Mimpi Aqila hanya satu, mendapat kasih sayang keluarganya. Tak ada yang spesial dari dirinya, bahkan orang yang ia sukai terang-terangan memilih adiknya
Pertemuannya tanpa disengaja dengan badboy kampus perlahan memberi warna di hidupnya, dia Naufal Pradana Al-Ghazali laki-laki yang berjanji menjadi pelangi untuknya setelah badai pergi
Namun, siapa yang tau Aqila sigadis periang yang selalu memberikan senyum berbalut luka ternyata mengidap penyakit yang mengancam nyawanya
.
"Naufal itu seperti pelangi dalam hidup Aqila, persis seperti pelangi yang penuh warna dan hanya sebentar, karena besok mungkin Aqila udah pergi"
~~ Aqila Valisha Bramadja
.
.
Jangan lupa like, komen, gift, dan vote...🙏⚘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mukarromah Isn., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya
"Dia terkena kanker otak stadium tiga"
Pernyataan Darren membuat mereka yang ada disana terdiam membeku
"Kanker otak stadium tiga?" lirih Mama Intan diangguki Darren, membuatnya langsung terduduk lemas memandang Aqila yang belum sadar
"Bagaimana bisa?" Papa Arya memegang lengan Darren, ia pun tak percaya tentang ini
"Nenek juga dulu meninggal karena kanker otak kan? Jadi bisa saja ini adalah faktor genetik atau keturunan" jelas Darren
"Tidak mungkin" Papa Arya duduk disamping istrinya, memang benar kalau ibunya juga menderita kanker otak, tapi ia tak pernah menyangka akan menurun ke salah satu putrinya
Devano meremas tangannya, hatinya kelu mengetahui hal ini, apa yang telah ia lakukan? Ia menampar Aqila, bahkan sampai mendorongnya jatuh, rasa bersalah itu hinggap dihatinya begitu saja
"Cepat siapkan mobil, kita bawa ke rumah sakit" seru Mama Intan saat Aqila tak kunjung membuka mata
.
Ruangan serba putih itu dipenuhi bau obat-obatan pekat, di tengah ranjang pasien terbaring Aqila yang masih belum sadar dengan tangan kiri yang tertancap jarum infus
"Kenapa Aqila belum sadar sampai sekarang dok?" Tanya Darren pada dokter Diana, dokter spesialis onkologi yang terkenal di rumah sakit Bramadja dengan umurnya yang terbilang muda
"Bisa kita keluar, Saya ingin membicarakan sesuatu penting dengan kalian"
"Rian jaga Aqila disini" Darren mencegah Rian yang hendak berdiri untuk ikut keluar
"Baik kak" Rian mengangguk dan duduk seorang diri menemani adiknya, adik yang terkesan kurang diperhatikan olehnya
.
"Aqila menderita kanker otak stadium tiga" dokter Diana memulai pembicaraan
"Menurut hasil ST Scan kanker itu terjadi di sekitar bagian memori otak, hal ini bisa berpengaruh terhadap ingatan pasien"
"Apa ia juga sering mimisan?"
"Iya dok" Darren yang menjawab, karena mengingat Aqila yang tiba-tiba mimisan di meja makan membuatnya yakin kalau adiknya pasti sering mengalami hal itu
"Kanker otak stadium tiga sudah termasuk kanker ganas karena penyebarannya yang cepat, oleh karena itu kemungkinan besar kanker sudah menyebar ke area sinus nasal kemudian menjadi nekrosis yang menyebabkan mimisan" jelas dokter Diana yang membuat mereka kembali terkejut
"Lalu kenapa ia belum sadar sapai sekarang?" Devano mengeluarkan suara, terdengar jelas kekhawatiran bercampur rasa bersalah dari suaranya
"Kanker otak menyebabkan penderitanya mengalami sakit kepala yang luar biasa, bahkan tak jarang mereka lebih memilih euthanasia karena tidak tahan dengan rasa sakit itu" Perkataan dokter Diana membuat Darren terkejut sedangkan keluarga yang lain mengernyitkan alis, bingung dengan istilah kedokteran itu
"Apa itu euthanasia?" tanya Papa Arya
"Suntik mati"
Deg
Jantung mereka bekerja lebih cepat mendengar itu, suntik mati?, Devano memegang dadanya saat rasa bersalah yang luar biasa menggerogoti hatinya
"Penyakit kanker otak juga mempengaruhi emosi pasien seperti tiba-tiba marah atau sebaliknya, sering lupa, mengalami halusinasi dan mempengaruhi cara bicara"
"Lakukan yang terbaik untuk putri saya dokter" Mama Intan menggenggam tangan dokter Diana
"Tentu kami akan berusaha semaksimal mungkin"
"Tapi satu hal yang harus kalian ketahui, sampai saat ini belum ada obat khusus yang bisa membunuh kanker, pasien harus menjalani beberapa tahapan seperti kemoterapi, radioterapi dan operasi, untuk mengecilkan dan mengangkat sel kanker agar tidak semakin meluas ke organ lain"
.
Aqila mengerjapkan matanya perlahan, cahaya diruang serba putih itu membuatnya silau, kepalanya terasa pusing dan penglihatannya nampak masih buram
"Aqila" seseorang memanggil namanya dari samping membuatnya sedikit menoleh
"Kamu siapa?" Aqila memegang kepalanya dan meringis pelan
"A aku Rian" Rian sedikit tergagap menjawab, hatinya terasa berbeda seperti dilingkupi rasa bersalah yang besar, bayangan-bayangan dimana ia membentak Aqila atau menyakiti adiknya terlintas dikepala
"Kak Rian?"
"Ya Kak Rian"
"Ini dimana?"
"Rumah sakit" Aqila mengangguk sejenak dan menutup mata, namun ia kembali membuka mata saat menyadari sesuatu
"Aqila mau pulang" Aqila membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dan melepas jarum infus dengan paksa sampai mengeluarkan darah
"Aqila" Rian menarik tubuh adiknya agar kembali ke tempat tidur
"Aqila nggak mau di rumah sakit, Aqila nggak sakit" Rian sampai menahan air matanya mendengar itu
"Aqila harus dirawat biar cepat sembuh"
"Aqila mau ketemu nenek, mereka pasti udah nunggu Aqila dirumah" halusinasi itu datang lagi
"Mereka nggak ada dirumah, mereka udah pergi"
"Pergi kemana? Tadi Aqila denger mereka manggil Aqila" Rian menghadap keatas sekuat mungkin menahan air matanya agar tak terjatuh
"Mereka pergi ke tempat yang jauh dan tak akan kembali"
"Aqila mau ikut mereka, Aqila nggak mau sendirian di rumah lagi" Aqila berusaha melepaskan diri dari Rian, jilbabnya sampai terlepas karena bergerak kesana kemari
"Aqila nggak boleh ikut mereka" Rian mengelus rambut adiknya, air matanya sudah tak tertahan saat melihat banyaknya rambut yang rontok ke tangannya padahal ia hanya mengelus pelan
"Aqila nggak mau kesepian lagi dirumah" Ingatan masa-masa kecil itu berputar dikepala Aqila
"Aqila nggak kesepian lagi, kita ada semua ada untuk Aqila" Aqila memeluk Rian erat, pelukan kakak yang menjadi mimpinya sejak kecil
"Sshhhhh"
Aqila meringis merasakan sakit pada kepalanya, ia mulai memfokuskan pandangannya dan melihat Rian yang tersenyum menatap dirinya dengan mata memerah
Aqila langsung melepas pelukannya pada Rian dan memperbaiki posisinya
"Maaf kak" Aqila meminta maaf, mengutuk dirinya dalam hati, emosinya benar-benar tidak bisa dikontrol, otak dan hatinya seolah bukan miliknya lagi
Rian merasakan sesuatu yang aneh saat tiba-tiba Aqila melepas pelukan mereka dan meminta maaf seolah orang asing hingga menciptakan suasana canggung di ruangan itu
"Tanganmu berdarah, kakak panggil dokter sebentar" Rian bangkit dari duduknya melihat tangan kiri Aqila yang masih mengeluarkan darah akibat jarum infus yang dicabut paksa
Aqila melihat tangan kirinya dan benar saja, pantas ia merasakan rasa sakit
Aqila merenung sejenak, keluarganya sudah tau, mereka sudah tau tentang penyakitnya, ia tak bisa menyembunyikan apapun lagi dari mereka, sikap merekapun mulai berubah, Aqila sampai bingung menghadapi Rian yang seperti tadi, karena seolah bukan Rian yang biasa ia kenal
Sibuk merenung dan berkutat dengan pikirannya, Aqila sampai tak sadar kalau jilbab yang ia kenakan sudah terlepas dari kepala hingga memperlihatkan rambutnya yang kian menipis
Ceklek
Pintu kamar itu terbuka, dokter Diana juga keluarganya masuk kedalam ruangan
"Kenapa infusnya dilepas?" tanya dokter Diana dengan tersenyum ramah, Aqila hanya menjawab dengan gelengan, ia masih bingung dengan pemikirannya sendiri
"Jangan terlalu dipikirkan, kita semua ada untuk Aqila, jangan pernah berfikir sendirian, Aqila harus punya semangat buat sembuh" Aqila hanya menanggapi dengan senyuman, bagaimana ia tak berfikir sendiri? jika sedari dulu ia seolah orang asing
"Aqila harus sembuh sayang" Mama Intan memeluk Aqila dan mengup-usap rambut putrinya hingga rambut Aqila banyak menempel ditangannya
Ia mengangkat wajahnya keatas agar tak mengeluarkan air mata, bukan hanya Mama Intan tapi mereka semua yang ada dalam ruangan itu mengalihkan pandangannya kearah lain, agar tak terlihat bersedih didepan Aqila
.
Banyak Typo...🙏