Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Keesokan harinya, sinar matahari menembus lembut jendela kamar rumah sakit.
Udara pagi terasa hangat dan menenangkan.
Dokter tersenyum setelah memeriksa hasil terakhir Amira.
“Kondisi Ibu Amira sudah stabil. Tidak ada efek lanjutan dari obat bius, dan kandungannya pun dalam keadaan sangat baik. Anda sudah boleh pulang hari ini,” ucapnya ramah.
Sebastian menghela napas lega, senyumnya mengembang.
“Terima kasih, Dokter,” ucapnya sambil menyalami tangan sang dokter.
Setelah dokter keluar, Amira menatap Sebastian dengan mata berbinar.
“Bas, aku ingin ke tempat yang kamu pernah janjikan dulu,” ucapnya lembut.
Sebastian menatapnya dengan heran.
“Tempat yang mana, Sayang?” tanya Sebastian pura-pura lupa.
“Gunung Bromo. Aku ingin kita mengambil foto di sana. Foto kenangan untuk menandakan babak baru dalam hidup kita.”
Sebastian menatap istrinya lama, memastikan bahwa keinginannya itu bukan hanya karena emosi sesaat.
Tapi begitu melihat keteguhan di mata Amira, ia akhirnya mengangguk pelan.
“Baik, Sayang. Kalau itu yang kamu mau, kita pergi hari ini juga.”
Beberapa jam kemudian, mobil hitam mereka melaju di jalan menuju Gunung Bromo.
Pemandangan alam yang indah terbentang di sepanjang perjalanan hamparan sawah, kabut tipis, dan udara yang sejuk.
Setibanya di puncak, suhu dingin langsung menyapa.
Kabut menari di udara, dan sinar mentari sore mulai merona keemasan di cakrawala.
Sebastian menatap istrinya penuh khawatir.
“Kamu yakin sudah kuat, Mira? Udara di sini cukup dingin,” tanyanya lembut sambil menggenggam tangan Amira.
“Aku kuat, Bas. Aku ingin kenangan ini. Aku ingin kita punya foto di tempat ini. Tempat di mana aku benar-benar merasa bebas.”
Sebastian tersenyum kecil, lalu membuka koper kecil yang mereka bawa.
Ia mengganti pakaiannya dengan setelan jas abu tua yang elegan, sementara Amira berganti mengenakan gaun panjang berwarna putih dengan kerah tinggi dan detail renda lembut.
Udara dingin menusuk, namun Amira tetap tegar. Pipi dan ujung jarinya mulai memerah, tapi ia menatap ke arah pemandangan luas Bromo dengan senyum bahagia.
Sebastian melangkah mendekat, memeluk Amira dari belakang.
“Kamu terlihat sangat cantik, Mira,” bisiknya di telinga istrinya.
Amira menatap ke arah kamera yang disiapkan Diko, yang kini bertugas sebagai fotografer dadakan.
“Ayo, Bas. Sebelum kabutnya menutup pemandangan.”
Mereka berdiri berdua di atas hamparan pasir hitam Bromo, dengan lautan kabut dan langit jingga di belakang.
Amira menahan dingin yang menggigit, namun di setiap jepretan kamera, senyum hangatnya tak pernah hilang.
Sebastian meraih tangan Amira, menatap matanya dalam.
“Lihat ke sini, Sayang,”
Klik!
Kamera menangkap momen dimaba tatapan cinta dua insan yang telah melewati badai, kini berdiri kokoh di bawah langit luas.
Amira berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
“Terima kasih, Bas. Karena tetap memelukku, bahkan di saat aku hampir hancur.”
Sebastian mencium keningnya dan membalas dengan suara dalam penuh kasih,
“Dan aku akan terus memelukmu, Mira. Di mana pun, kapan pun, selama aku hidup.”
Setelah sesi pemotretan selesai, matahari mulai turun perlahan di ufuk barat, memantulkan warna keemasan di langit Gunung Bromo.
Angin berembus lembut, membawa aroma kabut dan pasir yang khas.
Amira berdiri di tepi bukit kecil, memeluk dirinya sambil tersenyum bahagia.
“Pemandangannya indah sekali, Bas. Rasanya aku nggak mau pulang,” ucapnya lirih, menatap langit senja yang memudar.
Sebastian yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum, lalu menatap ke arah Diko dan memberi isyarat kecil.
Diko segera menghampiri dengan sebuah kotak kecil berwarna hitam beludru di tangannya.
Ia menyerahkannya secara diam-diam pada Sebastian, lalu mundur beberapa langkah dengan senyum penuh pengertian.
“Sayang,” panggil Sebastian lembut.
Amira menoleh pelan. “Hmm?”
“Coba tutup matamu sebentar, ya,” ucap Sebastian sambil tersenyum penuh misteri.
Amira mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Bas, ada apa? Kamu mau ngapain?”
“Tutup dulu, percayalah sama aku,” balasnya pelan.
Amira menuruti, menutup matanya sambil menggigit bibir bawahnya karena penasaran.
Sebastian membuka kotak kecil itu yang di dalamnya terbaring kalung berlian berdesain elegan, berkilau terkena pantulan cahaya senja.
Batu utamanya berbentuk hati kecil, sederhana tapi menawan.
Ia melangkah pelan mendekati Amira, lalu menyampirkan kalung itu di leher istrinya dengan lembut.
Sentuhan jarinya hangat di kulit Amira yang dingin karena udara gunung.
“Sekarang buka matamu,” bisik Sebastian di telinganya.
Perlahan, Amira membuka mata dan saat melihat pantulan kilau kalung di dadanya, matanya langsung berkaca-kaca.
“B–Bas…” suaranya bergetar, air mata mulai menetes di pipinya.
Sebastian tersenyum hangat, menatapnya penuh cinta.
“Kalung ini bukan sekadar perhiasan, Mira. Ini simbol dari semua yang sudah kamu lewati bersama kekuatan, keberanian, dan cinta yang nggak pernah hilang. Aku ingin setiap kali kamu memakainya, kamu adalah wanita paling kuat dan paling berharga dalam hidupku.”
Amira menatap Sebastian dengan mata yang kini penuh air mata kebahagiaan. Ia menutup mulutnya, menahan isak haru.
“Bas, kamu selalu tahu cara membuat aku menangis, tapi kali ini karena bahagia.”
Sebastian menghapus air mata di pipinya dengan ibu jarinya, lalu mengecup lembut bibir istrinya.
“Kalau begitu, biarkan aku jadi alasan kamu tersenyum selamanya,” ucap Sebastian.
Amira tersenyum dalam tangisnya, lalu memeluk Sebastian erat di bawah langit Bromo yang mulai diselimuti kabut malam.
Kilau kalung berlian di lehernya memantulkan cahaya senja terakhir hari itu menjadi saksi cinta yang tumbuh lebih kuat dari rasa sakit, dan lebih indah dari keabadian.
Perjalanan pulang dari Bromo terasa hangat dan damai.
Langit mulai berwarna jingga keemasan, sementara mobil melaju menuruni jalan berkelok dengan pemandangan hutan dan ladang di sisi kanan-kiri.
Amira bersandar di bahu Sebastian, wajahnya tampak lelah tapi bahagia.
“Bas, aku lapar,” ucapnya pelan dengan nada manja.
“Tadi cuma makan roti sebelum pemotretan.”
Sebastian tersenyum kecil, menatap istrinya penuh kasih.
“Baiklah, Sayang. Diko, cari rumah makan yang enak, ya. Aku ingin Amira makan sesuatu yang hangat.”
“Siap, Tuan,” jawab Diko sambil menyalakan GPS.
Tak lama kemudian mereka berhenti di sebuah rumah makan khas Jawa Timur yang sederhana tapi ramai aroma rawon langsung menyambut begitu mereka turun.
Amira menatap papan menu di depan pintu dengan mata berbinar.
“Rawon! Aku mau itu, Bas!” serunya antusias seperti anak kecil.
Sebastian tertawa pelan melihat semangat istrinya.
“Baiklah, dua porsi rawon untuk Nyonya Vettel.”
Mereka duduk di sudut rumah makan, suasana hangat dengan lampu kuning temaram.
Tak butuh waktu lama, dua mangkuk besar rawon hitam pekat tersaji di meja, lengkap dengan nasi hangat, taoge, dan sambal hijau.
Amira langsung menyendok suapan pertama dengan semangat.
“Hmmmm, enak banget, Bas!” ucapnya sambil memejamkan mata menikmati rasanya.
Sebastian hanya tersenyum tipis, menatap Amira yang begitu lahap makan.
Ia bahkan nyaris tidak menyentuh makanannya sendiri, terlalu sibuk memperhatikan istrinya yang tampak begitu hidup dan bahagia.
Tak terasa, mangkuk pertama habis.
Amira menghela napas kecil lalu menatap pelayan.
“Mas, satu lagi ya.”
Sebastian menaikkan alisnya dengan geli. “Kamu masih mau tambah?”
Amira mengangguk cepat, pipinya sedikit memerah.
“Masih lapar boleh, kan?”
Sebastian tertawa lembut, menatapnya penuh cinta.
“Tentu boleh. Aku malah senang lihat kamu makan dengan lahap.”
Beberapa menit kemudian, mangkuk kedua pun ludes.
Amira bersandar di kursi, menepuk perutnya puas.
“Ahh, kenyang banget. Kayaknya bayi kita juga senang, deh.”
Sebastian tersenyum tipis, lalu mengusap lembut perut istrinya.
“Kalau kamu bahagia, aku pun bahagia. Kamu tahu, Mira? Melihatmu makan dengan lahap seperti tadi itu hadiah terbaik buatku hari ini.”
Amira tertawa kecil, menatap suaminya penuh sayang.
“Dasar, Bas. Kamu selalu tahu cara bikin aku meleleh.”
Sebastian menatapnya lembut, suaranya pelan tapi dalam.
“Dan aku akan terus melakukannya, seumur hidupku.”
Mobil melaju tenang di jalan tol, lampu-lampu kota mulai tampak di kejauhan. Suasana di dalam mobil terasa hangat dan damai.
Amira duduk di kursi belakang bersama Sebastian. Ia tampak manja, bersandar erat di dada suaminya sambil memeluk pinggangnya dengan lembut.
“Bas, aku ngantuk,” gumamnya pelan, suaranya manja dan lembut.
Sebastian tersenyum, membelai rambut istrinya dengan penuh kasih.
“Tidurlah, Sayang. Kita hampir sampai.”
Amira mengangguk kecil lalu memejamkan matanya.
Wajahnya tampak tenang, sesekali tersenyum kecil seolah bermimpi indah.
Sebastian menatapnya beberapa saat, lalu menunduk dan mengecup kening istrinya penuh sayang.
Diko, yang duduk di kursi depan, sempat melirik lewat kaca spion dan tersenyum kecil melihat pemandangan itu.
Setelah beberapa menit, Sebastian bersandar sedikit sambil menatap ke luar jendela, lalu mulai berbicara ringan dengan Diko.
“Diko, pastikan semua sudah siap di rumah, ya. Aku tidak mau ada gangguan malam ini. Mira harus benar-benar istirahat.”
“Sudah, Tuan. Semua sesuai instruksi Anda. Keamanan diperketat dan kamar sudah ditata seperti yang Nyonya Amira suka,” jawab Diko sambil tersenyum tipis.
Sebastian mengangguk pelan, matanya kembali menatap wajah Amira yang tertidur di pelukannya.
Perjalanan yang melelahkan dari Bromo kini berganti dengan ketenangan dan hanya ada suara lembut mesin mobil dan napas tenang Amira.
Diko menatap melalui kaca spion lagi dan berkata dengan nada hangat,
“Tuan Sebastian…”
Sebastian mengangkat pandangan. “Ya, Diko?”
“Nyonya Amira sangat mencintai Anda, Tuan. Itu terlihat dari cara dia memandang dan memperlakukan Anda. Rasanya dia benar-benar menemukan rumahnya di sisi Anda.”
Sebastian terdiam sejenak, menatap keluar jendela, lalu menoleh lagi ke arah Amira yang masih bersandar padanya.
Senyum lembut muncul di bibirnya. “Dan aku pun begitu, Diko. Dia bukan hanya rumahku, tapi juga hidupku.”
up'ny yg bnyk thor🙏💪