"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Maya membalas cluman Arya, sebuah balasan yang datang dari lubuk hati terdalam. Rasa bersalah masih ada, samar, namun kini tertutup oleh ledakan sensasi yang Arya berikan.
Cluman itu berakhir perlahan, meninggalkan Maya terengah-engah dalam pelukan Arya. Mata mereka bertemu, dan Maya melihat sebuah janji, sebuah hasr4t yang membara di mata Arya.
"Anda merasakan itu, kan, Maya?" bisik Arya, suaranya serak. "Gair4h yang selama ini Anda cari."
Maya hanya bisa mengangguk, terlalu diliputi oleh sensasi yang baru saja ia alami. Pikirannya kosong, hanya dipenuhi oleh kehadiran Arya dan desiran aneh di sekujur tubuhnya.
Arya tersenyum tipis. Ia mengusap pipi Maya, lalu perlahan bangkit dari ranjang. "Saya akan siapkan sarapan. Anda bisa bersantai di sini."
Maya hanya bisa menatapnya, merasa seperti patung. Rasa bersalah mulai merayap kembali, perlahan mengikis euforia yang tadi ia rasakan. Tama. Pernikahannya. Semua itu kembali menghantamnya.
Arya berbalik, melangkah keluar dari kamar. Maya mendengar suara langkah kakinya menjauh, lalu suara
Dapur yang ramai. Ia bangkit dari ranjang, merasakan seprai sutra yang dingin di bawah tubuhnya. Ia berjalan menuju cermin, menatap pantulan dirinya. Rambutnya sedikit acak-acakan, bibirnya sedikit bengkak. Ia terlihat seperti wanita yang baru saja melewati malam yang penuh gair4h. Dan ia memang begitu.
Rasa bersalah itu kini terasa begitu kuat, menusuk-nusuk hatinya. Ia telah mengkhianati Tama. Suaminya. Pria yang telah menemaninya bertahun-tahun. Tapi di sisi lain, gair4h yang belum pernah ia rasakan itu juga begitu kuat. Sebuah gair4h yang Arya berikan, yang membuat Maya merasa hidup kembali. Ia merasa terpecah belah.
Ia berjalan menuju jendela, mengintip dari balik gorden. Pemandangan halaman belakang rumahnya terlihat jelas. Motor Tama terparkir di sana. Ia membayangkan Tama yang mungkin sedang sarapan sendirian, atau sibuk dengan ponselnya. Sebuah perasaan hampa yang familiar kembali muncul. Dan di saat yang sama, ia merasakan sebuah tarikan aneh menuju Arya.
Pria yang baru saja memberinya sensasi yang tak terlupakan.
Tak lama kemudian, Arya kembali ke kamar, membawa nampan berisi sarapan dan dua cangkir kopi.
Aroma kopi yang harum memenuhi ruangan.
"Anda sudah bangun?" tanya Arya, senyum hangat terukir di bibirnya.
Maya mengangguk. "Terima kasih, Arya." Ia tidak lagi
memanggilnya Tuan.
Arya meletakkan nampan di meja kecil di samping ranjang. "Mari kita sarapan bersama." Ia duduk di tepi ranjang, di samping Maya.
Mereka sarapan dalam diam. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Maya mencoba memakan sarapannya, namun nafsu makannya hilang. Pikirannya terus melayang pada Tama. Apa yang harus ia lakukan?
"Anda kenapa, Maya?" Arya bertanya, suaranya lembut. "Anda terlihat gelisah."
Maya menatap Arya. "Saya... saya tidak tahu harus bagaimana, Arya."
Arya mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Maya. "Anda tidak perlu khawatir. Saya akan ada di sini untuk Anda."
Sentuhan itu terasa menenangkan, namun juga memperumit segalanya.
"Kita tidak seharusnya melakukan ini, Arya," bisik Maya, suaranya bergetar.
Arya tersenyum tipis. "Kenapa tidak? Karena janji yang tidak lagi memberikan kebahagiaan? Atau karena takut pada apa yang akan dikatakan orang lain?"
Kata-kata Arya menusuk tepat ke inti masalahnya. Ia memang takut pada penilaian orang lain, pada konsekuensi dari perbuatannya. Tapi ia juga tahu,
pernikahan dengan Tama tidak lagi memberinya kebahagiaan.
"Saya... saya tidak tahu harus bagaimana dengan suami saya," bisik Maya.
Arya mengangguk. "Saya mengerti. Ini memang tidak mudah. Tapi Maya, Anda berhak bahagia. Anda berhak mendapatkan apa yang Anda inginkan." Ia mengusap punggung tangan Maya perlahan. "Apa yang Anda rasakan semalam... itu nyata. Anda tidak bisa menyangkalnya."
Maya memejamkan mata. Arya benar. Sensasi semalam begitu nyata, begitu membakar. Sebuah gair4h yang selama ini ia dambakan.
"Biarkan saja waktu yang menjawab, Maya," kata Arya.
"Jangan terburu-buru. Saya akan selalu ada di sini untuk Anda. Kapan pun Anda membutuhkan saya."
Jantung Maya berdesir. Janji itu. Arya menawarkan dukungan, perhatian, dan kebahagiaan. Sesuatu yang Tama tak bisa berikan.
***
Pukul sepuluh pagi, Maya memutuskan untuk pulang. Ia merasa harus menghadapi Tama. Arya mengantarnya sampai ke pintu rahasia yang terhubung langsung ke halaman belakang rumah mereka.
"Hati-hati, Maya," kata Arya, ia mencium kening Maya. "Saya akan menunggu Anda."
Maya mengangguk, lalu melangkah keluar. Ia berjalan
cepat menuju rumahnya, jantungnya berdebar kencang. Ia berharap Tama tidak mencurigai apa pun.
Ia masuk ke dalam rumah. Suasana sepi. Tama pasti sudah berangkat ke bengkel, seperti biasanya. Maya menghela napas lega. Ia punya waktu untuk menenangkan diri, untuk memikirkan semuanya.
Namun, baru saja ia berniat membersihkan diri, suara Tama terdengar dari ruang tamu. "Yank? Kamu sudah pulang?"
Jantung Maya mencelos. Tama ada di rumah? Kenapa belum berangkat ke bengkel? Ia bergegas menuju ruang tamu. Tama duduk di sofa, dengan ponsel di tangannya, namun kali ini ia menatap Maya. Ekspresinya bukan curiga, melainkan bingung dan sedikit khawatir.
"Mas? Kok belum berangkat?" tanya Maya, berusaha menormalkan suaranya.
Tama meletakkan ponselnya. "Aku baru bangun.
Ketiduran. Kamu dari mana, Yank? Aku bangun tadi pagi, kamu sudah tidak ada di rumah. Aku pikir kamu ke pasar sepagi ini."
Pertanyaan itu menghantam Maya. Ia tidak menyangka Tama akan mempertanyakan ketidak beradaannya di rumah. Ia harus mencari alasan yang masuk akal. Rasa bersalah itu menusuk lebih dalam.
"Aku... aku tadi pagi-pagi sekali ke rumah Bi Sumi, Mas," jawab Maya, berusaha meyakinkan. "Ada barang yang ketinggalan. Penting sekali."
Tama mengerutkan kening. "Barang apa? Sepenting itu sampai kamu harus pergi sepagi itu tanpa bilang-bilang?"
Maya tergagap. "Iya, Mas. Barang... barang titipan Bi Sumi untuk cucunya. Aku lupa titip ke Bi Sumi tadi sore." Ia mencoba terdengar meyakinkan.
Tama menghela napas. "Lain kali kalau mau pergi bilang-bilang, Yank. Aku jadi khawatir." Nada suaranya terdengar lelah, bukan marah. Ia tidak mencurigai adanya Arya, hanya khawatir seperti suami pada umumnya.
Maya mengangguk lega. "Iya, Mas. Maaf. Tadi buru-buru sekali."
Tama berdiri, menguap. "Sudahlah. Aku mau siap-siap ke bengkel. Kamu mau masak apa hari ini?"
"Aku masak sup ayam, Mas," jawab Maya, cepat.
"Oke. Jangan lupa makan ya, Yank," kata Tama, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Maya menghela napas panjang. Ia berhasil. Tama tidak mencurigai apa pun. Rasa bersalahnya sedikit mereda, namun bayangan Arya dan sensasi semalam masih menghantuinya. Ia tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam dua dunia seperti ini.
***
Sepanjang hari, Maya mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia membersihkan rumah, memasak, namun pikirannya terus melayang pada Arya. Pada sentuhannya, pada bisikannya, pada janji yang ia berikan. Ia tahu Arya ada di rumah sebelah, hanya dipisahkan oleh pagar.
Sore harinya, saat Maya sedang menyiram tanaman di halaman depan rumah, ia melihat Arya keluar dari rumahnya. Arya mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Ia berjalan menuju garasinya.
Maya segera menunduk, pura-pura sibuk dengan tanamannya. Ia tidak ingin Arya melihatnya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah semalam.
Tiba-tiba, suara Arya terdengar dari arah garasi.
" Maya?"
Jantung Maya mencelos. Arya memanggilnya. Ia mengangkat kepala, menatap Arya. Arya tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh arti.
"Saya hanya ingin bertanya," kata Arya, ia berjalan mendekat, melangkah melewati pagar pembatas antara rumah mereka. Ia berhenti di depan Maya, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. "Anda sudah makan malam?"
"Belum, Arya," jawab Maya, suaranya bergetar.
"Saya baru saja selesai memasak," kata Arya, nadanya menggoda. "Bagaimana kalau Anda makan malam di rumah saya? Saya membuat pasta kesukaan Anda."
Maya terkejut. Arya tahu pasta kesukaannya? Bagaimana bisa? Arya semakin berani. Ia tahu Maya telah terpengaruh.
"Tidak usah, Arya. Saya bisa masak sendiri," tolak Maya. Ia merasa ini terlalu berlebihan.
"Ayolah, Maya," Arya tersenyum. "Anggap saja sebagai bentuk terima kasih karena Anda sudah membuat saya bahagia." Ia mengulurkan tangannya. "Tidak perlu sungkan. Hanya kita berdua."
Maya ragu. Ia menatap tangan Arya yang terulur.
Godaan itu terlalu kuat. Sebuah keint!man yang terang-terangan di tengah halaman rumah mereka, di sore hari. Arya tampak begitu percaya diri, seolah yakin Maya takkan menolak.
Ia ingin menolak lagi, namun tubuhnya terasa kaku. Sebuah bisikan di hatinya berkata, Ini kesempatanmu untuk merasakan kebahagiaan yang hilang. Rasa bersalahnya masih ada, namun suara hasr4t itu jauh lebih keras.
Maya mengangkat tangannya, perlahan, dan meraih tangan Arya. Jemari mereka bersentuhan. Sebuah genggaman yang hangat, kuat, dan penuh makna. Arya tersenyum penuh kemenangan, sebuah senyum yang membuat jantung Maya berdebar kencang. Ia tahu ini adalah sebuah jebakan, namun ia rela terjebak.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya