Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Akhir
"Untuk itu, mulai detik ini ...."
Lidah Bima sekaku untuk mengatakannya, tapi secepat mungkin Bima bersikap sedikit lebih tenang. Dia menatap lekat manik indah Lengkara yang akhir-akhir ini kehilangan serinya. Mau bagaimanapun Bima membantah, tetap saja penyebab utama adalah dirinya.
"Kamu bukan istriku lagi," tegas Bima usai terhenti cukup lama, saat itu juga Lengkara lemas dengan mata yang membulat sempurna.
Dia tidak bermimpi, Bima menjatuhkan talak tepat di malam dia ingin memberikan nafkah batin. Walau tidak cinta, tapi hati Lengkara bergemuruh mendengar keputusan Bima.
"Mas menjatuhkan talak barusan?" tanya Lengkara memastikan dengan mata yang kian membasah, tanpa aba-aba Bima menjatuhkan talak.
"Hm aku melepaskanmu, aku tidak ingin turut memaksamu ... sebelum telanjur jauh, aku tidak bisa memastikan bisa membuat batinmu bahagia, Lengkara. Di matamu ada pria lain, dan aku yakin mau sekeras apapun kamu berusaha, cintamu sudah habis di masa lalu."
Bima adalah anak yang dibesarkan tanpa pernah merasakan cinta dan kasih sayang di masa kecil. Hidupnya selalu hanya tentang tangis dan air mata, dan dia tidak ingin perasaan itu bertahan sampai akhir hayatnya.
Sebagaimana Yudha yang mampu membuat Lengkara hidup segan mati tak mau, dia juga ingin merasakan hal yang sama, tapi saat ini bukan Lengkara orangnya. Bima bukan pria yang berani memaksakan kehendak sekalipun dia ingin.
Pria mana yang tidak tertarik pada Lengkara, pesona wanita itu membuat Bima berdebar dan sama sekali tidak berbohong. Namun, jika bersamanya akan terus-terusan begitu, Bima tidak kuasa.
Bukan tidak mau berjuang, tapi yang dia pahami tentang cinta adalah perasaan dua arah. Tidak dapat dipaksakan, dan jelas harus selesai dengan orang lama. Jika Yudha sudah tiada atau Yudha menyakiti Lengkara lebih dulu, mungkin bisa saja Bima meneruskan langkahnya.
Namun, jika keadaannya begini hati Bima sakit juga. Lengkara yang kerap menangis di belakangnya adalah bukti jika dia sakit sekali dan posisi Yudha tidak akan terganti. Bima tahu diri, dia tidak ingin memaksa dan terlalu lama tenggelam dalam sandiwara.
"Aku sangat bersyukur mengenalmu ... awalnya aku pikir bisa membahagiakanmu, tapi semakin kesini aku semakin yakin ada di sisiku hanya membuat kamu makin terluka, makin tersiksa."
"Tapi kenapa tiba-tiba?"
Lengkara tidak mengerti bagaimana perasaannya saat ini, dia sudah kacau dan kini semakin kacau. Bima tersenyum kecut, dia menatap lekat wajah bingung Lengkara.
"Tidak tiba-tiba, Ra ... bukankah lebih cepat lebih baik? Aku tidak ingin menyiksamu terlalu lama, kamu dan Yudha sama. Sama-sama keras kepala, sebelum aku keras kepala juga lebih baik kita akhiri saja."
Bima menunduk dalam-dalam, dia sudah berpikir sebelum ini. Bukan hal mudah memang, yang mereka jalani adalah pernikahan. Pernikahan yang sama sekali tidak Lengkara inginkan, walau memang Lengkara tidak berontak dan memaksa minta dilepaskan, tapi hati kecil Bima yakin keinginan itu pasti ada.
Sebelum telanjur, dia takut andai sudah benar-benar cinta sama gilanya seperti Yudha. Jika sampai dia berada di posisi itu, kemungkinan besar sakitnya berkali lipat, ditambah lagi dengan fakta bahwa di hati Lengkara ada Yudha yang belum usai.
Jika menunggu Yudha maka semua akan percuma, pria itu keras kepala dan tenggelam dalam keterpurukannya. Bibirnya mungkin berkata ikhlas, tapi hati belum tentu. Terbukti jelas kemarin dia menemui Yudha, pria itu merenung dan tidak seperti biasanya.
Perasaan mengikat kedua insan itu terlalu erat, Bima tidak bisa memaksakan menjadi pihak ketiga. Lagi dan lagi, Bima tidak ingin menjadi duri dan penyesalan Lengkara di masa depan.
"Dari awal semua ini sudah salah, pernikahan kita berawal dari kebohongan. Kebahagiaan yang Yudha maksud sama sekali tidak akan pernah bisa kuberikan, seumur hidup aku akan terus dibayang-bayangi rasa bersalah."
"Kembalilah pada Yudha, dia sangat mencintaimu dan kamu juga begitu ... aku tidak bermaksud mempermainkan pernikahan, andai awalnya tidak begini, sekalipun kamu tidak mencintaiku mungkin aku akan berpikir lagi."
Berada di posisinya sulit sekali, Bima menyaksikan banyak luka di hati dua orang yang saling mencintai. Seperti kata ibunya, jika Yudha tidak bisa, maka tugas Bima untuk mengambil alihnya.
Selain itu, Bima juga yakin andai tidak ada dirinya dan pernikahan itu tidak telanjur terjadi, Yudha akan melakukan hal berbeda. Apa yang Yudha lakukan adalah bentuk kecemasan, psikisnya tertekan kala itu hingga berada di titik putus asa dan khawatir pasangannya tidak akan bahagia.
Jika dirinya mundur, maka benang kusut itu perlahan bisa mereka rajut. Yudha akan menerima Lengkara, dan cita-cita mereka akan tercapai dengan sempurna. Ya, Bima yakin sekali tentang hal itu.
"Kamu sadar yang kamu lakukan, Mas? Kenapa kalian ... Ya Tuhan, kenapa egois semua? Apa aku memang tidak ada harganya?" tanya Lengkara sedikit salah paham, dia tahu memang sulit, tapi kembali lagi dia belajar menerima walau memang sangat terpaksa.
"Tidak, Lengkara ... justru sebaliknya. Kamu tahu ibuku? Papa menikah karena terpaksa ... sekalipun Ibu mencintai papa, tapi cinta papa tidak berubah pada kekasihnya dan berakhir pengkhianatan. Sedikit tidak logis, tapi memang cinta tidak logika bukan?"
Lengkara ditalak, seharusnya dia senang lantaran setelah ini bebas. Namun, air matanya tetap jatuh jua. Sama sekali dia tidak memiliki cita-cita menjadi seorang janda, tapi sebelum itu Bima menyempatkan diri untuk memeluknya sebentar.
Tidak sebagai suami, tapi mungkin seseorang yang peduli tentang tangisnya. "Jangan menangis, kamu tidak salah di sini, aku yang akan bicara pada papa," ucap Bima mengusap lembut puncak kepala Lengkara, terakhir kali karena setelah ini tidak akan begini lagi.
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya