Karena desakan Ekonomi, Rosa terpaksa harus menikah dengan pria yang sama sekali tak di cintainya. Bekas luka di tubuh serta hatinya kian membara, namun apalah daya ia tak bisa lepas begitu saja dari ikatan pernikahan yang isinya lautan luka.
seiring berjalannya waktu, Rosa membulatkan tekadnya untuk membalas segala perbuatan suaminya. bersembunyi di balik wajah yang lemah lembut nan penurut, nyatanya menyiapkan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Hem, gimana ya ceritanya. yuk simak kelanjutannya, jangan lupa tinggalkan jejak likenya, komen, subscribe dan vote 🥰🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman
Sesuai ucapan Rosa, Sabrina datang mengendap-ngendap ke kekediaman Rania untuk menemui Alan. Tidak ada penjagaan yang begitu ketat, padahal biasanya ada beberapa pria berbaju hitam di sekeliling rumah.
"Emang udah harusnya gue selamat, takdir emang memihak gue." Dengan bangganya Sabrina merasa bebas, ia tidak perlu terlalu sembunyi-sembunyi lagi.
Rumah Rania tidak begitu besar seperti rumah Dharma, sejak ayah Alan koma beberapa fasilitas diambil oleh Dharma agar Rania tidak bisa bebas memakai aset yang di hasilkan putranya dengan susah payah. Hubungan Rania dan ayah Alan sejak awal sudah di tentang oleh Dharma, namun karena ayah Alan kekeh membuat Dharma dan istri pun mengalah. Semenjak ayah Alan koma, memang Rania kerap mengunjungi suaminya, akan tetapi ia masih lebih sering terjun ke dunia modelling berinteraksi dengan banyak pria tanpa memikirkan perasaan suaminya.
Sabrina masuk melalui pintu belakang yang kebetulan terbuka, begitu sampai dapur ia melihat Alan yang berjalan tertatih-tatih membawa botol kosong di tangannya.
Greeppp..
Sabrina langsung memeluk tubuh Alan erat, sontak Alan terkejut dan berusaha melepas tangan yang melingkar di pinggangnya.
"Lepas!" Tegas Alan.
"Sayang," Rengek Sabrina melepas pelukannya. Alan berbalik melihat siapa yang memeluknya, matanya membulat dengan tangan mengepal kuat.
Taakkk..
Tangan Alan menyimpan botolnya di meja dengan kuat, kemudian tangannya mencengkram leher Sabrina dengan kuat sampai perempuan itu kesulitan bernafas.
"A-lan, haahhh.. L-e-pas,"
Wajah Sabrina berubah merah, Alan mendorongnya sampai terjatuh.
"Lan, mana susunya? Lama banget sih." Melany menghampiri Alan, ia terkejut melihat Sabrina terduduk di lantai sambil terbatuk-batuk.
Uhuukkk.. Uhukkk..
"Ngapain loe kesini, hah! Belum puas loe berantakin semuanya, b*t*h!" Geram Alan.
Sabrina pun berdiri, ia menghadap Alan dengan wajah kesal.
"Munafik!"
Plakkk!!!
Alan menampar wajah Sabrina, Melany meringis melihat betapa kerasnya tamparan yang mendarat di pipi Sabrina. Sudut bibir Sabrina mengeluarkan darah, tangannya mengepal kemudian ia kembali menatap Alan dan menendang perut Alan menggunakan kakinya.
"Kau pikir kau hebat, hah? Siapa yang ngasih harapan? Siap yang berjanji, siapa yang bersumpah akan menikahi perempuan yang sudah mengandung anaknya selama sembilan bulan. Loe pria munafik, Alan." Cerocos Sabrina.
"Ah, sshhh." Alan meringis memegangi perutnya yang belum benar-benar sembuh akibat pukulan bertubi-tubi dari Lutfi.
"Gue mau janji loe, gue mau loe nikahin gue atau gue sebarkan semua foto-foto biar orang-orang tahu kalau loe itu milik gue." Ancam Sabrina tersenyum licik.
"Kok loe maksa sih, Sabrina?" Heran Melany.
"Diem loe, gue gak ada urusan sama loe!" Bentak Sabrina pada Melany.
"Cih, udah bener loe pertahanin Rosa, Lan. Dia mah gak gila kayak kakaknya, ih amit-amit deh." Cibir Melany sambil membantu Alan berdiri.
Sabrina berbalik dengan senyumnya, ia melangkah masuk berjalan menuju kamar dimana biasanya Alan tidur kalau sedang di rumah ibunya. Terdengar suara Naresh menangis, ia pun segera menghampiri putranya karena hanya Naresh lah satu-satunya alat yang akan ia gunakan untuk mengancam Alan.
****
Hari demi hari berlalu.
Semua kesedihan Rosa redam sendirian, ia akan menangis di waktu semua orang nyenyak di dalam tidurnya.
Sudah satu bulan berlalu.
Rosa keluar dari dalam kamarnya. Setelah pemakaman orangtuanya Rosa tinggal di rumah Lucy sementara waktu sampai ia selesai mengurus surat perceraiannya. Rencananya, Rosa akan mencari pekerjaan dan menyewa kontrakan agar tak membebani orang lain lagi, meskipun ia masih memiliki pegangan uang yang cukup sisa dari 100jt yang pernah Alan berikan.
Setelan modis Rosa kenakan, rambut di gerai bebas dengan riasan tipis di wajahnya membuat orang yang melihatnya merasa pangling. Waktunya bersinar, kesedihan telah usai, kini ia harus melangkah lebih maju dari kehidupan sebelumnya.
"Widdiihhh, calon janda seger bener kelihatannya. Awas entar hakim naksir sama loe, huhuy." Goda Lucy.
"Cih, mulutnya minta di slepet." Rosa tak begitu menanggapi, ia membawa berkas yang di butuhkannya dan segera berjalan keluar di ikuti Lucy yang akan mendampinginya.
"Lucy, Rosa, tunggu!" Panggil Kenny.
Rosa dan Lucy menoleh ke belakang, Kenny membawa sebuah paper bag dan juga kunci mobil, ia berjalan kearah adiknya dan Rosa.
"Bawa ini, nanti kalian dandan ke salon ya soalnya kakak mau ajak kalian pergi ke pesta." Ucap Kenny.
"Pesta siapa, bang?" Tanya Rosa sambil mengulurkan tangannya menerima paper bagnya.
Kenny menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia tersenyum malu. Rosa pun paham, sedangkan Lucy memicingkan matanya sambil melipat kedua tangannya.
"Jangan bilang kakak mau lamar pacar kakak? Atau bikin surprise gitu, aahhhh!! Senangnya, kakakku yang tua ternyata masih normal, syukurlah." Tebak Lucy. Ia mengusap dadanya merasa lega, hari yang di tunggunya sejak lama telah tiba.
Tuing.
Kenny menoyor kening Lucy, bisa-bisanya adiknya itu berpikir kalau dia belok hanya karena umurnya yang sudah kepala tiga tak kunjung menikah.
"Sorry ya, setia itu gak harus buru-buru menikah. Dan ya, abang masih suka lubang donat daripada lubang sang pemilik pedang. Tahu sendiri pacar kakak 5 tahun lebih muda, kakak gak mau halangi impiannya lagi pula kakak juga harus banyak nabung buat masa depan kamu sama istri dan anak kakak nanti. Di kira nikah cuma gelar pesta aja, nikah itu seumur hidup neng." Cerocos Kenny.
"Sang pemilik pedang, hahaha... Ngakak banget," Ucap Rosa tertawa.
"hiiihhh, ngeri banget dah." Lucy bergidik ngeri membayangkan adu pedang itu seperti apa.
"Yaudah, sana pergi keburu telat. Tuan besar udah atur semuanya, Alan gak bakalan halangi proses perceraiannya, lagian tuh laki bego mau nikah sama wanita itu." Ucap Kenny.
Rosa yang tadinya tertawa langsung terdiam, satu persatu rencananya sudah mulai berjalan. Ia ingin melihat, bagaimana reaksi Sabrina saat sesudah menikah nanti karena Rosa tahu Alan sudah bergantung kepadanya.
"Syukur lah, dengan begitu mereka bisa membesarkan Naresh tanpa harus ganggu aku lagi." Ucap Rosa santai.
"Ros, lu gapapa?" Tanya Lucy khawatir.
"Emang kelihatannya gue kenapa? Gue seneng mereka berjodoh," Jawab Rosa dengan entengnya.
Tak mau membahas yang tak seharusnya ia bahas dengan orang lain, Rosa akan menutup mulutnya sendiri agar orang lain tak curiga atas rencana yang akan di kerjakannya nanti.
"Ayo, kita pergi!" Ucap Rosa bersemangat.
Keduanya pun melangkah keluar dari rumah, kenny menatap curiga pada Rosa, namun ia berharap semuanya baik-baik saja.