Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gema Retakan di Hati Ibu
Jantung Raya berdebar tak karuan, irama panik memukul gendang telinganya. Malam sudah larut, Arlan di sampingnya terlelap damai, napasnya teratur. Namun, ketenangan itu tak menjangkau Raya. Tangannya gemetar saat mengangkat ponsel ke telinga. Suara Nyonya Adhisti terdengar samar, seperti bisikan dari dimensi lain, namun setiap kata terasa seperti guncangan gempa bumi.
“Nyonya Raya? Maaf sekali mengganggu Anda selarut ini,” suara Nyonya Adhisti terdengar profesional, namun ada nada keprihatinan yang dalam di sana. “Saya... saya punya kabar mengenai hasil tes yang Anda minta untuk Langit.”
Raya menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Firasat buruknya melilit perutnya. “Ya? Ada apa, Nyonya Adhisti? Apakah... apakah ada masalah lain dengan Langit?” Ia mencoba terdengar tenang, namun suaranya bergetar.
Ada jeda panjang, membuat detak jantung Raya semakin cepat, nyaris menyakitkan. Ia bisa mendengar napas Nyonya Adhisti yang berat di ujung sana.
“Nyonya Raya,” Nyonya Adhisti akhirnya melanjutkan, suaranya kini lebih pelan, seolah sedang menyampaikan berita duka. “Saya sangat menyesal harus menyampaikan ini. Hasil tes DNA... menunjukkan... bahwa Langit... bukan anak biologis Anda.”
Bum! Dunia Raya runtuh dalam sekejap. Rasanya seperti ada tangan raksasa yang meremas hatinya, menghancurkannya menjadi serpihan. Udara di sekelilingnya menipis, paru-parunya menolak bekerja. Bukan anak biologisnya? Apa maksudnya? Bagaimana mungkin?
“Apa?” Raya nyaris berteriak, namun suaranya hanya keluar sebagai bisikan putus asa. Ia mencengkeram ponselnya erat-erat, buku-buku jarinya memutih. “Anda... Anda pasti salah. Itu tidak mungkin! Langit... Langit adalah putra saya!”
Ia bisa merasakan matanya memanas, namun tidak ada air mata yang jatuh. Syok itu terlalu besar, terlalu melumpuhkan.
“Kami sudah melakukan validasi ulang, Nyonya Raya. Beberapa kali,” Nyonya Adhisti menjelaskan, suaranya tetap lembut namun tegas. “Hasilnya konsisten. Probabilitas hubungan biologis antara Anda dan Langit adalah nol persen. Nol koma nol nol persen.”
Nol persen? Kata-kata itu berputar-putar di kepala Raya, setiap huruf menusuk, mengoyak jiwanya. Langit, bayi yang ia lahirkan, yang ia susui, yang ia besarkan dengan segenap cinta di hatinya... bukan darah dagingnya? Itu adalah lelucon yang paling kejam, mimpi buruk terburuk yang pernah ada.
“Tidak. Tidak! Ini pasti ada kesalahan pada sampel. Atau... atau pada lab Anda!” Raya berdiri dari ranjang, bergerak menjauh dari Arlan yang masih terlelap. Ia takut suaranya akan membangunkan suaminya, dan ia tidak siap untuk menjelaskan kekacauan ini. Tidak sebelum ia sendiri bisa memahami.
“Kami memahami keterkejutan Anda, Nyonya Raya. Ini memang kasus yang sangat langka dan sensitif,” Nyonya Adhisti berusaha menenangkan. “Kami telah memastikan integritas sampel dan prosedur kami. Kami adalah salah satu laboratorium terbaik di Indonesia, Nyonya Raya. Saya tidak akan menelepon Anda dengan informasi ini jika saya tidak sepenuhnya yakin.”
Nyonya Adhisti melanjutkan, menjelaskan rincian teknis yang samar-samar terdengar di telinga Raya yang mati rasa. Tentang penanda genetik yang tidak cocok, tentang kemungkinan kontaminasi yang sudah disisihkan. Setiap penjelasan hanya memperdalam jurang kekosongan di hati Raya.
Raya berjalan mondar-mandir di kamar tidurnya yang gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang menembus jendela. Pikirannya kalut, seolah ribuan lebah berdengung di dalamnya. Langit. Putranya. Bagaimana bisa? Ia ingat setiap detail kehamilan. Mual pagi, tendangan pertama, rasa sakit melahirkan yang luar biasa. Ia merasakan setiap kontraksi, setiap dorongan. Ia melihat Langit lahir, kulitnya merah muda, tangisnya memenuhi ruang bersalin. Ia menggendongnya, menciumnya, merasakan kehangatan bayi mungil itu di dadanya. Itu adalah momen paling sakral dalam hidupnya. Bagaimana bisa semua itu... dusta?
“Lalu... lalu anak siapa Langit?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja, suaranya nyaris tak terdengar. Air mata akhirnya menemukan jalannya, mengalir deras membasahi pipi. Panas, pahit, penuh keputusasaan.
“Itu yang belum bisa kami tentukan, Nyonya Raya. Kami hanya bisa memastikan bahwa Anda bukanlah ibu biologisnya,” jawab Nyonya Adhisti. “Kami menyarankan Anda untuk melakukan tes yang sama dengan suami Anda, Bapak Arlan, untuk mengecualikan kemungkinan beliau adalah ayah biologisnya. Dan mungkin mempertimbangkan mencari tahu latar belakang keluarga besar Anda, atau bahkan menghubungi rumah sakit tempat persalinan Langit dulu.”
Rumah sakit. Persalinan. Otak Raya yang kalut mulai mencoba menyusun kepingan teka-teki. Langit lahir di Rumah Sakit Medika Sentosa, rumah sakit swasta terkemuka. Raya dirawat di sana selama beberapa hari. Tidak ada yang aneh. Semuanya berjalan lancar.
“Nyonya Raya? Apakah Anda baik-baik saja?” Suara Nyonya Adhisti kembali menariknya dari jurang pikiran.
“Saya... saya tidak tahu. Saya tidak tahu harus berkata apa,” Raya terisak, mencoba menahan suaranya agar tidak membangunkan Arlan. “Ini... ini tidak masuk akal. Ini mimpi buruk.”
“Saya bisa bayangkan betapa beratnya ini untuk Anda. Kami akan siap membantu Anda dengan tes lanjutan atau informasi apa pun yang Anda butuhkan,” Nyonya Adhisti menawarkan. “Mungkin ada baiknya Anda datang besok, agar saya bisa menjelaskan secara lebih detail dan kita bisa membahas langkah selanjutnya?”
Raya mengangguk lemah, meskipun Nyonya Adhisti tidak bisa melihatnya. “Ya. Besok. Saya akan datang.”
Setelah menutup telepon, Raya terdiam di kegelapan, ponselnya terasa dingin di tangannya. Ia menatap Arlan yang masih tidur, wajahnya tenang, tidak menyadari badai yang baru saja menerjang istrinya. Bagaimana ia bisa mengatakan ini padanya? Bagaimana ia bisa menghancurkan dunia mereka, dunia yang mereka bangun dengan begitu banyak cinta dan impian?
Pikirannya melayang pada Langit, putra kecilnya yang sedang berjuang melawan penyakit. Langit. Namanya saja sudah membuat hati Raya membengkak dengan kasih sayang. Mata bulatnya yang selalu berbinar, senyumnya yang manis, pelukan hangatnya. Langit adalah dunianya. Ia adalah ibunya. Tidak peduli apa kata selembar kertas tes DNA itu. Langit adalah putranya.
Namun, fakta itu... menggerogoti. Mengapa? Bagaimana? Siapa yang melakukan ini? Apakah ada yang menukar bayinya? Atau ini adalah kesalahan medis? Pikiran-pikiran liar melintas cepat, setiap skenario lebih mengerikan dari yang sebelumnya. Apakah ada motif di baliknya? Mungkinkah ini terkait dengan masa lalunya? Masa lalu Damar?
Nama itu, nama mantan suaminya, muncul di benaknya seperti bisikan hantu. Damar. Pria yang pernah mengisi hidupnya, kemudian menghancurkannya. Namun, apa hubungannya dengan ini? Raya menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran absurd itu. Tidak mungkin. Damar sudah lama tidak ada dalam hidupnya.
Raya berjalan pelan menuju kamar Langit. Kamar itu gelap, hanya diterangi lampu tidur berbentuk awan yang memancarkan cahaya lembut. Langit terlelap di ranjangnya, selimut ditarik sampai ke dagu. Wajahnya yang damai, rambutnya yang ikal keemasan, bibirnya yang sedikit terbuka. Bocah mungil yang saat ini menjadi satu-satunya alasan napasnya masih teratur.
Raya berlutut di samping ranjang Langit, mengulurkan tangan dan membelai lembut rambut putranya. Hangat. Nyata. Rasa sayang yang tak terbatas itu menyelimuti dirinya, mengusir sedikit dinginnya fakta yang baru saja ia terima. Darah atau bukan darah, Langit adalah jantungnya. Ia adalah anaknya.
Air matanya menetes mengenai sprei Langit. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin memeluk putranya, merasakan kehadirannya, memastikan bahwa ia tidak akan pernah kehilangannya. Firasat Nyonya Adhisti benar. Ini adalah permulaan. Permulaan dari sebuah rahasia yang jauh lebih besar, lebih gelap, dan lebih menyakitkan. Sebuah rahasia yang mengancam untuk merobek-robek kebahagiaannya yang rapuh.
Raya tahu ia tidak bisa diam saja. Ia tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ia harus mencari tahu kebenarannya. Demi Langit. Demi cintanya pada Langit. Tapi bagaimana? Dari mana ia harus memulai? Ia tidak bisa melibatkan Arlan dulu. Tidak sebelum ia memiliki lebih banyak jawaban. Beban itu terlalu besar untuk ditanggung sendiri, namun keharusan untuk melindungi Arlan dan kebahagiaan mereka terasa lebih mendesak.
Dengan tekad yang dingin namun hati yang remuk redam, Raya mengecup kening Langit. “Mama akan mencari tahu, Sayang. Mama akan mencari tahu siapa yang melakukan ini. Dan Mama tidak akan pernah melepaskanmu,” bisiknya, sumpahnya bergema di keheningan malam. Pertempuran terbesarnya baru saja dimulai, dan ia akan melangkah ke dalamnya sendirian, bersenjatakan cinta seorang ibu dan ketakutan yang mendalam akan kebenaran yang menanti di ujung jalan. Apa pun risikonya. Apa pun harga yang harus dibayar.