Sarah dipaksa orangtuanya menikahi tunangan adiknya Sally, hanya karena Sarah seorang anak angkat yang terikat balas budi.
Sally adiknya yang selalu dimanja membuat kesalahan besar, berselingkuh dengan mantan pacarnya yang telah menikah berujung lari dari rumah bersama selingkuhannya.
Sementara itu, untuk menutupi aib keluarga dan menjaga hubungan baik dengan partner bisnis sang ayah, Sarah harus bersedia menikahi tunangan adiknya bernama Raka, seorang laki-laki dingin yang bahkan tidak tertarik dengannya.
Kehidupan rumah tangga mereka yang tanpa dilandasi cinta itu tentu saja menuai banyak konflik. Sampai kemudian Sarah menyadari bahwa diam-diam dirinya mencintai Raka.
Masalah lain bertambah saat kemudian Sally muncul kembali dan berusaha merebut kembali Raka darinya.
Apakah Sarah bisa mempertahankan suaminya dan mendapatkan cinta dari Raka ataukah Sarah harus menyerah kepada pernikahan dan cintanya?
Semoga di sukai, ya...🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suesant SW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 26 TIBA-TIBA INGIN BERTEMU
Sarah melotot kepada Raka dalam rasa terkejut yang luar biasa. Laki-laki ini benar-benar berbaring ditempat tidur yang sama dengannya.
Sungguh di luar perkiraan Sarah, ternyata Raka benar-benar kurang ajar dan tidak dapat dipercaya. Dia berusaha mengambil kesempatan dengan mencurangi Sarah seperti ini.
"Apa yang kamu lakukan!" Bentak Sarah dengan suara seperti geraman. Dada sarah bergemuruh seperti hendak meledak karena amarah dan rasa malu.
"Stttt...." jari telunjuk tangan kanan Raka masih menempel di bibirnya, sementara telunjuk kirinya menunjuk ke arah bawah, bagian perut Sarah.
Sarah menurunkan pandangannya perlahan,
di pinggangnya menempel sesosok tubuh mungil yang memeluknya dengan erat. Anak itu tidur tengkurap. Sebelah tangannya memeluk pinggang sarah dan sebelahnya lagi di atas perut Raka.
"Deasy?" Sarah terbengong. Tak berani bergerak.
"Dia memaksa tidur dengan kita. Aku tidak enak memberitahumu karena kamu sudah tidur" ujar Raka setengah berbisik.
"Kami naik tadi, kamu sudah nyenyak tidur. Aku di sini karena dia memaksaku" mata Raka tidak berkedip seolah menegaskan bahwa dia berada di atas tempat tidur itu bukan karena kemauannya.
"Tapi..."
"Aku terpaksa naik ke tempat tidur ini karena dia merengek, aku takut rengekannya membangunkan kamu jadi ku turuti saja maunya dia"
"Dia memang biasanya tidur denganku kalau menginap di sini." tambah Raka lagi.
"Dia baru saja tidur, biarkan sebentar dulu. Kalau dia sudah nyenyak, aku akan pindah ke sofa bed" Ujar Raka lagi dengan masih setengah berbisik.
Wajah Sarah memerah karena malu. Dia hampir saja meninju wajah Raka, karena mengira laki-laki ini hendak berbuat mesum kepadanya.
Sesaat mereka berdua berpandangan sebelum kemudian sama-sama mengalihkan wajah menghadap langit-langit kamar.
Wajah Sarah terasa hangat, betapa malu dirinya mengingat mimpinya tadi yang merasa sepertinya Raka yang benar-benar mendekapnya.
Bukankah jika memimpikan seseorang berarti dia membayangkannya dan mungkin...menginginkannya?
Sarah menggeleng wajahnya, membuang jauh-jauh pikiran aneh yang muncul di benaknya.
Diliriknya Raka yang kurang dari satu meter jaraknya dari tubuhnya, hanya dipisahkan oleh badan mungil Deasy.
Wajah itu tenang dengan mata terpejam, tangannya sebelah kiri di kepala Deasy tangannya yang lain di atas dahinya.
Sementara Raka sepertinya larut dengan pikiran miliknya sendiri, entah apa yang sedang ada di benaknya.
Mereka berdua hanya diam, membisu dan menunggu.
...***...
Hari-hari berjalan dengan cepat, Sarah mulai terbiasa dengan kehidupannya. 5 hari sendiri di dalam apartemennya dan 2 hari berikutnya Raka akan menjemput ke rumah orangtuanya.
Sarah mulai terbiasa dengan canda tawa keluarga itu. Mereka adalah sebuah keluarga yang sangat harmonis, Sarah menemukan kehangatan keluarga yang sebenarnya di sana.
Kadangkala dia bahkan seperti tak sabar bertemu dengan hari sabtu, di jadwal Raka selalu datang menjemputnya.
Dia akan rela bekerja sampai larut malam, untuk menyelesaikan beberapa deadline supaya di hari weekend dia tidak terganggu dengan pekerjaan-pekerjaan butiknya.
Ketika Sarah pulang menjenguk papa dan mamanya sendiri, dia tidak menemukan kehangatan yang sama seperti yang di rasakan Sarah saat bersama dengan keluarga Raka.
Tidak heran ketika kemudian, dia kerap kali merasa rindu pada mama Raka yang penuh kasih sayang itu, kepada papa Raka yang bijaksana dan humoris, pada Edgar dan Lila yang begitu ramah, kepada si cantik Deasy yang selalu menyukai es cream buatan Sarah dan kepada Raka...
Raka?
Sarah bingung dengan perasaan ini, apakah dia juga merasa rindu kepada Raka?
Sarah tidak bisa menjawabnya. Perasaannya kepada Raka memang tak sama lagi dari saat awal-awal pernikahan mereka.
Dia tidak lagi membenci laki-laki itu dengan sangat, dia tidak lagi begitu ingin membalas setiap perlakuan tidak adil Raka padanya.
Perasaan-perasaan seperti itu tidak seperti hari kemarin. Raka pun sekarang lebih tenang bahkan cenderung menghindar dari Sarah. Dia tetap dingin pada waktu tertentu dan hangat pada saat yang lain.
Tetapi sekarang Raka lebih memberi ruang dan kebebasan kepada Sarah. Dia tidak lagi terlalu mendikte apa yang harus, apa yang boleh dan apa yang tidak bisa di lakukan Sarah. Bahkan kalau Sarah boleh jujur, Raka lebih pendiam dari Raka yang dikenalnya selama ini.
Akhirnya, waktu keberangkatan Raka ke Leiden sudah tiba. Sarah diminta oleh mama dan papa untuk mengantar Raka ke Bandar Udara Juanda.
Mama dan papa tidak bisa ikut mengantar karena bertepatan dengan jadwal check up mama.
Sarah mengendarai mobil Audy Q7 Florett Silver kesayangannya itu menuju ke Bandar Udara Juanda.
Raka Sudah lebih dulu ke sana dengan di antar oleh asistennya Dea.
"Kalau kamu tidak mengantar juga tidak apa-apa, itu hanya permintaan mama, abaikan saja! Dia tidak tahu juga kamu mengantar atau tidak" Itu yang di katakan Raka tadi malam lewat telpon.
"Berangkat jam berapa?" tanya Sarah pendek.
"Jam 10.15"
"Sepertinya aku ada janji dengan Klien jam 10.00. Maaf..."
"Tidak masalah, Dea bisa mengantarku ke Bandara."
Pembicaraan terakhir kemarin sore.
Sarah melirik ke jam tangannya, hampir jam 9. Tapi jalan pagi ini agak macet, membuat Sarah menjadi sedikit gelisah.
Sarah sudah menyerahkan kepada Jen urusan pertemuan dengan klien pagi ini.
Awalnya Sarah berpikir tidak perlu mengantarkan Raka ke Bandara, toh tidak penting dia ada atau tidak.
Tapi, entah mengapa tiba-tiba dia merasa, ini mungkin saja pertemuan terakhirnya dengan Raka. Mungkin saja, di pertemuan mereka selanjutnya, satu atau dua tahun lagi, mereka tidak lagi bertemu sebagai suami istri.
Perasaan itu tiba-tiba begitu mengganggu Sarah, ada rasa takut yang aneh menggelayar dalam hatinya, apakah karena dia sudah terbiasa dengan keberadaan Raka? ataukah ada sesuatu yang lain yang susah di jabarkan tentang perasaannya pada lelaki dingin itu.
...***...
Raka sudah sampai di ruang publik Terminal 2 dari setengah jam yang lalu. Raka masih belum untuk cek in, tiketnya sudah dipesan oleh Dea lewat salah satu aplikasi pemesanan tiket online.
Jam Rolex submariner yang ada di tangannya menunjukkan jam 09.10 WIB.
Entah mengapa dia masih berharap, ada seseorang yang datang sebelum dia berangkat.
Raka menghela nafasnya, dia terlalu berharap banyak, tidak mungkinlah Sarah akan datang, dia sudah bilang kemarin ada meeting dengan salah satu kliennya pagi ini.
Seberapa penting aku bagi dirinya?
Aku adalah seorang suami pura-pura baginya, di atas pernikahan palsu yang terpaksa ini.
Apa yang bisa ku harapkan dari hubungan ini?
"Sejam lagi pesawat berangkat, sebaiknya bapak cek in" kata Dea. Raka masih duduk menghadap segelas kopi.
"Nanti saja..." Sahut Raka.
"Kamu boleh pulang sekarang. Titip mobilku, antar ke rumah saja." ucap Raka sambil menyerahkan kunci kontak mobilnya.
"Iya pak, untuk apartemen nanti gimana selama bapak tidak ada" tanya Dea.
"Kamu saja yang pegang kuncinya, sekali-kali minta cleaning service untuk bersihkan"
"Kuncinya tidak di kasih ke ibu Sarah saja?"
"Aku kan bilang, kamu saja yang pegang kuncinya"
"Oh, iya pak" sang asisten ini menyahut cepat, melihat raut wajah Raka yang berubah mendadak.
"Jangan lupa bapak belum cek in, nanti di tinggal pesawat lho, pak"
Dea pamit, meninggalkan bos nya itu sendiri yang masih tercenung sambil memegang gelas paper cup yang berisi cappucino dengan koper silver yg berdiri di dekat kakinya.
Raka menyapu pemandangan ke sekeliling, tak menemukan apa yang dia cari. Dia tiba-tiba ingin bertemu dengan gadis itu, yang menatapnya dengan pasrah meskipun wajah muramnya kadang seperti diselimuti amarah.
40 menit lagi departure, dia harus cek in untuk mengambil boarding pass. Raka menghirup kopinya yang masih terasa hangat.
Dia beranjak dari tempat duduknya, meraih kopernya dan melangkah masuk menuju counter cek in.
Ada kecewa yang mengusik hati kecilnya, orang yang di tunggunya tidak pernah tiba.