NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25 — Ledakan Amarah dan… Gairah

​Pengakuan Aira telah menghancurkan Dion. Dia tidak lagi melihat sandera atau penipu; dia melihat seorang Ibu yang sendirian, yang mencintai versi dirinya yang paling rentan. Rasa bersalah yang menusuk ini jauh lebih buruk daripada kemarahan.

​Dion berdiri di tengah ruang kerjanya yang kini seperti medan pertempuran: pecahan kaca, bau whiskey, dan atmosfer yang tegang. Dia berbalik dari Aira, memunggungi wanita yang telah memberinya seorang putra dan yang telah dia siksa.

​“Kau… kau tidak punya hak,” desis Dion, suaranya tercekat. “Kau tidak punya hak untuk memikul beban itu sendirian. Kau tidak punya hak untuk mencuri empat tahun dariku. Kau tidak punya hak untuk membuatku menjadi monster di mata putraku.”

​Dion berjalan ke dinding, di mana tergantung sebuah lukisan abstrak mahal. Dia menatap bayangan dirinya di permukaan kaca yang membingkai lukisan itu—bayangan seorang tiran yang penuh amarah.

​“Aku menyuruhmu pergi!” teriak Dion, tidak pada Aira, tetapi pada lukisan itu, pada pantulan dirinya sendiri. “Aku memaksamu ke dalam kontrak ini! Aku menghukummu karena kebohongan yang kau ciptakan dari keputusasaan! Dan sekarang, aku tahu… aku hanya menghukum diriku sendiri!”

​Aira maju, gemetar. Ia melihat Dion yang benar-benar hancur, bukan Dion yang marah, tetapi Dion yang rapuh. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Tuan Arganata kehilangan kendali diri sepenuhnya.

​“Dion,” bisik Aira, suaranya penuh permohonan. “Saya minta maaf. Saya sangat menyesal. Saya tidak bermaksud menyakitimu. Saya hanya ingin melindungi Arvan.”

​Permintaan maaf Aira, yang tulus dan datang dari dasar jiwanya, justru memicu ledakan yang lebih besar.

​Dion berbalik tiba-tiba, matanya merah, dipenuhi air mata amarah dan frustrasi. Dia melangkah cepat ke arah Aira, mencengkeram kerah bajunya sendiri dengan kedua tangan, dan meremasnya seolah-olah dia sedang mencekik semua kebohongannya sendiri.

​“Melindungi Arvan?” raung Dion. “Melindungi dia dariku? Aku Ayahnya! Lihat ini, Aira! Lihat apa yang kau lakukan padaku!”

​Dion melepaskan cengkeramannya dari kerah bajunya dan merobek perban di tangannya yang berdarah, membiarkan darah segar mengalir bebas. Dia tidak peduli dengan rasa sakit fisik.

​“Aku harus mencari tahu dari selembar kertas sialan siapa putraku! Aku harus mencuri momen ke Ayahanku karena kau memisahkannya dariku! Kau pikir ini adil? Kau pikir ini perlindungan? Kau menghancurkanku, Aira! Kau menghancurkan aku!”

​Aira tidak mundur. Ia tahu, Dion tidak akan menyakitinya secara fisik. Amarah ini adalah luapan penyesalan dan pengakuan atas cintanya yang hilang.

​Aira meraih tangan Dion yang berdarah. “Saya tahu, saya salah. Saya pantas dihukum. Tapi jangan salahkan Arvan. Dia adalah satu-satunya hal baik yang keluar dari malam itu.”

​Aira mencengkeram tangan Dion yang terluka, menekan darahnya, mencoba menyalurkan rasa sakitnya ke rasa sakitnya sendiri.

​Mata Dion terpaku pada Aira. Jarak di antara mereka sirna. Emosi yang terlalu besar, penyesalan yang membakar, dan hasrat yang tak tersentuh selama berbulan-bulan, kini bertemu.

​Cengkeraman Aira di tangannya terasa seperti sambaran listrik. Dion merasakan sentuhan, bukan lagi sebagai sandera, tetapi sebagai koneksi yang putus.

​Dion melepaskan tangannya yang berdarah dari Aira, tetapi hanya untuk mencengkeram wajah Aira, memaksanya menatap matanya.

​“Kau bilang kau mencintai pria itu,” desis Dion, napasnya memburu. “Kau bilang kau mencintai versi diriku yang bodoh, yang mabuk, yang tulus. Tunjukkan padaku, Aira. Tunjukkan padaku apa yang kau cintai!”

​Tanpa menunggu jawaban, Dion menundukkan kepalanya dan mencium Aira.

​Ciuman itu brutal, haus, dan penuh amarah. Itu adalah ciuman hukuman, ciuman pengakuan, dan ciuman penyesalan. Dion mencium Aira seolah-olah dia mencoba menuntut kembali setiap detik yang tercuri, setiap kata yang tidak terucapkan.

​Aira tersentak. Rasa sakit bercampur hasrat mengalir di antara mereka. Aira seharusnya melawan. Dia seharusnya menolak tiran ini.

​Namun, Aira tidak melawan.

​Dia sudah menahan segalanya terlalu lama: ketakutan, kesendirian, dan yang paling dalam, hasrat yang ia pendam terhadap pria di depannya. Pria yang ia cintai empat tahun lalu, pria yang baru saja menunjukkan kerapuhannya.

​Aira membiarkan air matanya mengalir, tetapi tangannya meraih kerah kemeja Dion yang mahal. Ia menarik Dion lebih dekat, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama. Itu adalah pelepasan. Pelepasan dari kebohongan, dari kontrak, dari semua batas yang mereka ciptakan.

​Mereka mencium bukan karena cinta yang damai, tetapi karena api yang membakar yang menuntut pengakuan. Ciuman Dion bergerak dari hukuman menjadi keputusasaan, ciuman yang memohon untuk dimaafkan, ciuman yang mengklaim kepemilikan yang tidak lagi hanya tentang kontrak, tetapi tentang garis darah.

​Dion mengangkat Aira, tanpa memutuskan ciuman itu, dan Aira melilitkan kakinya di pinggang Dion. Itu adalah momen yang tak terhindarkan, ledakan dari semua emosi yang terpendam.

​Beberapa saat kemudian, Dion melepaskan ciuman itu, napasnya tersengal-sengal, dahi mereka bersentuhan.

​Aira membuka matanya, menatap mata Dion yang kini tidak lagi merah karena amarah, tetapi karena hasrat dan penyesalan yang mendalam.

​Dion menurunkannya perlahan. Sentuhan mereka tiba-tiba menjadi hampa, dingin.

​Dion mundur selangkah, terhuyung-huyung. Ia menatap Aira, rambut Aira yang berantakan, bibir Aira yang bengkak, dan matanya yang dipenuhi oleh pengakuan tanpa kata.

​“Tidak,” desis Dion, suaranya parau, dipenuhi rasa jijik pada dirinya sendiri. “Tidak seperti ini. Aku… aku tidak bisa.”

​Dion berbalik, tangannya menekan keningnya. Dia tidak bisa membiarkan hasratnya menjadi hukuman lain. Dia tidak bisa membiarkan momen ini menjadi pembalasan atas kebenaran DNA.

​“Aku butuh waktu,” kata Dion, suaranya sangat rendah, nyaris tak terdengar. “Aku tidak tahu bagaimana menjadi Ayah tanpa menjadi monster.”

​Dia berjalan menuju pintu, membuka pintu itu, dan keluar dari ruangan tanpa menoleh kembali.

​Aira berdiri di sana, sendirian, di tengah kekacauan pecahan kaca dan pengakuan yang menyakitkan. Dia merasakan rasa sakit, hasrat, dan kelegaan yang campur aduk.

​Dion telah pergi. Untuk pertama kalinya, Dion pergi bukan karena dia menghukum, tetapi karena dia membutuhkan waktu untuk memproses kebenaran: dia adalah Ayah, dan dia telah menyakiti wanita yang mencintainya.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!