Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 33.
Daniel menyodorkan kartu nama perusahaan ke arah Axel, ia tersenyum namun senyum dinginnya tidak menjanjikan belas kasihan.
“Aku mewakili Tuan Rendra, kau tahu apa yang bisa terjadi bila kami sudah bertindak. Perusahaan Tuan Erlan, semenjak benturan itu... belum juga bangkit. Satu langkah dari kami, bisa membuat banyak hal yang kau miliki runtuh seketika. Aku tidak perlu menjelaskan lebih jauh padamu, Tuan Axel. Sementara masalah Mita, adikmu... hanyalah urusan antara dia dan Nona Raisa. Itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kerja sama kita ke depannya."
Axel mengeratkan genggaman pada gelas, urat di lehernya menegang. Sekejap dia tampak ketakutan, tetapi harga diri seorang CEO menuntunnya untuk menutup rasa takut itu dengan amarah.
“Kau mengancamku? Kau pikir aku takut pada ancaman murahan?”
Daniel mengangguk pelan, tanpa melepas tatapannya. “Bukan ancaman murahan, ini hanya... tawaran. Kita bisa bekerjasama. Kau jaga bisnismu, kami jaga kestabilan pasarmu. Kau masih sedang dalam pantauan dan butuh kepercayaan dewan direksi? Kami bisa memberikannya, dengan kerjasama kita. Aku hanya punya satu syarat. Sekretaris mu, Nona Selina... dia yang akan mengurusi komunikasi kerja sama ini.”
Raisa tertegun, nama samaran yang ia pakai menggema nyaring di telinganya.
“Jangan berani main-main,” Axel mendesis. “Kau serius ingin memasang sekretarisku yang notabene bawahanku, sebagai perantara? Apa maksudmu?”
“Kami tidak ‘memasang’ apa pun. Kami menawarkan posisi yang mengikat kepentingan kalian pada keselamatan dan kredibilitasnya,” jawab Daniel dingin, lalu dia menoleh ke arah Raisa. “Nona Selina sepertinya mengerti kode kerja, jika dia bisa menjadi sekertarismu. Dia tahu cara menyusun data, menyaring komunikasi dan yang terpenting dia bisa menjaga rahasia. Di pihakmu, itu keuntungan. Di pihak kami, sebuah jaminan... kau akan menghargainya lagi tanpa konsekuensi besar.“
"Kau sepertinya mengenal Selina? Sampai harus seperti ini?“ Axel menyipitkan mata.
Daniel mengangkat bahunya dengan ringan, "Aku hanya sangat menyayangkan, kau tidak menghargai sekertarismu. Karena yang aku dengar... setelah dia menjadi sekertarismu, dia bisa menyelesaikan masalahmu dengan dewan direksi meski kau masih belum dipercayai sepenuhnya. Harusnya, kau menghargainya sebelum dia diambil orang lain."
Di sekeliling, bisik tamu berubah menjadi gemuruh kecil. Ada yang mulai menyadari permainan yang tengah berlangsung bukan sekadar drama biasa.
Axel menelan ludah, ego dan kepentingan beradu dalam dadanya. Di satu sisi ada harga diri yang tidak mau ditundukkan, dan di sisi lain ada dewan yang sudah mulai ragu dan laporan keuangan yang tak lagi seindah klaim publiknya.
Akhirnya dengan suara yang dipaksa tenang, Axel menghela napas. “Untuk saat ini... demi perusahaan, aku terima. Tetapi ini bukan berarti kau bisa menginstruksikan siapa pun untuk berada di dekat sekretarisku, aku akan tetap yang memegang kendali.”
Daniel menyunggingkan setengah senyum, itu lebih dingin daripada yang sebelumnya. “Tentu saja, asal kau bersikap seperti seorang pemimpin. Kendali tetap ada pada yang tahu bagaimana menjaga citra dan keuntungan, kita akan susun nota kesepahaman. Nona Selina akan diberi akses yang diperlukan, secara resmi. Jangan khawatir soal kontrol, semua mekanisme akan legal.”
Raisa menutup mata sesaat, menarik napas seolah menahan badai. Ia tau, Daniel sedang berusaha melindunginya atas nama kerja sama yang dipaksakan.
Di ujung meja lain, Rendra mengamati. Ia menyerahkan sebagian taktik kepada Daniel, mempercayai bahwa perlindungan bisa dirancang dari dalam. Brian memainkan gelas wine di tangannya, menatap Axel dengan sengit.
Axel angkat bicara sekali lagi, nadanya berusaha tegas namun lebih pelan. “Baik, susun detailnya. Dan ingat, jika aku merasa dipermainkan... aku tak segan membalas!”
Daniel menatap sekilas ke arah Raisa, ada pesan terselubung dalam matanya. Lalu ia kembali menoleh pada Axel. "Tentu saja."
Raisa menarik nafas dalam-dalam, bibirnya gemetar.
Musik pesta masih mengalun lembut, riuh tawa para tamu bercampur dengan dentingan gelas.
Namun di tengah keramaian itu, Daniel dan Raisa justru seperti dua orang asing yang menahan napas. Tatapan mereka sempat beradu, lalu Raisa buru-buru mengalihkan pandangan seakan takut jika sorotan matanya membocorkan rahasia yang terlalu lama ia simpan.
"Kalau begitu, bisakah aku meminjam sekertarismu untuk membicarakan kerjasama ini?" Ucap Daniel.
Axel tampak keberatan, namun ia tak bisa menolak. "Silahkan."
Lantas Daniel membawa Raisa pergi dari keramaian.
“Raisa, aku tau ini kamu. Apa kau masih ingin bersembunyi dariku?“ suara berat Daniel terdengar lirih.
Raisa menoleh sepersekian detik, lalu kembali menunduk. “Aku tidak ada urusan denganmu, Daniel. Kenapa kau masih ingin berurusan denganku?”
Daniel menghela napas panjang. Ia tahu di tempat penuh mata seperti ini, mereka tak bisa bicara. Dengan gerakan tenang namun tegas ia mendekat, lalu menunduk berbisik. “Kalau begitu… keluar bersamaku sebentar. Aku butuh bicara, tanpa semua mata yang mengawasi.”
Raisa terdiam. Jemarinya menggenggam erat tas kecilnya, matanya menatap lantai lalu ke arah pintu. Ia ragu, tapi di balik tatapan wanita itu Daniel bisa melihat getir yang sama seperti dirinya... ada rasa yang tertahan.
Tanpa menunggu jawaban lebih lama, Daniel melangkah lebih dulu ke arah taman samping gedung meninggalkan jalur yang tidak terlalu ramai. Raisa akhirnya mengikuti, langkahnya pelan tapi jelas tak mampu menolak.
Begitu mereka sampai di luar, udara malam terasa lebih dingin. Cahaya lampu taman redup, menyinari wajah Raisa yang pucat. Daniel menoleh, menatapnya lekat-lekat seakan menahan diri agar tidak langsung meraih wanita itu.
“Akhirnya… aku bisa bicara denganmu tanpa dinding, tanpa bayangan orang lain, tanpa jebakan yang kau buat untuk menghindariku." Ucap Daniel dengan nada bergetar, campuran marah dan rindu.
Raisa mengangkat wajahnya, tatapannya tajam namun penuh luka. “Kau pikir aku kabur tanpa alasan? Kau pikir aku lari hanya untuk mempermainkan mu? Daniel… aku harus pergi. Kalau aku bertahan, aku akan hancur.”
Kata-kata itu menusuk dada Daniel. “Dan kau pikir aku tidak hancur saat kau menghilang begitu saja? Setiap hari, Raisa. Setiap hari... aku mencarimu. Aku mengejar bayanganmu, bahkan saat semua orang bilang kau sudah tak mungkin ditemukan. Kau tahu rasanya? Seperti hidup tapi jiwanya sudah mati!”
Raisa mengatupkan bibirnya rapat, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku nggak punya pilihan. Kau bukan bagian dari duniaku, kau tidak ada hubungan apapun denganku. Kau pasti lupa Daniel... tapi aku adalah pembawa sial, setiap orang yang bersamaku akan mati. Bahkan kau, hampir mati karena aku.“
Daniel menegakkan bahunya, matanya tak lepas dari wajah Raisa. “Aku tidak peduli itu, Raisa. Itu tidak adil... untukku!"
Hening.
Raisa menutup mata sesaat, menahan air mata yang hampir jatuh lalu berbisik lirih. “Daniel… aku takut.”
Daniel melangkah satu langkah lebih dekat, suaranya rendah namun mantap. “Raisa, aku... mencintaimu. Aku mohon, jangan pergi dariku. Aku lebih baik mati, daripada harus kehilanganmu.“
Suasana menjadi tegang dan rapuh sekaligus, seperti sehelai benang tipis yang siap putus kapan saja. Raisa terdiam, dadanya naik turun cepat. Kali ini, ia tidak bisa lagi bersembunyi dari perasaannya yang ia tutupi di balik sikap dinginnya.
harusss lebih kuatttt
semangat
lanjuuut