Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 27 Rindu
Andini dan Bima sudah berada di showroom motor untuk mencari motor yang akan Andini beli. Motor matic adalah incaran Andini jadilah dia langsung menghampiri deretan motor matic yang dipajang dishowroom itu.
Andini sudah mendapatkan apa yang dia sukai tapi dia ingin menanyakan pendapat Edwin lebih dulu mengenai motor yang hendak dia beli. Andini meminta Bima memotret dirinya beserta motor yang hendak dia beli lalu mengirimkan pada Edwin beserta pesan yang dia tulis dibawahnya.
"Gimana, Pak, cocok tidak kalau saya pakai motor ini?"
Pesan terkirim, Andini masih menatap ponselnya menunggu balasan dari Edwin namun pria itu tak kunjung membalasnya. Andini sengaja melakukannya karena dia merindukan Edwin, berharap setelah mengirim pesan pria itu akan menelponnya.
Empat hari tidak bertemu Edwin membuat Andini sangat merindukan pria itu. Rindu suaranya, rindu kebersamaannya, rindu sentuhannya dan rindu segala-galanya.
Menghembuskan nafas berat Andini lalu menatap Bima. "Motor yang ini saja, Kak," kata Andini menyentuh motor matic berbody lebar itu.
"Kamu yakin? ini harganya mahal loh, An."
"Yakin, Kak."
Bima mengangguk lalu bersama Andini mengurus pembayaran pembelian motor matic tersebut.
Setelahnya mereka sama-sama menaiki motor itu menuju rumah sakit untuk membesuk ibu mereka. Andini masuk lebih dulu kedalam ruang rawat ibu Della meninggalkan Bima yang masih memarkirkan motor membuat Bima terheran karena tak biasanya Andini seperti itu.
"Mungkin lagi marahan sama Pak Tua?" guman Bima. Dia pun mengedikkan bahunya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara Andini yang sudah masuk ke dalam ruangan rawat ibu Della langsung menaiki ranjang ibunya, memeluk wanita paruh baya yang belum sadarkan diri lalu terisak disana.
Andini hanya terisak, dia sama sekali tidak berbicara dan mengatakan apapun yang dia rasakan. Tak lama Bima masuk ke ruang rawat Ibu Della membuat Andini langsung mengusap air matanya. Bima mengernyit melihat mata Andini yang sembab terlihat jelas bila gadis itu baru saja menangis.
"Kamu habis nangis?" tanya Bima menghampiri Andini yang masih memeluk ibu Della.
"Tidak, Kak," jawab Andini namun Bima tak percaya.
"Ikut Kakak, kita bicara ditaman."
Bima keluar lebih dulu menuju taman rumah sakit membuat Andini mau tidak mau mengikutinya.
Mereka duduk bersama dibangku rumah sakit dengan saling bersisian.
Bima masih diam menatap lurus kearah rumah sakit yang terlihat ramai meski hari sudah petang. Perawat dan dokter serta keluarga pasien masih banyak yang berlalu lalang keluar masuk rumah sakit. Ada yang masuk karena baru datang ada juga yang keluar karena hendak pulang.
Bima lalu menoleh pada Andini yang duduk di sebelahnya. "Kakak tahu kamu sedang bersedih, An, dan sedihnya kamu itu pasti karena Pak Tua."
"Pak Edwin, Kak," protes Andini karena Bima selalu memanggil Edwin dengan 'Pak Tua'.
"Kakak lebih suka memanggil dia Pak Tua. Kenapa kamu bersedih?" tanya Bima kemudian mengusap rambut Andini.
Terdengar helaan nafas keluar dari mulut Andini membuat Bima jadi semakin penasaran.
"Aku yang salah, Kak, sudah memakai hatiku saat bersamanya."
"Sudah Kakak duga dari awal kalau Pak Tua itu akan mempermainkan kamu," geram Bima rasanya dia Ingin menonjok hidung Edwin sampai patah agar pria itu tidak sok ketampanan.
"Pak Edwin tidak salah, Kak, ini salah aku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku saat bersama dia."
"Tidak, An, wajar saja kamu memiliki perasaan dengannya karena kalian tinggal bersama dan selalu bersama. Tapi yang menjadi masalahnya adalah Pak Tua itu suami orang yang sewaktu-waktu dia akan kembali dengan istrinya."
"Sudah, Kak, Pak Edwin sudah kembali dengan istrinya, mereka bahkan sekarang sedang pergi bulan madu."
"Ya begitulah, An, resiko menjadi simpanan. Tapi sampai sekarang kamu masih perawan kan?" tanya Bima.
Andini menggigit bibir bawahnya membuat Bima menatap tajam kearahnya namun setelah Andini mengangguk Bima pun bernafas lega.
Ya, memang sampai sekarang Andini masih perawan meski bagian tubuh lainnya tak suci lagi.
...****************...
Edwin dan Mona baru saja kembali ke hotel setelah tadi menghabiskan waktu menyelam bersama di North Male Atoll untuk melihat spesies ikan besar dan keindahan bawah laut lainnya.
Sejak pagi Edwin tidak membuka ponselnya karena dia sedang sibuk dengan bulan madunya.
Beberapa hari yang lalu mereka sudah mengunjungi tempat-tempat indah lainnya seperti wisata terumbu karang di Banana Reef, menyusuri keindahan laut dan pemandangan Meeru Island menggunkan perahu dayung, berselancar di Huvadhoo Atoll yang terkenal dengan ombak yang besar.
Hanya tersisa dua hari lagi waktu bulan madu mereka di Maldives karena lusa mereka harus kembali ke Jakarta untuk melanjutkan rutinitas mereka.
"Lusa kan kita sudah pulang, besok kita ke Galeri Seni Nasional Maldives, ya, Mas," ajak Mona.
"Terserahmu saja," kata Edwin membuat Mona sangat senang. Mona menarik tangan Edwin masuk kedalam kamar mandi untuk mandi bersama, berendam bersama dengan saling menyentuh dan saling memuaskan satu sama lain.
Bercinta tentu saja mereka lakukan karena itulah tujuan mereka bulan madu selain menikmati liburan dengan suasana berbeda mereka juga selalu menghabiskan waktu untuk bercinta berharap Mona segera hamil meski kemungkinannya kecil.
Setelahnya mereka makan malam romantis di ruang terbuka yang disediakan hotel dengan pemandangan pantai dimalam hari.
Edwin sangat menikmati waktu kebersamaannya dengan Mona tapi entah kenapa dia masih belum yakin bila Mona benar-benar berubah. Entah hanya firasatnya saja atau memang adanya yang jelas ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Edwin melirik Mona yang sudah terlelap di sebelahnya. Dia lalu turun dari ranjang, meraih ponsel yang seharian ini tidak dia buka khawatir Andini mengirim pesan dan dia tidak membacanya. Seperti yang Edwin duga Andini mengirim pesan padanya padahal beberapa hari ini gadis itu tak melakukannya.
Edwin lalu melangkah keluar dari kamar hotel dia berjalan menuju pantai dan menginjakkan kakinya dipasir yang putih yang terasa kasar dikakinya. Edwin duduk di bangku ya memang disediakan disana lalu menelpon Andini yang dia yakini sudah terlelap.
"Sudah tidur?" tanya Edwin setelah panggilan telepon dijawab oleh Andini.
"Sudah, Pak," jawab Andini dengan suara serak khas bangun tidur.
"Maaf, saya mengganggu kamu tidur," kata Edwin.
"Tidak apa-apa, Pak, saya senang anda menelpon."
"Maaf, saya baru menghubungi kamu."
"Tidak apa-apa, Pak, anda pasti sedang menikmati bulan madu anda dan istri anda."
"Saya tadi membaca pesan yang kamu kirim."
"Ah iya, Pak, tadi saya ingin meminta pendapat anda."
"Motornya cocok untuk kamu. Saya pikir kamu sudah membeli motor setelah terakhir kali saya menelpon kamu."
"Kemarin-kemarin saya tidak sempat, Pak, jadilah baru hari ini saya membelinya."
"Lusa kamu sudah kuliah, bukan? Selamat ya rajin-rajin belajarnya," ucap Edwin penuh perhatian membuat Andini di seberang telepon terdiam.
Edwin memanggil-manggil Andini namun gadis itu tak menyahut. Edwin pikir Andini tidur dia sudah hendak mematikan sambungan teleponnya namun terdengar suara Andini di seberang telepon yang bergumam.
"Saya merindukan anda, Pak."