Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEKESALAN GUS FAIZ
Adza membuka jendela hotel tempatnya menginap malam ini. Terlihat banyak jamaah di bawah sana yang sedang berjalan, disisi sana adalah payung-payung masjid Nabawi dan disisi lainnya adalah kubah hijau.
Kubah yang menjadi bagian penting dari masjid ini karena di bawahnya terdapat makam seorang manusia mulia yang sudah tiada selama kurang lebih 1400 tahun lalu. Dia adalah seorang Nabi Besar Muhammad Bin Abdullah, Nabinya ummat muslim.
"Allahumma sholli 'ala Muhammad wa'ala ali Muhammad." adza tersenyum lebar. Dia senang berada di sini melupakan sedikit tentang kesulitannya atau apa saja yang dia rasakan selama ini. Kota ini tenang, tempat yang benar-benar membuatnya merasa semuanya tidak ada yang harus dikhawatirkan.
Dia hanya setitik debu walaupun merasakan kesedihan dan musibah yang begitu besar. Namun dia yakin, bukan hanya dia yang sedang mengalami musibah di dunia ini tapi hampir semua orang juga mengalami kesulitannya sendiri. Dia hanya ingin bahagia saja jika bisa, kenapa dua orang tuanya juga sudah tenang di alam sana dan tak perlu dia khawatirkan lagi. Dia hanya perlu merindukannya sambil mengirimkan doa agar kedua orang tuanya bisa mendapatkan ketenangan.
"Kak Adza ..."
adza menoleh ke arah pintu yang diketuk, dia bergerak mendekatinya lalu membuka daun pintu itu dan tersenyum menyambut kedatangan meena. Ya, lebih sering mereka memanggilnya seperti itu karena dia waktu pertama kali adza datang ke sini juga memperkenalkan dirinya sebagai Meena.
"Ukhty butuh sesuatu?"
Meena tersenyum.
"Maaf sebelumnya, Mas Azka mengatakan kalau saya malam ini tidur dulu dengan Kak adza karena setelah menikah nanti baru dia akan tidur bersama di sini. Pernikahannya akan dilakukan besok karena hari ini akan mengurus beberapa hal dulu. Jadi boleh kah malam ini saya tidur bersama dengan Kak Adza?Soalnya kamar yang kosong dipakai oleh Mas Azka, besok baru saya kesana dan dia kesini," ujarnya sopan membuat adza tanpa sadar menelan ludahnya.
Dia teringat lagi kalau akan menikah di sini dan mereka tidak memiliki banyak waktu. Jadi memang akan menikah hari ini atau besok, karena hanya ijab qobul saja.
"Emm, Kak Adza?"
Adza menatap wajah Meena lalu tersenyum pelan dan mengangguk.
"Silakan masuk kalau begitu," ujarnya membuat Meena tersenyum.
Dia mengucapkan salam lalu berjalan masuk ke dalam kamar yang hanya memiliki satu bed itu. Dia hampir melupakan hal ini, besok dia akan menikah dengan pria yang tak lain adalah Azka lalu tidur seranjang di sini.
"Kak Adza kenapa masih ada disana? Apakah ada sesuatu yang ingin diambil di luar makanya tidak mau masuk? Kata Abi dan Mas Azka, kita harus istirahat sebentar lalu shalat dhuha nanti jam sepuluh."
Adza tersadar lagi dan dia menoleh ke arah Meena yang sudah bersuara hingga dia mau tak mau tersenyum canggung dan berjalan ke arah koper setelah menutup pintunya.
***
Azka memakai maskernya dan kembali menutupi sebagian wajahnya. Dia menghela napas pelan dan menatap cermin, wajahnya hanya tinggal sedikit lagi yang harus di rawat dan itu membuatnya masih merasa tidak percaya diri dihadapan adza tanpa bantuan masker ini.
"Semoga nanti saat enam bulan aku dan dia bertemu wajahku sudah pulih sepenuhnya." Azka menghela napas pelan dan mengangguk.
Dia sudah siap jadi langsung berjalan keluar kamar menuju ke depan. Dia belum menemukan keluarganya keluar karena jamnya masih setengah sepuluh. Tatapannya menyisir bagian kamar hotel yang di sewanya di lantai itu, sampai akhirnya dia mendongak ketika mendengar suara pintu terbuka dan seorang gadis memakai gamis berwarna krem dengan hijab putih keluar dari dalamnya.
Untuk sesaat Azka seolah lupa diri, dia menatap wajah gadis itu dengan tatapannya yang dalam membuat gadis yang tak lain adalah Adza itu agak gelagapan sedikit dan menunduk.
"Gus ..."
Azka tersenyum kecil dan berjalan mendekati Adza yang sudah memakai tasnya. Rahman juga keluar dari salah satu kamar hotel yang ada di sebelah Adza, tapi dia tidak melakukan apapun dan hanya diam saja berjaga karena tahu kalau dua orang itu adalah calon suami istri yang akan menikah malam ini atau besok.
Adza bisa merasakan jantungnya berpacu hanya dengan mendekatnya Azka, dia mendongak sedikit ketika pria itu berhenti satu meter dihadapannya.
"Syekh yang mengenal saya dan saya minta untuk menikahkan kita baru bisa melakukannya besok. Jadi hari ini kita melihat pakaian pengantin yang sudah saya sewa saja lebih dulu, baru besok kita akad nikah di halaman masjid, ya?"
Adza menelan ludahnya lalu menatap wajah Azka sebentar walaupun pria itu memakai masker.
"Emm, Gus mengeluarkan banyak sekali biaya untuk pernikahan antar negara ini. Jadi saya berniat untuk membantu sedikit supaya kita bisa fifty-fifty, bagaimana?"
Azka tersenyum mendengar ucapan adza yang mengatakan itu. Dia menghela napas lalu menggeleng, hingga bisa melihat kerutan di dahi adza.
"Saya masih mampu untuk melakukannya sendiri. Saya yang mau menikahi kamu, jadi biayanya saya tanggung sendiri saja sebagaimana mestinya. Disini saya bekerja juga kok, saya punya penghasilan, jadi tidak perlu khawatir. Saya juga belum bertanya soal mahar, kamu mau mahar apa?" tanyanya membuat adza diam.
Azka tahu kalau mereka tidak begitu banyak mengenal jadi mungkin saja adza sedikit sungkan padanya. Namun, dia malah tersenyum dan mengangguk.
"Kita akan akad nikah besok jadi paling lama saya meminta jawaban dari kamu soal mahar adalah malam ini. Saya akan berusaha memberikannya semampu saya tapi jika seandainya saya tidak mampu maka saya akan katakan."
Adza menunduk dan mengangguk. Tak lama setelah itu keluarga mereka keluar termasuk juga Faiz yang langsung melihat interaksi mereka. Dia tampak menatap mereka dengan tatapan kesalnya, makanya dia berjalan lebih dulu tanpa menunggu Azka. Pria itu melihat kakaknya yang sejak tadi seperti tidak mau bicara dan mengurung sehingga dia menoleh ke arah ayahnya yang sedang merapikan jubah serta sorban yang sedang dipakainya.
"Mas Faiz baik-baik saja, Abi, Ummi? Kenapa sejak tadi aku melihat dia seperti tidak mau bicara?" tanyanya membuat Firdaus dan rini menarik napas.
"Nanti saja kita bicarakan, sebaiknya kita segera ke masjid karena waktu Dhuha semakin tipis." firdaus berkata membuat Azka mengangguk.
Sementara adza sudah berjalan juga saat mereka duluan melangkah. Terlihat mereka begitu tenang dalam berjalan, sementara adza menatap wajah Azka dari belakang karena dia ada di belakang pria itu lalu melihat ke arah Firdaus. Ada sedikit kesamaan dari kening dan mata mereka, sementara alis Azka terlihat mirip dengan ibunya dan juga Ameena.
Wajah Kyai Firdaus walaupun memang sudah terlihat tua tapi tetap ada kesan tampan. Wajah Faiz juga tampan walau dia sedikit kaku dan tertutup. Maka adza bisa memastikan kalau Azka juga tampan karena gen seorang ayah itu jauh lebih kuat, bukan?
Entahlah, sepertinya begitu. adza memang bisa melihat tapi dia tidak bisa melihat wajah suaminya sendiri.
Ayo! Jangan sedih lagi. Cepat atau lambat bahagia sedang menantimu di depan.
mungkin/Joyful/