Ciuman tadi sungguh meninggalkan sesuatu dalam dada. Sekuat apa pun Divi berusaha menyadarkan dirinya tentang dunianya dan dunia Arkael sungguh berbeda, tentang kesepakatan yang mereka jalani, tentang masa lalu Divi yang telah membuatnya kotor, namun dia tidak bisa memungkiri darahnya berdesir kala Arkael menyentuh bibirnya dengan sangat lembut.
"Sadar Divi, sadar! Lo bukan apa-apa, lo bukan siapa-siapa. Jadi nggak usah berkhayal Pak Kael mempunyai rasa ke lo. Jangan mimpi terlalu tinggi!" Divi menatap dirinya nanar dalam pantulan cermin. "See, bahkan untuk sebuah sandiwara pun, lo nggak akan bisa mempunyai sebuah pernikahan yang sempurna."
Sementara itu, Arkael dan Bimo tiba di lobi hotel, mata Arkael menatap tajam seorang wanita dengan sweater kebesaran, topi hitam dan masker yang menutupi wajahnya.
"Sial Bim, kenapa dia bisa sampai disini?" tanya Arkael dengan nada rendah.
"Bukannya bagus ya dia akhirnya muncul lebih cepat dari yang kita rencanakan?"
Alih-alih menjawab Bimo, Arkael hanya berdecak.
"Kael?" Rana berdiri, langkahnya masih seperti yang terakhir Arkael ingat, selalu seperti model. Selebritis itu menghampiri Arkael dan Bimo yang masih berdiri. "Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi." katanya dengan nada lembut.
"Aku sudah menikah, aku yakin kamu sudah bertemu dengan istriku." jawab Arkael dengan nada dingin.
"Aku memang sudah bertemu dengannya, tapi aku nggak yakin dengan status kalian."
"Apa maksudmu?"
"Bisa kita cari tempat untuk bicara lebih nyaman?"
"Secara teknis antara aku dan kamu nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Jadi, langsung saja apa tujuanmu mengikuti Bimo sampai kesini?"
"Apa kamu nggak mau meluangkan saja sedikit waktumu untuk kita bicara sebentar? Apa kamu nggak rindu dengan masa lalu kita?"
Arkael mendengkus. "Nggak ada yang perlu dirindukan dari masa lalu yang tidak memberikan sedikit pun kenangan indah."
Jawaban itu membuat Rana tecengang, untung saja wajahnya tertutup topi dan masker. Tapi tidak dengan Bimo, temannya itu sampai menganga mendengar jawaban Arkael.
Oke, Arkael memang ingin membalas dendam kekecewaanya pada Rana, ingin membuat mantannya itu menyesal, tapi Arkael juga berniat untuk memulai kembali dengan wanita itu. Jadi, respon super dingin dan kejam seperti itu seharusnya tidak terlontar jika ingin niatnya tercapai, bukan?
"Aku tahu, masa lalu kita berakhir karena aku, tapi bukan berarti kita nggak memiliki kenangan yang-"
"Yang tidak perlu dibahas lagi." Potong Arkael. "Kalau kedatanganmu hanya untuk membahas masa lalu, kupikir sebaiknya kamu pergi. Aku tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu, karena sekarang aku telah memiliki wanita yang aku rindukan setiap saat bahkan saat sedang bersamanya, dan dia adalah istriku. Dia menungguku sekarang di kamar."
"Bohong!" Pekik Rana dengan suara tertahan. "Kamu pernah bilang kalau kamu akan selalu menungguku, kan? Kamu akan menungguku kembali."
"Dulu kamu meninggalkanku demi karir, apa sekarang kamu akan meninggalkan kekasih barumu demi mantan yang sudah menjadi suami orang?"
Bimo menutup bibirnya kali ini. Bukankah kalimat-kalimat Arkael terlalu tajam untuk niat yang dia rencanakan?
"Aku dan Refal, hubungan kami hanya settingan. Itu hanya untuk mendongkrak popularitas saja, hal itu sudah biasa dikalangan seleb pendatang baru."
Arkael mendengkus seraya menggelengkan kepalanya. "Pergilah, kejar mimpi dari karir yang selalu kamu impikan. Entah dengan settingan atau apa pun itu. Jangan menggangguku lagi, apa lagi istriku."
"Tunggu!" Rana menahan lengan Arkael yang langsung ditepis cepat oleh pria itu, seolah jemari Rana adalah sejenis kalajengking beracun.
"Apa kamu melanggar janjimu sekarang, Ar? Bukankah kamu pria yang nggak akan melanggar apa yang kamu janjikan?"
Arkael mengusap wajahnya dengan sangat gusar, jika yang berdiri di hadapannya adalah pria, sudah pasti dia akan menendangnya hingga mental keluar dari lobi hotel.
"Dengar, aku memang pernah berjanji untuk menunggumu, tapi ada satu hal yang kamu lupa, aku tidak berjanji akan menunggumu selamanya. Kamu tidak sesepesial itu."
Kata-kata Arkael sangat menghujam jantung Rana, wanita itu melangkah mundur, dia tidak pernah menyangka dirinya akan ditinggalkan seperti ini, dengan penampilannya yang tidak elegan dan sambil berdiri ditengah lobi yang mulai sepi karena hari yang memang sudah cukup larut.
"Bim, urus dia, gue nggak mau membuat Divi menunggu lama." kata Arkael sambil lalu.
"Ar-"
"Eits!" Bimo langsung menjadikan dirinya sebagai palang penghalang untuk Rana mengejar Arkael. "Lo mau pulang gue pesenin taksi onlen apa telepon menejer lo?"
"Gue mau Arkael yang anterin gue pulang!" kata Rana memekik kesal.
"Dih, dih, lo udah jadi seleb loh, Div, seenggaknya punya harga diri."
"Berisik! Gue nggak butuh pendapat Lo!"
"Gue bukan lagi berpendapat, tapi lo denger dan lihat sendiri gimana Arkael yang udah move on jauh dari lo, jadi jangan terlalu geer."
"Sialan!" Umpat Arana, akhirnya karena Bimo sama sekali tidak membiarkan Arana menyusul Arkael, wanita itu menyerah dan pergi dari lobi hotel itu.
Sementara itu Bimo menggaruk kepalanya yang tak gatal, sepertinya dia harus merombak ulang kesepakatan yang pernah dibuat Arkael untuk Divi.
"Saatnya lembur."
* * *
Arkael mengangguk pada room service yang membantunya membuka pintu karena dia yakin Divi sudah tidur dan tidak mau mengganggu. Benar saja, gadis itu sudah terlelap tidur di atas sofa. Model tidur yang selalu aneh membuat Arkael selalu tersenyum melihat kelakuan tidur Divi, alih-alih ilfeel.
Perlahan dia membungkuk, menyelipkan kedua tangannya di bawah punggung Divi, dan satunya lagi dibawah lutut. Cukup mudah bagi Arkael mengangkat tubuh Divi yang seringan bulu, gadis itu pun terlelap sangat kebo sampai-sampai tidak terasa tubuhnya yang sudah melayang diangkat seseorang.
Saking gagal fokusnya Arkael memandangi wajah Divi yang lelap hingga tanpa disengaja kaki Arkael tersandung kaki coffee table, ia terhuyung dan beruntung masih berhasil mendaratkan Divi di atas tempat tidur.
Tidur Divi pun terganggu, gadis itu mengerjap kaget lantaran tubuhnya yang terbanting di atas tempat tidur.
"Sorry." kata Arkael yang masih berada di atas Divi karena kedua tangannya yang masih berada di bawah tubuh Divi.
Mata Divi yang semula mengerjap karena kaget, tiba-tiba tanpa angin dan badai, sorot mata itu berubah. Ketakutan yang sangat dalam terpancar jelas pada sorot mata gadis itu. Kepalanya tiba-tiba saja menggeleng cepat, kedua tangannya menyilang di depan dada.
"Ampun Ayah! Ampun!"
.
.
.
Bersambung ~
traumakah ????