SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: KEBANGKITAN
#
Hari ketiga. Pagi datang dengan cahaya yang lembut masuk lewat jendela ICU. Julian masih di posisi yang sama—kepala bersandar di tepi ranjitan Laura, tangan memegang tangan Laura yang dingin. Dia tertidur sebentar, tidur yang gak nyenyak, dipenuhi mimpi buruk tentang kehilangan.
Tapi ada sesuatu yang berbeda pagi ini.
Sesuatu yang halus, nyaris gak terasa—tapi ada.
Jari Laura bergerak. Cuma sedikit, gerakan kecil yang hampir gak kelihatan. Tapi cukup untuk bikin Julian langsung terbangun.
Dia mengangkat kepalanya dengan cepat, menatap wajah Laura dengan jantung berdebar kencang. "Laura?"
Gak ada respons. Tapi jari Laura bergerak lagi—kali ini lebih jelas. Mencoba menggenggam balik tangan Julian.
"Laura, aku di sini." Julian langsung berdiri, tangan satunya menekan tombol panggil perawat dengan desperate. "Aku ada di sini, sayang. Buka matamu. Kumohon, buka matamu."
Kelopak mata Laura bergetar. Perlahan. Sangat perlahan. Seperti butuh usaha besar banget cuma untuk buka mata.
Pintu ICU terbuka dengan cepat. Felix masuk berlari dengan dua perawat. "Apa yang—"
"Dia bergerak!" Julian gak bisa sembunyiin excitement di suaranya. "Jarinya bergerak, matanya—liat! Matanya bergerak!"
Felix langsung periksa monitor, cek pupil Laura dengan senter kecil. "Aktivitas otaknya naik. Respon terhadap stimuli positif. Ini—ini pertanda bagus."
"Laura, dengar suara aku?" Felix bicara dengan nada keras tapi lembut. "Kalau kamu bisa dengar, coba gerakkan jari lagi."
Hening beberapa detik yang terasa seperti jam.
Lalu—jari Laura bergerak. Pelan tapi jelas.
"Bagus! Itu bagus!" Felix tersenyum lebar—senyum pertama yang Julian lihat di wajah sahabatnya sejak tiga hari ini. "Dia fighting. Dia mencoba bangun."
Julian merasakan air mata mengalir lagi—tapi kali ini bukan air mata sedih. Ini air mata lega yang gak bisa dia tahan.
"Ayo, Laura," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku tau kamu lelah. Tapi kumohon, coba lagi. Buka matamu. Lihat aku."
Detik demi detik berlalu. Kelopak mata Laura terus bergetar, berjuang melawan beban yang seolah menekan. Dan perlahan—sangat perlahan—mata itu mulai terbuka.
Setengah. Seperempat cahaya masuk.
Lalu lebih lebar.
Dan akhirnya—akhirnya mata Laura terbuka penuh, meski masih kabur dan gak fokus.
"Laura!" Julian hampir berteriak, tangannya memegang wajah Laura dengan lembut. "Aku di sini. Lihat aku, sayang. Fokus padaku."
Laura berkedip beberapa kali, mencoba fokus. Matanya bergerak-gerak, kebingungan dengan dimana dia berada, kenapa ada selang di mulutnya, kenapa tubuhnya gak bisa gerak.
Panic mulai terlihat di matanya.
"Tenang, tenang," Felix langsung intervensi, suaranya menenangkan. "Laura, kamu di rumah sakit. Kamu aman. Kamu ada ventilator untuk bantu napas, makanya ada selang di mulut. Aku akan cabut sekarang, okay? Tapi kamu harus tetep tenang."
Dengan gerakan terlatih, Felix dan perawat melepas ventilator dari mulut Laura. Laura langsung batuk—batuk yang terdengar menyakitkan—tubuhnya bergetar dengan usaha.
"Pelan-pelan," ujar Felix, memiringkan kepala Laura sedikit. "Napas pelan. In and out. Kamu bisa."
Laura mengikuti instruksi, napasnya pendek dan tersengal tapi dia bernapas sendiri. Tanpa bantuan mesin.
Setelah napasnya lebih stabil, mata Laura perlahan fokus ke wajah Julian yang ada di sampingnya. Dan saat mata mereka bertemu—benar-benar bertemu dengan Laura yang sadar—Julian merasakan sesuatu di dadanya meledak.
"Julian," suara Laura keluar—serak banget, nyaris gak terdengar, tapi itu suaranya. "Kamu—kamu di sini."
"Aku selalu di sini," bisik Julian, air matanya jatuh ke pipi Laura saat dia membungkuk lebih dekat. "Aku gak pernah pergi. Gak akan pernah pergi."
Laura mencoba senyum—senyum kecil yang lemah tapi tulus. Tapi senyum itu langsung berubah jadi air mata yang mengalir dari sudut matanya.
"Aku—aku pikir aku gak akan—" suaranya pecah, terlalu lemah untuk nyelesain kalimat.
"Sshhh, jangan bicara dulu," Julian mengusap air mata Laura dengan ibu jarinya. "Kamu butuh istirahat. Butuh pulih. Kita bisa bicara nanti."
"Tapi aku harus—harus bilang—" Laura bersikeras meski suaranya nyaris habis.
"Gak ada yang harus kamu bilang sekarang," potong Julian dengan lembut. "Yang penting kamu di sini. Kamu bangun. Kamu kembali padaku."
Felix dan perawat memberi mereka space, mundur ke sudut ruangan untuk beri privasi tapi tetap monitor dari jauh.
Laura menatap Julian dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Aku dengar," bisiknya pelan. "Aku dengar semua yang kamu bilang. Waktu aku—waktu aku di dalam gelap itu."
Jantung Julian berhenti sejenak. "Kamu dengar?"
Laura mengangguk sedikit—gerakan kecil yang kelihatan menyakitkan. "Kamu bilang—kamu bilang kamu mencintaiku."
Julian menutup matanya, dahi nya menyentuh dahi Laura dengan lembut. "Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Laura Christina. Dan aku minta maaf butuh waktu selama ini untuk aku nyadar."
"Gak apa-apa," bisik Laura, senyum kecil muncul lagi di bibirnya yang kering. "Aku—aku udah tunggu sepuluh tahun. Beberapa bulan lagi gak masalah."
Julian tertawa—tertawa yang lebih mirip isakan—lalu dia dengan sangat lembut, sangat hati-hati, mencium dahi Laura. Bibirnya berlama-lama di sana, merasakan kehangatan kulit Laura, merasakan bukti nyata bahwa Laura masih hidup, masih bersamanya.
"Jangan pernah bikin aku takut seperti itu lagi," bisiknya di dahi Laura. "Kumohon. Aku gak akan survive kalau kehilangan kamu."
"Aku janji," bisik Laura, matanya mulai berat lagi—efek obat dan kelelahan. "Tapi Julian—"
"Hm?"
"Kamu—kamu harus mandi. Kamu bau."
Julian terperanjat, lalu tertawa—tertawa beneran untuk pertama kalinya dalam tiga hari. "Serius? Itu yang mau kamu bilang setelah tiga hari koma?"
"Aku—aku cuma jujur," Laura mencoba tersenyum lebih lebar tapi terlalu lemah. "Dan—dan kamu harus tidur beneran. Kamu kelihatan—kelihatan mengerikan."
"Kamu juga gak jauh beda," balas Julian dengan senyum, mengusap pipi Laura dengan lembut. "Tapi tetep cantik di mataku."
Laura tersenyum—senyum yang lebih hangat sekarang—lalu matanya perlahan menutup. Tapi kali ini bukan karena koma. Ini tidur normal, tidur penyembuhan.
"Tidur yang nyenyak," bisik Julian, masih memegang tangan Laura. "Aku akan di sini pas kamu bangun. Janji."
***
Di luar ICU, Nia menangis di pelukan Felix. Mereka berdua nyaksiin moment tadi lewat jendela kaca—moment dimana Laura akhirnya buka mata, moment dimana Julian akhirnya bisa bernapas lega.
"Dia bangun," isak Nia bahagia. "Dia beneran bangun."
"Dia fighter," ujar Felix, senyum lebar di wajahnya. "Aku gak pernah ragu dia bakal fight."
Nia melepas pelukan, mengusap air matanya. "Aku harus telepon ortunya. Mereka—mereka pasti khawatir banget."
Sementara Nia sibuk telepon, Felix masuk lagi ke ICU untuk check kondisi Laura lebih detail. Julian masih duduk di samping, tapi kali ini wajahnya jauh lebih rileks, beban berat yang tadi ada di bahunya seolah terangkat.
"Kondisi vital-nya stabil," lapor Felix setelah periksa monitor. "Aktivitas otak kembali normal. Ini miracle, Julian. Miracle beneran."
"Aku tau," bisik Julian, gak bisa lepas pandangan dari wajah Laura yang tidur damai. "Aku tau."
"Sekarang," Felix menatap Julian dengan tatapan dokter yang tegas. "Kamu—kamu akan ke ruang rawat inap, mandi, ganti baju, makan, dan tidur minimal empat jam. Itu perintah dokter."
"Tapi Laura—"
"Laura akan di-handle sama perawat terbaik dan aku akan personally monitor dia. Kamu gak berguna buat dia kalau kamu collapse karena kecapekan." Felix menatap Julian dengan serius. "Bro, aku tau kamu khawatir. Tapi Laura udah bangun. Dia udah aman. Sekarang giliran kamu jaga kesehatan kamu sendiri."
Julian mau protes tapi dia tau Felix benar. Tubuhnya udah di ambang batas. Kalau dia gak istirahat sekarang, dia yang bakal jadi pasien berikutnya.
"Empat jam," akhirnya Julian setuju. "Tapi kalau ada apa-apa sama dia—"
"Aku akan langsung hubungi kamu," janjiin Felix. "Sekarang pergi. Mandi. Lo beneran bau, Julian."
Julian tersenyum tipis, lalu dia membungkuk sekali lagi, mencium dahi Laura dengan lembut. "Aku akan balik," bisiknya, walau Laura gak bisa dengar. "Aku janji."
Dan untuk pertama kalinya dalam tiga hari, Julian meninggalkan ICU—bukan dengan berat hati dan ketakutan, tapi dengan lega dan harapan yang akhirnya bisa dia rasakan lagi.
---
#