Angel hidup dengan dendam yang membara. Kakaknya ditemukan tewas mengenaskan, dan semua bukti mengarah pada satu nama
Daren Arsenio, pria berbahaya yang juga merupakan saudara tiri dari Ken, kekasih Angel yang begitu mencintainya.
bagaimana jadinya jika ternyata Pembunuh kakaknya bukan Daren, melainkan Pria yang selama ini diam-diam terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah awal
Begitu sampai di lobi megah De Castello Corporation, Angel menahan napas sesaat. Aroma parfum mahal, dentingan sepatu para eksekutif, dan pantulan cahaya dari dinding kaca membuat tempat itu terasa seperti dunia lain. Dunia yang selama ini ia incar. Dunia yang ingin ia hancurkan dari dalam.
Ia meraih ponselnya dan menelepon Adrian.
“Adrian, aku sudah sampai,” ucapnya pelan namun penuh tekad.
"tunggu aku. " sahut Adrian di sebrang sana.
Beberapa menit kemudian, lift terbuka dan Adrian keluar dengan langkah cepat. Ia terlihat lega begitu melihat Angel berdiri di dekat resepsionis.
“Angel! Kamu datang tepat waktu,” katanya sambil menghampiri. Matanya meneliti Angel dari atas ke bawah. “cukup oke.”
Angel tersenyum kecil. “Sudah seharusnya.”
“ayo, ikut aku.” Adrian memberi isyarat, lalu mereka jalan berdampingan menuju lift eksekutif.
Begitu pintu lift tertutup, Adrian menatap Angel dengan ekspresi yang lebih serius. “Sebelum kita naik… aku harus jujur soal satu hal.”
Angel sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya, tapi ia tetap menatap Adrian seolah menunggu.
“Kali ini semua pelamar akan langsung diinterview CEO,” kata Adrian. “Oleh Daren. Pribadi.”
Angel mengangguk pelan. Tidak ada kejutan, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Ia sudah menduga sejak awal arah rencananya.
Adrian menghela napas. “Angel, aku sudah bantu kamu sampai tahap ini, aku juga melakukan rekomendasi internal, semua yang bisa aku lakukan. Tapi untuk soal lolos atau tidak… aku tidak bisa bantu apa-apa.”
Angel tersenyum samar. “Aku mengerti. Keputusan penuh ada di tangan Daren.”
“Benar.” Adrian mencondongkan tubuh, suaranya menurun. “Daren bukan tipe yang bisa dibujuk. Dia menilai orang tanpa peduli siapa yang mendukungnya. Kalau dia merasa kamu tidak memenuhi standar dia… maka selesai.”
Lift bergerak naik perlahan. Angel menatap angka-angka yang berubah di layar kecil, tapi pikirannya jauh lebih gelap dari itu.
Ia berbisik pelan, nyaris tanpa intonasi, “Justru itu yang aku inginkan.”
Adrian menoleh. “Apa?”
Angel menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih jelas senyum yang tak pernah Adrian lihat sebelumnya. “Aku melamar jadi sekretarisnya memang demi bisa dekat dengannya bukan. Semua yang kita rencanakan… ini bagian dari langkah awal. Jadi kamu tenang saja, aku sudah memikirkannya matang-matang. ”
Adrian tidak langsung menjawab. Ada campuran kekhawatiran dan rasa bersalah di wajahnya. Ia tahu Angel punya alasan pribadi, alasan yang tak pernah ia bongkar, tapi Adrian tetap memilih membantunya meskipun taruhannya adalah nyawa angel sendiri
“Angel… hati-hati,” katanya akhirnya. “Balas dendam pada Daren bukanlah hal kecil. perhatikan setiap langkahmu.”
Pintu lift terbuka dengan bunyi ding.
Angel melangkah keluar duluan. Tatapannya tajam, dengan ambisi yang kuat.
“Aku sudah siap sejak lama, Adrian. Ini langkah pertama mendekati pria yang harus aku hancurkan.”
Adrian berjalan di depan, memimpin Angel melewati koridor panjang yang dipenuhi jendela kaca besar. Setiap langkah menambah denyut jantung Angel, bukan karena gugup… tapi karena semakin dekat dengan pusat kekuasaan yang ingin ia runtuhkan.
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan besar bertuliskan “Ruang Tunggu Interview – Departemen Eksekutif”.
Begitu pintunya dibuka, Angel melihat sekitar belasan pelamar wanita sudah duduk rapi. Semuanya berpenampilan sempurna blazer mahal, rambut disanggul profesional, parfum lembut yang memenuhi udara. Mereka tampak gugup, sibuk membaca berkas masing-masing.
Beberapa pelamar menoleh saat Angel masuk. Ada yang tersenyum sopan, ada yang langsung menilai dari ujung kepala sampai kaki.
Angel tetap melangkah dengan tenang.
Adrian mencondongkan tubuhnya, berbicara dengan pelan.
“Interview-nya individual. Mereka dipanggil satu per satu. Kamu urutan… nanti setelah mereka selesai memanggil yang lain.”
Angel mengangguk.
Adrian menatapnya dalam-dalam, seolah ingin memastikan Angel masih ingin melanjutkan rencananya. “Aku harus kembali ke atas. Daren sudah menunggu. Angel… ingat, sikap kamu disini sangat penting.”
“baiklah.” bisik Angel, lebih pada dirinya sendiri.
Adrian mengangguk pelan, lalu menutup pintu dan pergi.
Angel duduk di kursi kosong paling ujung. Sekitar lima menit kemudian, seorang staf keluar membawa daftar nama.
“Pelamar atas nama Nadia Fadilah, silakan masuk.”
Salah satu wanita berdiri dengan gugup, melangkah masuk ke ruang interview. Pintu kembali tertutup. Beberapa pelamar lain mulai berbisik-bisik tentang CEO yang terkenal dingin, tentang interview yang rumornya sangat kejam.
Angel tidak mendengarkan.
Ia meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Ken.
“Ken, aku sudah di ruang tunggu. Masih nunggu giliran.”
Balasan datang hanya beberapa detik kemudian, seperti Ken memegang ponsel sambil mondar-mandir.
“Kamu baik-baik aja? Ada yang menganggu?”
Angel tersenyum kecil senyum yang kontras dengan badai dalam dadanya.
“semuanya Baik-baik saja. Kamu jangan khawatir berlebihan.”
Tak lama, Ken membalas lagi.
“Aku tetap khawatir. Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku.”
Angel mengetik dengan cepat.
“Aku akan baik-baik saja. Fokus pada pekerjaan mu dulu ken. Akan aku kabari kalau semua sudah selesai.”
Ia menutup ponselnya sebelum Ken sempat membalas lagi.
Angel mengangkat wajah, memperhatikan satu per satu pelamar yang dipanggil masuk… dan keluar beberapa menit kemudian dengan ekspresi berbeda-beda ada yang pucat, ada yang hampir menangis.
Angel tersenyum tipis.
Daren De Castello… rupanya begitu cara kamu menilai orang.
Ia meluruskan punggungnya.
Matanya mengeras.
Karena sebentar lagi, giliran Angel masuk.
Dan ia tidak datang bukan untuk sekadar melamar kerja
Lalu, pintu terbuka. Staf eksekutif muncul kembali dengan clipboard di tangan.
“Pelamar berikutnya… Angelina Cate.”
Angel berdiri. langkahnya begitu mantap. percaya diri dengan apa yang bisa ia lakukan.
Semua kepala menoleh ke arahnya. Beberapa pelamar memperhatikannya dari ujung rambut sampai sepatu, seolah menilai apakah ia layak ada di sini.
Angel menarik napas pelan, menatap pintu berwarna cokelat itu.
Staf itu mengangguk sopan dan membuka pintu ruang interview untuknya. “Silakan masuk.”
Pintu menutup…
Ruangan itu luas, terlihat mewah dan sangat sunyi. Aroma kayu mahal memenuhi udara. Hanya ada satu meja besar, satu kursi tamu, dan seorang pria duduk di belakangnya.
Daren De Castello.
Pria yang selama ini menjadi pusat dari seluruh dendam yang Angel bawa.
Saat Angel masuk, Daren mengangkat wajah dari berkas di tangannya.
Dan dalam hitungan detik matanya terpaku.
Tatapan hitam dingin yang biasanya tak pernah menunjukkan reaksi apa pun… memudar ketajamannya sesaat.
Seakan ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak membuatnya terhenti namun tetap membuatnya terpaku.
Angel menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.
“Selamat siang, Tuan De Castello.”
Daren tidak langsung menjawab.
Ia menatap Angel dari kepala hingga kaki dengan sorot mata yang sulit ditebak tatapan tajam… menilai… dan untuk sedikit detik, terpesona.
Angel bisa merasakannya, ia tersenyum tipis.
Daren akhirnya bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan di dada. Wajahnya kembali datar.
“Duduk.” Suaranya dalam, berat, dan penuh wibawa.