Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Penyesalan
Sepeninggalnya Rahmat Sari diusir dari rumahnya, bahkan semua warisan diambil oleh dua bersaudara dari ibunya. Sari hidup terlunta-lunta di jalanan, tak lagi memiliki tempat tinggal bahkan sanak saudara, karena kedua anak Rahmat tidak sudi menampungnya. Demi bisa bertahan hidup dia harus bekerja, apapun akan ia lakukan selagi bisa ditukar dengan makanan.
"Permisi Pak, apakah di sini butuh pegawai? Saya butuh pekerjaan Pak?" tanya Sari ketika berada di depan kompleks perumahan di pinggiran kota.
"Kamu butuh pekerjaan?" tanya pria paruh baya penjaga kompleks.
"Iya betul Pak, saya butuh pekerjaan. Apa Bapak bisa membantu saya?"
Sari berharap masih ada orang yang mau berbaik hati padanya. Sepanjang perjalanan bahkan dia tak mendapati seorang pun yang sudi menolongnya.
"Kalau boleh tahu kamu lulusan apa? Sekarang agak sulit mencari pekerjaan kalau nggak punya ijasah. Minimal harus memiliki ijasah SMA."
Sari menghela nafas dengan raut wajah sedih. Pantas saja semua orang menolak dengan alasan ijasah, ia bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di sekolahan SMA.
"Neng, kok ngelamun?"
"A—ah, anu Pak, ijasah saya cuma sampai SMP saja, tapi saya butuh banget pekerjaan Pak, dari kemarin saya belum makan."
Pria itu terenyuh melihat wajah tirusnya yang memucat. Semenjak kepergian Jaka hingga disusul dengan kematian kakeknya Sari tak lagi memiliki semangat hidup. Kalau boleh memilih ia lebih baik mati daripada hidup tak berarti.
"Neng, tunggulah di sini sebentar. Bapak ada sedikit makanan untukmu. Tunggu di sini ya, tak ambilkan dulu."
Merasa kasihan pria itu berniat untuk memberikan sedikit makanan yang dimilikinya, itupun tak boleh sampai diketahui oleh majikannya.
Sari duduk di depan gerbang dengan membawa tas usang berisi pakaiannya. Sudah seperti gelandangan saja tak memiliki arah tujuan.
Tak menunggu lama pria itu kembali dengan membawa sebungkus roti dan juga minuman. Diselipkan pisang goreng dibungkus dengan kertas minyak.
"Neng, makanlah ini."
Sari menoleh dengan tatapan tertuju pada bungkusan roti yang dibawa oleh pria itu. "Bapak, ini kan makanan buat Bapak, kenapa dikasih sama saya? Enggak usah pak, nanti kalau Bapak laper gimana?"
Sari menolak, dia tidak ingin menyusahkan orang lain. Pria itu juga tengah bekerja keras untuk mencari sesuap nasi, kalau ia terima pemberian darinya sama halnya merepotkan.
"Neng, jangan pikirkan Bapak. Nanti siang bapak dapat jatah makanan lagi, sedangkan kamu~~ ayo silahkan diterima!"
Pria itu membayangkan jika sampai hal itu terjadi pada anak ataupun saudaranya tentu sangatlah menyakitkan. Dengan beramal sesuai kemampuan mungkin bisa sedikit meringankan beban penderitaannya.
Setelah dibujuk akhirnya Sari menerima makanan pemberian pria itu. Dia tak berhenti berucap syukur masih ada orang yang mempedulikannya.
"Terimakasih banyak atas kebaikan Bapak, saya nggak bisa balas, semoga Allah yang membalas berlipat-lipat."
Dengan tangan gemetaran Sari menerima sebungkus roti dan minuman. Di situ ia juga mendapatkan makanan yang terbungkus oleh kertas minyak, ia tak tahu apa isi di dalamnya.
"Kalau boleh tahu neng ini datang dari mana?" tanya pria itu.
"Saya dari kampung pak, jauh dari sini," jawab Sari.
"Dari kampung? Terus tujuan neng ke sini buat apa?"
"Cari kerjaan."
"Ya ampun neng! Bukankah seusiamu itu masih duduk di bangku sekolah, kok udah nyari kerjaan. Kalau boleh tahu di mana orang tuamu? Apa mereka yang menyuruhmu cari pekerjaan?"
Sari menggeleng dengan matanya berkaca-kaca. Sesak rasanya ditanya tentang orang tua, bahkan di dunia ini ia hanya sebatang kara.
"Saya nggak punya orang tua Pak, orang tua saya sudah meninggal sejak saya masih kecil. Kakek yang merawat saya juga meninggalkan saya. Saya hanya sebatang kara pak, saya juga nggak punya tempat tinggal."
Pria itu ikut terbawa oleh suasana sedihnya, padahal dia tidak pernah mengenalnya, tapi mendengar ceritanya saja sudah membuatnya ingin menangis. Dia hanya membayangkan jika posisinya ada pada gadis itu.
"Neng! Kamu yang sabar ya? Jangan mudah berkecil hati. Yakinlah diatas langit masih ada langit. Mungkin saat ini hidupmu menderita, tapi bapak doakan semoga suatu saat nanti kelak kamu menjadi orang yang sukses dan bisa membantu sesama."
"Aamiin Pak, terimakasih atas doanya. Yaudah pak, bapak lanjut kerja. Terimakasih untuk makanannya. Kalau begitu saya pergi dulu ya pak?"
"Iya neng! Hati-hati di jalan. Semoga segera dapat pekerjaan ya? Maaf, bapak nggak bisa bantu."
***
Adrian datang ke kampung ditemani oleh anak buahnya. Dengan kedatangannya membawa mobil dan berpakaian rapi membuat warga kampung langsung heboh. Mereka berbondong-bondong keluar dari sarangnya untuk menemuinya.
"Ini si Jaka kan?" tanya seorang pria bernama Asmad.
"Iya betul pak, anda masih ingat sama saya?"
"Ya jelas masih ingat lah! Hanya saja penampilannya agak beda. Kalau berpenampilan seperti ini anda mirip dengan bos besar."
Jaka tersenyum. "Bapak bisa aja."
Dua pria yang berdiri di belakang Adrian menggumam. 'dasar orang udik. Memangnya dia tak tahu kalau orang yang berdiri di depannya ini seorang bos mafia?'
"Oh ya pak, saya datang ke sini mau ketemu sama istri saya. Apakah dia ada di rumah?"
Kediaman Rahmat nampak begitu sepi, bahkan halamannya saja seperti tidak terurus, sangat kotor.
"Maksudnya Sari?"
"Adrian mengangguk. "Iya, istri saya kan Sari. Memangnya siapa lagi?"
Pria itu menunjukkan raut wajah sedih. Diantara yang lain dia masih memiliki kepedulian terhadap Sari dan kakeknya, tapi kini mereka sudah tidak ada lagi di kampungnya.
"Nak Jaka, selama ini kamu ada di mana? Kenapa nggak jenguk Sari? Sekarang dia sudah tidak ada di sini. Rumah ini sudah dijual!"
"Apa?" Refleks Adrian menatapnya horor, dia terkejut. Seketika itu pikirannya langsung kacau. "Jadi istri saya sudah tidak tinggal di sini, dan rumah ini sudah terjual? Ya ampun Sari, kenapa bisa begini?" Serasa dadanya mendadak sesak. Ia hanya kecewa dan merasa bersalah tak pernah datang untuk menjenguknya. "Kalau boleh tahu sekarang mereka ada di mana? Tolong kasih tau saya pak! Saya ingin bertemu dengan istri saya."
Adrian berharap bisa menemukan Sari dengan segera. Dia bahkan sudah berjanji untuk melindunginya, tapi apa? Di saat dibutuhkan dia tak ada di sisinya. Sungguh dia benar-benar sangat berdosa.
"Nak Jaka, setelah kepergianmu banyak sekali masalah yang berdatangan. Kakeknya Sari meninggal, Sari juga diusir dari sini, rumah dan kebunnya dikuasai oleh dua anaknya pakdhe Rahmat, sekarang rumah ini juga sudah terjual, dan untuk Sari sendiri kami kurang tahu dia ada di mana. Kami berharap dia baik-baik saja berada di luar. Dia itu anak yang baik, dia bahkan rela hidup menderita bersama kakeknya. Aku pikir Sari pergi mencarimu, tapi ternyata ~~
"Baik pak, terimakasih banyak atas informasinya. Kalau begitu saya mohon pamit!"
Adrian tak kuasa menahan kesedihannya. Dia hingga meneteskan air matanya.
"Tuan, apa langkah kita selanjutnya?"
"Cari istriku sampai ketemu!"