"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Dua
Darren melangkah masuk ke dalam mall yang ramai, di sebelahnya ada Adara. Mereka memang sudah janjian ke mall. Di depan mereka, Fuji, putri kecilnya Darren, berlari-lari kecil dengan semangat. Dengan rambut ikal yang tergerai, Fuji terlihat seperti bintang kecil yang bersinar di hari yang cerah. Mall ini sengaja dipilih Darren sebagai tempat rekreasi dengan harapan bisa mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang membebani pikirannya.
"Papa! Aku mau ke toko mainan!" seru Fuji, menunjuk ke arah butik warna-warni di ujung lorong. Di wajahnya terpancar kegembiraan yang sulit untuk tidak tertular.
“Baiklah, kita ke sana dulu,” jawab Darren, sambil menatap Adara yang ikut tersenyum melihat tingkah laku bocah itu. Mereka berdua berjalan menyusuri mall, di mana lampu-lampu berkelap-kelip membuat suasana semakin hidup.
Sesekali, Darren mencuri pandang ke arah Adara. Meski atmosfir di sekelilingnya cerah dan ceria, hatinya masih dipenuhi oleh awan kelabu. Masalah hukum yang dihadapinya akibat pencemaran nama baik oleh mantan istrinya, Sheila, terus menghantuinya. Dia tidak ingin masalah ini mengganggu momen berharga ini, tetapi pikiran itu tak kunjung pergi.
"Adara, kamu lihat Fuji? Dia sudah sangat senang!" kata Darren mencoba mengalihkan fokus dari masalah yang ada.
“Iya, dia memang anak yang ceria. Tak heran jika dia mewarisi sifat baik dari kamu,” jawab Adara sambil melirik ke arah putri Darren yang sedang terperangah melihat koleksi mainan di etalase.
Setelah beberapa menit berkeliling, mereka memasuki toko mainan. Fuji langsung melambai-lambaikan tangannya ke arah berbagai mainan yang beraneka warna. Darren dan Adara tersenyum, terhanyut dalam kebahagiaan yang ditunjukkan Fuji.
“Papa, lihat! Aku mau yang itu!” Fuji menunjuk ke sebuah boneka besar berwarna merah dengan mata yang bulat. Darren mengangguk sambil meneliti harga boneka itu. Memang, untuk memberi kebahagiaan pada anaknya, dia tak keberatan untuk merogoh kocek dalam-dalam.
“Berapa harganya, Kak?” tanya Adara sambil memperhatikan Darren dengan penuh kasih.
“Ini … agak mahal juga, tapi tidak apa-apa, toh harganya sebanding dengan senyumnya,” sahut Darren sambil mengambil boneka itu dan memberikannya kepada Fuji.
“Yeay! Terima kasih, Papa!” teriak Fuji, menyebabkan beberapa pengunjung lainnya menoleh ke mereka. Adara merasa hangat melihat interaksi antara ayah dan anak itu.
Setelah ke toko mainan, mereka melanjutkan petualangan mereka ke beberapa butik, di mana Fuji mengambil beberapa aksesori lucu untuk boneka barunya. Darren memandang Adara dengan harap-harap cemas.
“Adara, kamu mau makan di mana? Sudah hampir waktu makan malam,” tanya Darren, berusaha mengalihkan topik pembicaraan dari masalah yang membebani pikirannya.
“Bagaimana kalau kita makan di restoran yang ada di mall ini saja? Aku dengar ada restoran Italia yang enak,” sarannya.
“Bisa juga. Fuji, mau makan spaghetti?” Darren bertanya kepada putrinya, yang langsung mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Mau! Spaghetti itu kayak tali yang bisa dimakan, kan, Papa?” Fuji berlari maju sedikit, padahal sejatinya tali itu bukan lah spaghetti. Darren menahan tawa.
Mereka berjalan menuju restoran, dan sepertinya Fuji tak sabar berbuat pada piring makannya. Momen di restoran itu menjadi kesempatan untuk bersantai sejenak setelah seharian berkeliling. Suasana makan malam di restoran yang dipenuhi cahaya lembut itu membuat perut mereka keroncongan.
Setelah memesan makanan, Adara menyadari ada satu hal yang mengganjal di hati Darren, dan dia merasa perlu untuk menanyakanya. Mereka duduk melingkar di meja kecil, Nitro, pelayan tampan datang membawa pesanan mereka.
“Jadi, kebetulan hari ini kita semua disini, ada sesuatu yang ingin kuminta pendapatmu, Darren,” kata Adara, menghancurkan keheningan yang nyaman di antara mereka.
“Hmm? Apa itu?” Darren bertanya, menjaga tatapan matanya tetap menari di atas wajah Fuji yang bersemangat menanti masakan datang.
“Seputar masalah hukum itu. Apakah kamu masih berpikir untuk melanjutkan kasus-kasus pencemaran nama baik itu?” tanya Adara, dengan nada serius, namun tidak mengurangi keceriaan di wajahnya.
Darren terdiam sejenak, menatap Fujinya yang kini sedang melamun sambil sesekali memperhatikan kaca di seberang meja. “Aku… masih memikirkan hal itu, Adara. Ini sudah mengganggu hidupku dan Fuji. Aku tidak bisa tinggal diam.”
“Bagaimana dengan Sheila? Kamu tidak takut jika suatu hari Fuji tahu bahwa kamu malah menjerat ibunya ke penjara?” tanyanya, mencoba mencari sudut pandang lainnya.
Darren menarik napas panjang, berusaha berpikir dengan jernih. “Aku ingin melindungi nama baikku. Tapi, … ketika kamu mengatakan itu, aku jadi teringat. Sheila adalah ibu Fuji, dan imbasnya bisa sangat berat untuknya,” jawabnya pelan.
“Tapi jika kamu pergi ke meja hijau, andai kata suatu saat Fuji dah mengerti, dia pasti mendengarkan beritanya, bagaimana reaksi mentalnya? Dia mungkin merasa bingung atau kecewa pada papanya,” Adara memberikan pandangannya.
“Mungkin … tapi dia juga harus tahu kenapa semua ini terjadi. Kalau tidak, semua orang akan berpikir aku tidak berani untuk melindungi diriku sendiri, dan itu berdampak pada nilai-nilai yang ingin kutanamkan kepadanya. Aku ingin dia tahu bahwa keberanian itu penting, Adara,” jawab Darren, suaranya bergetar sedikit.
“Aku mengerti, tapi kamu tidak berpikir sekali lagi. Masalah yang kamu hadapi sekarang pastinya tidak mudah, apalagi untuk Fuji. Dia akan tumbuh dan tahu siapa ibunya. Apa kamu yakin itu keputusan yang benar?” Adara mencoba lebih hati-hati dalam menjelaskan sudut pandangnya.
Darren terdiam, melihat Fuji yang sekarang sedang menggigit spaghettinya dengan penuh semangat. Dia merasakannya seperti sebuah peluru tajam yang menusuk, bahwa segala keputusan yang diambilnya bukan hanya berdampak padanya, tetapi juga putri kecilnya.
“Ya, mungkin aku harus bicara lagi pada pengacara mengenai konsekuensinya,” kata Darren akhirnya, masih penuh keraguan.
“Malah lebih baik jika kamu bisa berbicara dengan Sheila, bukankah? Komunikasi itu penting. Kamu bisa mencoba untuk memahami dari sudut pandangnya.” Adara menyemangatinya.
Darren menganggukkan kepala. “Kamu benar. Aku sudah banyak berpikir tentang ini, Adara, tentang masa depan Fuji … dan diriku sendiri. Mungkin akan lebih baik jika aku bisa mendapatkan solusi yang baik untuk semua pihak. Aku tidak ingin membuat Fuji menderita.”
“Belajarlah untuk berbagi perasaan dengan jujur, bisa jadi itu yang akan membuat situasi ini lebih mudah.” Adara tersenyum, memberikan dukungan.
Waktu terus berlalu, dan Fuji yang mendengar orang tua mereka berbincang, langsung berseru. “Papa! Tante! Lihat! Ini aku sudah selesai makan. Sekarang kita bisa ke wahana permainan setelah ini?”
Darren dan Adara tertawa. Dalam sekejap, hati mereka sedikit terhibur dengan kelucuan anak kecil yang bertenaga itu.
“Benar, kamu harus beri tahu Papa tentang permainan mana yang kamu suka, Sayang!” Darren menjawab penuh semangat agar Fuji kembali tersenyum, meskipun bebannya masih menggelayut dalam kepalanya.
Malam semakin pekat, tetapi suasana di dalam restoran itu tetap ramai. Saat mereka menyelesaikan makan malam, Darren tetap ingin menyusun rencana untuk masa depan. Meskipun hatinya berat, dia juga ingin memastikan bahwa anaknya memiliki masa kecil yang bahagia.
Fuji menangkap perhatiannya kembali, dengan penuh keceriaan di wajahnya, Darren tahu bahwa apapun yang akan terjadi ke depannya, dia harus melindungi kebahagiaan putrinya.
“Papa, aku sudah siap untuk bermain!” teriaknya, dan Darren tersenyum.
“Ayo, Sayang, kita ke sana!” jawab Darren, dan keduanya berusaha mengalihkan perhatian dari beban yang ada, setidaknya untuk malam ini.
banyak kok artis yang pake narkoboy...
bahkan karir mereka aman2 aja
skrng cm bsa mnyesal kn???mga ga trulang d msa dpn....
kalo dikampungku orang galau patah hari gak bisa fokus sulit tidur datangnya ke psikolog atau ustadz atau tuan guru atau pendeta utk mendapatkan pencerahan bukan ke club miaras dan obat terlarang
entah kalo Adara lemah itu