NovelToon NovelToon
HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Ibu Tiri / Pelakor jahat / Nikahmuda / Selingkuh
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: EkaYan

Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nyawa Yang Dipertaruhkan

“Ugh…”

Arunika meringis sambil menggenggam perutnya. Tubuhnya meringkuk di atas sofa ruang tamu apartemen Puri Indah unit 12A.

“Mualnya… parah banget…” bisiknya lemah.

Pagi itu, di apartemen Mataram City unit 12A, Arunika terbangun dengan sensasi aneh di perutnya. Mual. Mual yang mendera hebat, jauh lebih buruk dari sekadar rasa tidak nyaman yang sesekali muncul. Padahal, di awal kehamilannya, Nika relatif baik-baik saja, hanya tubuhnya terasa sedikit lemah. Ia tidak mengalami morning sickness separah ini.

Di layar televisi, acara gosip pagi berganti iklan susu ibu hamil. Ironi. Sementara bintang iklan tampak sumringah meneguk segelas susu hangat, Nika bahkan tidak bisa meminum seteguk air tanpa merasa akan muntah.

Ia memaksa dirinya duduk dan menyentuh secangkir teh jahe yang tadi ia buat dengan sisa tenaga. Harumnya menusuk hidung. Alih-alih menenangkan, teh itu justru membuat perutnya berputar seperti roller coaster.

"Kayaknya aku nggak bisa minum ini juga..." keluhnya sambil menyandarkan kepala ke bantal sofa. Napasnya berat. Wajahnya pucat.

Pikiran pun kembali berlarian ke malam sebelumnya.

Roy. Shila. Pramudya.

Tatapan kecewa Roy, isak tertahan Shila, dan suara Pramudya yang penuh sesal.

"Aku yang menyebabkan semua ini…" gumam Nika. "Kalau saja aku tidak pernah... ah, sudahlah."

Tangannya meraba-raba ponsel. Nama Roy muncul di layar. Ia menatapnya lama.

"Aku harus tanya kabar mereka... tapi..." Ia ragu. "Apa ini akan memperkeruh keadaan?"

Dengan napas berat, ia meletakkan ponsel kembali ke meja. Punggungnya menyandar lemah. Sendiri. Lagi-lagi sendiri.

Ia tidak bisa berharap pada siapa pun karena ia tidak punya siapa-siapa untuk bercerita. Ia hanya bisa menghela napas, mencoba menenangkan diri sendiri.

Nika kembali terlelap di sofa ruang tamu, tubuhnya lemas akibat mual yang tak kunjung reda. Kelelahan dan gejolak emosi semalam bercampur aduk, membawanya hanyut dalam tidur yang gelisah.

Ia terbangun oleh suara bel pintu yang bertalu-talu. Dengan enggan, Nika menyeret langkahnya ke pintu. Matanya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk dari celah jendela.

Suara bel pintu tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

Ding-dong. Ding-dong. Ding-dong.

"Astaga, siapa sih  perasaan aku gak punya tamu ?" gerutunya.

Dengan langkah gontai, Nika berjalan ke pintu. Dari lubang intip, tampak seorang pria berseragam pengantar makanan berdiri sambil membawa kantung kertas besar.

Ia membuka pintu dengan setengah ragu.

"Maaf, saya nggak pesan makanan apa-apa."

Pria itu tersenyum. “Benar ini Ibu Arunika? Ini kiriman dari Bapak Pramudya Baskoro.”

Nama itu membuat Nika tersentak. "Pramudya?"

Pikirannya langsung kacau. Kok tumben banget Pram kirim makanan buat aku ?

"Ada pesan dari beliau?" tanya Nika hati-hati.

Pria itu menggeleng. "Hanya titipan makanan, Bu. Kalau begitu, saya pamit dulu."

Nika menerima kantung itu dengan tangan gemetar. Begitu pintu tertutup, aroma ayam goreng crispy menyergap indra penciumannya.

"Ya Tuhan..." gumamnya. "Bau ini... enak banget."

Lambungnya yang sejak tadi memberontak mendadak tenang. Seolah ayam itu membawa mantra.

---

Tanpa menunggu lama, Nika membuka kotaknya. Wajahnya menyala saat melihat potongan ayam goreng keemasan.

"Gila, ini sih keajaiban!" serunya, mengambil paha ayam dan langsung menggigitnya.

Kriuk!

"Enak banget… sumpah."

Ia terus melahap hingga setengah kotak habis. Perutnya yang tadinya seperti medan perang, kini terasa damai. Bahkan senyum sempat menghiasi wajahnya yang pucat.

Namun saat ia bersandar di kursi, rasa tenang itu berganti resah. Lagi-lagi pikirannya kembali ke kejadian semalam.

"Kenapa sih semuanya jadi serumit ini?" lirihnya. "Apa dengan makanan ini adalah maksud Pramudya buat minta maaf?"

Matanya menatap ponsel yang tergeletak di meja. Jemarinya hampir menyentuh layar… tapi berhenti.

"Jangan, Nika. Jangan mulai lagi..."

“Aduh, apartemen ini berantakan banget.”

Ia mengamati ruangan. Tumpukan piring di dapur, baju kotor di kursi, majalah berserakan. Kekacauan yang menyamai isi kepalanya.

“Ya udah, daripada mikir yang nggak-nggak…”

Nika menggulung lengan bajunya, memulai dari dapur. Ia mencuci piring satu per satu, menyeka meja dapur hingga mengilap.

“Hidupku aja berantakan, masa apartemen juga?” katanya sambil menyusun gelas.

Lalu ke ruang tamu. Ia vakum karpet, melipat baju, dan menyusun majalah sambil menyenandungkan lagu dari TV. Semacam terapi bagi jiwanya.

Namun begitu ia menatap ponsel lagi, bayangan wajah Roy dan Shila kembali datang.

“Cukup, Nika. Cukup...”

Nika baru saja selesai menata majalah di meja kopi ketika nyeri tajam menyerang perutnya. Rasanya seperti ada yang mengaduk-aduk organ dalamnya, jauh lebih parah dari mual pagi tadi. Ia meringis, mencoba menahan rasa sakit yang datang tiba-tiba. Keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Aaaaah!" jeritnya, jatuh berlutut.

Tangannya refleks menggenggam bagian bawah perut. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipi

Panik melandanya saat merasakan sesuatu yang hangat dan lengket merembes di antara kedua pahanya. Ia menunduk dan melihat noda merah gelap di celana longgarnya. Jantung Nika berdegup kencang. Ia tahu ini bukan pertanda baik.

Apa... apa ini?"

Ia menunduk. Darah. Mengalir di antara pahanya. Nika terpaku. Jantungnya berdentum keras.

"Jangan... jangan sekarang..."

Dengan tubuh gemetar, ia menyeret dirinya ke meja, meraih ponsel dengan sisa tenaga

Dengan sisa tenaga, Nika berusaha meraih ponselnya yang tergeletak di meja ruang tamu. Tangannya gemetar hebat. Penglihatannya mulai mengabur. Ia harus menghubungi seseorang. Seseorang yang bisa menolongnya.

Jari-jarinya gemetar mencari nama Pramudya di daftar kontak. Pria itu adalah satu-satunya yang terpikirkan, apalagi pria itu baru saja mengiriminya makanan. Ia menekan tombol panggil.Baru saja selesai menata majalah, nyeri tajam menghantam perutnya.

“Pramudya…” napasnya tersengal.

Panggilan tersambung. “Halo? Nika?” suara Pramudya langsung terdengar.

“Pram…” suaranya lirih, tercekat oleh rasa sakit. “Tolong aku...”

Terdengar suara Pramudya di seberang sana, "Nika... kamu kenapa?!" Nada suaranya terdengar cemas dan panik.

"Aku... berdarah... sakit... aku—"

“NIKA?!”

Pramudya berdiri dari sofa dengan wajah panik. Suara di telepon mendadak sunyi.

“Nika, jawab aku!”

"Tolong aku..." Hanya itu yang bisa Nika ucapkan sebelum pandangannya gelap dan ponselnya terlepas dari genggamannya. Suara di seberang sana tak lagi terdengar, hanya kegelapan yang menyelimuti.

Pramudya mencengkeram ponselnya erat. Hatinya mencelos mendengar suara Nika yang penuh kepanikan dan putus asa, diikuti oleh keheningan total. Ia berkali-kali memanggil nama Nika, namun tidak ada jawaban.

Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia tahu Nika sedang hamil dan mendengar suara Nika yang kesakitan serta panggilan minta tolong itu membuatnya cemas luar biasa.Masalahnya, ia sedang berada jauh dari apartemen Nika, meninjau sebuah proyek di luar kota yang membutuhkan perhatian penuhnya. Ia tidak bisa sampai di sana dalam waktu singkat.

Yang ia tahu, nyawa seseorang sedang dipertaruhkan. Dan orang itu—suka atau tidak—adalah seseorang yang kini memenuhi hatinya dengan kecemasan luar biasa.

1
partini
wah temen lucknat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!