Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Merasakan Minder
Kalau ada typo mohon dimaklumi.
Like dan mawar merahnya jangan lupa diberi XD
************
"Mau kan? Yuk..." ajak Bara. Kali ini ia benar-benar nekad untuk membawa seorang wanita di boncengannya menuju rumah.
"Ngapain?" tanya Dijah sedikit bingung.
"Ya ke rumahku, ada ibuku, ada ayahku. Adikku udah pulang kemarin. Mau?"
"Ngapain?" ulang Dijah.
"Ya main aja, ngobrol. Nggak ada yang gimana-gimana," sambung Bara lagi.
"Nggak ah. Aku nggak mau. Nggak usah. Jangan," jawab Dijah dengan berbagai bentuk kata penolakan.
"Kenapa?" tanya Bara heran. Selama ini pacarnya atau wanita yang mendekatinya selalu bersemangat jika diajak ke rumah bertemu orangtuanya. Joana saja yang belum punya hubungan khusus dengannya, begitu gencar mendekati ibunya.
"Nggak usahlah. Ini aja aku kepikiran Mbok Jum. Udah siang belum ke sana," sahut Dijah.
"Ntar kita ke sana dulu, beliin makan untuk Mbok Jum dan suaminya. Kok kayaknya berat banget diajak ke rumahku aja. Selama ini kayaknya perempuan itu selalu suka kalo diajak ke rumah buat ketemu orangtua pacarnya." Bara yang tadinya berbaring kini sudah duduk di tepi ranjang. Mulutnya mengatup karena kesal.
"Beda. Jangan disama-samain. Aku beda dengan perempuan yang kamu maksud itu. Udah ah, aku mau pergi. Kalau mau pulang bisa sekarang." Dijah meletakkan handuknya kemudian menyisir rambutnya terburu-buru. Ia meraih sebotol kecil pelembab dan meletakkan beberapa titik di wajahnya serta mengoleskannya dengan cepat.
Bara hanya duduk diam memperhatikan apa yang dilakukan Dijah yang baru saja menolaknya. Apa yang dipikirkannya? Harga dirinya terluka tentu saja. Merasa mendekati seorang wanita yang bisa dibilang jauh dari perkiraan orang-orang tapi nyatanya malah lebih sulit.
Dijah telah selesai dengan wajahnya dan langsung menyambar tas yang berada di pegangan lemari.
"Aku mau pergi," ujar Dijah membuka pintu kamar dan melangkah keluar.
Bara tampak pasrah, ia menarik sepasang sepatunya yang diletakkan Dijah di bawah ranjang agar aman dari tangan jahil orang di luar. Dijah sudah berada di luar kamar menunggui Bara dengan sebuah kunci di tangannya.
"Aku lagi kesel, ada aja yang bikin kesel. Remot tv juga rusak!" Suara Tini yang keras terdengar jelas dari pintu kamarnya yang terbuka.
"Kenapa lagi kau?" tanya Mak Robin.
"Remot tv-ku ini. Minta dibuang," ujar Tini.
"Eh paok (bego)! Itu abes batrenya. Kau ganti batrenya. Bukannya malah kau tukar-tukar yang kanan ke kiri, yang kiri ke Turki. Sampe mati pun gak menyala tipi kau!" Mak Robin yang duduk di depan jendela kamarnya turut menimpali.
"Iya, abis batere kali ya..." ujar Tini kemudian.
"Makanya jangan hemat-hemat kali kau! Sikat gigi kalo gak mencar semua bulunya, nggak kau ganti-ganti! Kebiasaanmu memang itu!"
"Cari duit itu susah Mak!" sergah Tini.
Dijah masih berada di luar kamar menunggu Bara yang sedang memperlambat apa yang dikerjakannya sembari berharap pacarnya berubah pikiran.
"Minta sama mas-mu," pinta Mak Robin pada Tini yang telah keluar kamarnya.
"Itu yang jadi masalah, mas-ku pemalas. Gimana aku mau bergairah pengen nikah, kalo calon suamiku pemalas. Rajinnya kalo urusan pertempean aja. Yang ganteng aja harus banting tulang cari duit, apalagi yang jelek. Ya kan Mas Bara?" tanya Tini pada Bara yang baru keluar kamar menenteng ranselnya.
"Ha?" Bara berpura-pura bengong seolah tak dengar apa yang dikatakan Tini barusan. Hatinya sedang tak bahagia karena Dijah menolak ajakannya. Apalagi ia selalu kehabisan kata-kata untuk menanggapi ucapan Tini.
"Cari pacar itu kayaknya harus yang modelan Mas Bara gini. Ada kerjaan tetap. Meski akhir-akhir ini aku perhatikan kerjaannya ngintilin Dijah ke mana-mana."
"Sembarangan ya Tin..." sahut Bara akhirnya.
"Jah, mas-mu ganteng!" ujar Tini pada Dijah yang baru saja mencemplungkan sebuah kunci ke dalam tasnya.
"Ini hapenya, simpan." Bara menyodorkan ponsel ke tangan Dijah.
"Dikasi hape baru..." ujar Tini.
"Enggak... Bekas hapeku ini," potong Bara cepat karena merasa perlu menenangkan Dijah yang sedang memandang ponsel di tangannya.
"Ah... Nggak percaya aku. Itu model baru. Mas-mu nggak pelit Jah! Langsung dibungkus aja! Kalo Mas Bara punya sisa satu slot lagi untuk pacar, aku mau ya Mas..." Tini duduk di kursi plastik hijau dan mulai mengangkat kakinya sebelah.
"Aduh Tini... Perempuan langka kamu ini. Harusnya masuk dalam On The Spot." Bara mengambil helm pink yang tersangkut di stang motor dan menyerahkannya pada Dijah.
"Tujuh perempuan langka di On The Spot acara tipi itu? Gitu maksudnya?" Mak Robin tertawa terbahak-bahak. "Bisa melucu juga si Bara ini rupanya," sambung Mak Robin kemudian melanjutkan tawanya.
"Hus! Diem!" sergah Tini pada Mak Robin.
"Baju kerjanya udah dibawa sekalian kan?" tanya Bara pada Dijah yang masih berdiri.
"Bawa," sahut Dijah.
"Ke rumahku kan?" tanya Bara lagi.
"Enggak," jawab Dijah.
"Segitunya..." gumam Bara.
Dijah hanya diam mendengar ucapan Bara. Wajah Bara menekuk dan ekspresi Dijah pun sama kusamnya.
"Baru tadi malem enak-enak siangnya berantem. Mending kayak aku. Mau ngambek ya mbok los aja. Mau dateng yo sukur, nggak yo modar (mati)." Tini menggelengkan kepalanya.
"Banyak kali cakap muncung kau! (banyak omong!)" ujar Mak Robin. "Nanti nangeesss," sambung Mak Robin.
"Nggak mungkinlah Mak! Tini montok gitu loo... Yang doyan banyak. Nyari ganti perkara gampang." Tini mengambil kotak rokoknya yang terletak di depan pintu dan mulai menyulut sebatang rokok.
"Aku pergi dulu ya Tin, Mak, jangan lupa bangunin Asti disuruh makan. Udah siang. Nanti ketiduran sampe sore nggak makan kayak yang lalu," pesan Dijah.
"Oh iya! Nanti aku bangunin. Hati-hati di jalan. Peluk Mas-mu Jah! Biar nggak cemberut lagi. Pegang pahanya, remet aja kalo bisa." Tini meneriaki Dijah yang telah berada di boncengan motor Bara dan perlahan menjauh.
"Ada gilak kau ya! Apanya yang diremet?" Mak Robin mencibir memandang Tini yang terkekeh-kekeh.
"Gemes aku Mak! Itu Dijah sama Mas-nya sama-sama mau tapi kebanyakan mikir. Mikir-mikir terus kapan buntingnya Mak!"
"Itulah gunanya otak, Tini... Bukan kayak kau, ada otak cuma formalitas aja!" Mak Robin gantian tertawa terbahak-bahak. Tini yang kesal melihat tawa Mak Robin menghembuskan asap rokok ke arah wanita itu.
"Bodat! (Monyet!)" maki Mak Robin.
*******
"Masih nggak mau aku ajak ke rumah?" tanya Bara.
"Enggak, nggak usah." Dijah tak memeluk Bara, ia hanya memegang kedua sisi jaket pria itu saat berada di boncengan.
"Kenapa?" tanya Bara pelan. Mungkin sekarang Dijah mau mengatakan alasannya.
"Aku minder. Aku denger apa yang ibu kamu bilang di telepon. Perempuan yang namanya Joana itu sedang di rumah. Kamu mau bawa aku ke sana, ketemu orang tua kamu, ketemu perempuan yang suka dengan kamu, aku nggak ada apa-apanya. Jadi apa aku di sana. Nanti orang ngomong apa aku juga nggak ngerti. Aku nggak mau yang gitu-gitu," tutur Dijah.
"Yang gitu-gitu gimana?" tanya Bara. Ia sengaja melambatkan laju motornya untuk bisa mendengar perkataan Dijah dengan jelas.
"Aku nggak percaya diri. Jangan maksa aku, aku masih sibuk dengan hidupku. Jengukin anakku aja masih jarang-jarang. Bukan cuma waktu keluar sama kamu. Tapi tiap aku keluar nggak bawa anakku, aku ngerasa bersalah. Kamu nggak akan bisa ngerti," ujar Dijah.
"Jadi seandainya nggak usah ke rumahku, tapi aku ajak makan dan nonton aja, kamu masih nggak mau? Masih ngerasa bersalah ke anak kamu?" tanya Bara untuk menguji Dijah.
Dijah diam tak menjawab.
"Ini Sabtu, malem kamu kerja. Kita makan ama nonton dulu ya... Aku pengen pacaran kayak orang-orang itu Jah," ujar Bara. "Mau kan?" Bara merasa egois karena tak berusaha mengerti apa yang Dijah maksud.
Bara hanya ingin menghabiskan waktu sebentar bersama Dijah sebelum pergi ke Belanda.
Dijah diam. Beberapa saat lamanya Bara masih berkendara lambat menunggu jawaban Dijah. Ia harus tahu ke mana tujuan mereka pergi.
"Tapi tempat Mbok Jum dulu," sahut Dijah akhirnya.
Bara tersenyum, memaksa Dijah ke rumah orangtuanya sekarang tampaknya bukan ide yang cukup baik. Hubungan mereka ini tampaknya masih mentah bagi Dijah. Dijah masih tak menganggap bahwa ia serius.
Dijah terasa lebih rumit ketimbang Joana. Untuk sekarang ia harus berpuas diri bisa mengajak wanita itu berkencan layaknya pasangan muda lain.
"Kalo mau diajak pacaran peluk aku dong," pinta Bara menarik tangan Dijah yang menggelantungi jaketnya sejak tadi.
Bara menarik nafas lega saat merasakan dada Dijah kembali menempelinya dan wanita itu mengeratkan pelukan di pinggangnya. Setidaknya Dijah sudah tak mengerucutkan mulutnya seperti tadi.
To Be Continued.....
Up tipis-tipis dulu ya XD