Ravka terbangun di sebuah kamar hotel disamping gadis tak dikenal hanya berbalutkan selimut. Belum sadar sepenuhnya, kedua orang tua Ravka beserta tunangannya menerobos masuk ke dalam kamar.
Pernikahan yang tinggal menghitung hari akan tetap dilaksanakan, tapi yang menjadi pengantin wanitanya bukanlah sang tunangan. Melainkan gadis yang telah menghancurkan hidupnya.
"Jangan harap aku akan menceraikanmu dengan mudah. Aku akan membuatmu merasakan penderitaan yang teramat sangat karena menjeratku dalam pernikahan brengsek ini," Kemarahan berkelabat di sorot mata Ravka, menghujam tepat ke manik mata gadis berparas ayu yang meringkuk ketakutan di atas ranjang pengantinnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tsabitah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PPA 26#
Alea meletakkan secangkir kopi panas serta sepiring croisant di atas meja sudut di sebelah sofa yang terletak di kamar tidur yang ia tempati bersama Ravka.
Alea sudah hapal betul apa yang akan dilakukan Ravka saat pulang kerja. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya, pemuda itu akan menenggelamkan diri dengan laptop di pangkuannya di sofa kamar sebelum ia memutuskan beristirahat. Terkadang hingga berjam-jam lamanya, tapi kadang kala hanya beberapa menit saja. Namun, itu adalah kegiatan rutin yang terekam dalam ingatan Alea selalu dilakukan oleh suaminya.
"Mas," sapa Alea seraya meletakkan buku yang tengah di bacanya ketika melihat Ravka keluar dari kamar mandi.
"Mas, aku mau bicara," ucap Alea saat sapaannya tidak mendapat tanggapan dari Ravka.
"Mas, aku tahu kalau kamu tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan diriku. Tapi bisakah kamu tidak terus-terusan bersikap seperti ini? Aku lelah menghadapimu yang seperti batu karang. Tembok berlin saja bisa dirobohkan keangkuhannya," seru Alea tidak lagi dapat menahan kesal yang membuncah. Entah bagaimana lagi dia harus menghadapi sikap diam Ravka. Namun, pemuda itu tak bergeming dari kebisuannya.
"Mas mau dibawa kemana pernikahan kita ini? Aku mohon, katakan apa yang kamu inginkan sebenarnya?" rintih Alea.
"Kau tanya apa yang ku inginkan? Aku ingin kau terus memohon seperti itu, memohon padaku untuk bersedia melepaskanmu dari ikatan terkutuk ini," hardik Ravka.
"Sebuah pernikahan bukanlah ikatan terkutuk Mas. Mungkin awal pernikahan kita adalah sebuah kesalahan. Tapi bukan berarti itu menjadikan kamu bisa mengatakan sebuah pernikahan sebagai ikatan yang terkutuk," Alea sudah tidak bisa lagi menahan gejolak amarah yang menyergapnya.
Biarlah mereka bertengkar, itu bahkan lebih baik baginya dari pada hanya diabaikan. Toh selama ini ia selalu diam demi menghindari pertengkaran. Akan tetapi sekarang tidak lagi. Ia harus membuka mata Ravka untuk mulai memikirkan pernikahan mereka.
"Harus kunamakan apalagi kalau bukan begitu? Terikat denganmu dalam sebuah pernikahan sama seperti kutukan bagiku,"
"Baiklah, jika kamu memang menginginkannya. Aku akan memohon padamu untuk menceraikanku," kata-kata itu akhirnya terucap dari bibir mungil Alea yang bergetar.
Impiannya adalah menikah sekali seumur hidup. Namun, ia rela jika memang Ravka harus mengurai ikatan yang terlanjur terjalin diantara mereka. Lagipula tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan pernikahan yang memang tidak memiliki pondasi apapun.
"Kau pikir akan semudah itu aku melepaskanmu?" Tatapan mata Ravka tak bisa terbaca oleh Alea. Sulit sekali menyelam ke dalam hati pemuda itu untuk bisa menebak apa isi di dalamnya.
"Aku akan melepaskanmu, jika kau memohon kepadaku dihadapan seluruh keluargaku. Akui yang sebenarnya bahwa kau telah menjebakku," ucap Ravka sinis.
"Aku tidak akan mengakui apa yang tidak pernah aku lakukan, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengkuinya," ucap Alea tegas.
"Terserah padamu. Kalau memang itu yang kau inginkan, maka jangan pernah mengeluh apapun di depanku,"
"Terserah apa maumu, aku tidak perduli," Alea menghela nafas pasrah, seakan kehilangan asa mengharap belas kasih suaminya. "Tapi satu hal yang harus kamu ingat, jika kamu tetap ingin mengikatku dalam pernikahan ini. Ada tanggung jawab sebagai suami yang menyertainya. Selama itu pula kamu akan terus berkubang dalam dosa jika kamu mengabaikan kewajibanmu," Alea menyelisik perubahan raut wajah Ravka yang menatapnya seolah meremehkan dirinya.
"Tidak usah sok suci bicara soal dosa. Perempuan sepertimu tidak pantas mengucapkannya," sindir Ravka kasar.
"Perempuan sepertiku? perempuan seperti apa maksudmu? Apa kamu tahu seperti apa kehidupanku sebelum ini, sehingga kamu merasa pantas menghujatku?" ucap Alea dengan penekanan pada setiap kata yang meluncur begitu saja dari mulutnya. "Tanyakan pada dirimu sendiri, Mas. Apa pernah kamu mencari tahu kebenarannya sebelum kamu terbelit dengan hipotesa kelirumu itu?" tanya Alea dengan suara bergetar, menahan emosi yang bergolak memenuhi dadanya.
Ravka terdiam, tak dapat menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang dilayangkan Alea. Pertanyaan sama yang ingin sekali ia lontarkan kepada keluarganya yang sudah memojokkannya atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
"Aku hanya ingin meminta izinmu untuk pergi hari minggu besok. Meskipun kamu tak pernah menganggapku, tapi sebagai seorang istri aku berkewajiban meminta izinmu," Alea berusaha mendamaikan hatinya. Tidak lagi terbawa suasana yang dapat memancing emosinya memuncak.
Lagi-lagi, Ravka kembali bungkam tak memberikan sedikitpun reaksi atas ucapan Alea. Pemuda itu mengalihkan perhatiannya pada laptop yang sudah ia keluarkan dari dalam tas kerjanya.
"Diammu ku anggap sebagai persetujuan, Mas," Gadis itu kemudian beranjak dari tempatnya, keluar dari kamar begitu saja dengan perasaan yang campur aduk antara marah dan lega. Ia lega sudah memberanikan diri untuk bisa bicara dihadapan Ravka.
Sementara di dalam kamar, Ravka memperhatikan pintu yang tertutup setelah kepergian Alea. Menyisakan ruang kosong di hatinya, mendapati pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya.
************
Alea meneguk minuman dingin yang diambilnya dalam lemari pendingin di dapur. Berharap dinginnya air itu menyelusup sampai ke dalam hatinya. Mendinginkan emosi yang sudah terlanjur bergemuruh di dada.
Ia menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan sembari menenangkan hati. Alea memejamkan mata perlahan, menguatkan hatinya untuk bisa memberanikan diri menghadapi Ravka. Kepercayaan diri yang rendah tak lagi mampu membendung Alea untuk mengkonfrontir Ravka. Perasaannya jauh lebih nyaman ketika ia berani mengungkapkan isi hatinya dihadapan Ravka.
"Non Alea?" sapa Bi Mimah melihat Alea yang terpejam sambil berdiri.
"Eh, iya Bi Mimah. Ada apa?" tanya Alea seraya membuka kedua matanya. Ia menghapus setitik air yang jatuh di sudut matanya. Meski berusaha untuk tidak lagi menangisi keadaan, tapi air mata itu mengalir tanpa bisa di kontrolnya.
"Non Alea tidak apa-apa?"
"Tidak Bi, Al tidak apa-apa kok," ucap Alea tersenyum lirih.
Alea kembali menuangkan air dingin ke dalam gelasnya yang sudah kosong, lalu mengembalikan botol ke dalam lemari pendingin. Ia membawa langkahnya menuju meja di dekat dapur. Menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk termenung disana.
"Bibi lihat, Non Al seperti banyak pikiran," Bi Mimah turut menarik kursi dan duduk di sebelah Alea.
"Al hanya bingung menghadapi Mas Ravka, Bi,"
"Sabar, Non. Den Ravka itu sebetulnya anaknya baik. Cuma belakangan sikap Den Ravka memang jadi dingin. Mungkin dia sedang ada masalah, Non,"
"Entahlah, Bi," ujar Alea kembali menghembuskan nafas dengan kasar seraya membuang beban yang menyesakkan dada. "Al tahu kalau sabar itu tidak berbatas. Hanya saja sulit sekali untuk terus bertahan menjalani ini semua,"
Bi Mimah memperhatikan Alea tanpa bisa berkata-kata. Dia tidak pernah tahu persoalan yang menimpa gadis dihadapannya. Meski Alea kerap kali memperlihatkan kegundahannya, tapi gadis itu sama sekali tidak pernah menceritakan persoalan rumah tangganya.
Alea hanya mencari tahu kebiasaan dan kegemaran Ravka. Sebatas itu pembicaraan mereka mengenai Ravka, tak pernah lebih. Sehingga membuat Bi Mimah hanya bisa duduk diam menemani gadis itu termenung tanpa bisa berbuat apa-apa.
sebenarnya kata2 yg diucapkan ravka yg seperti ini sudah jatuh talak satu loh thor iya ngak sih kalau dlm agama? karna dia mengatakan melepaskan?
mana udah dibelikan kalung milyaran sm ravka
alex sm ravka bisa di bodoin uler