NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:33.4k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Kecurigaan Amara

Amara yang penasaran dengan perubahan ekspresi suaminya setelah Rayven keluar, langsung bangkit dari sofa dan berjalan ke arah ruang kerja Damian. Ia mengetuk pelan pintu kayu yang sedikit terbuka, lalu menyembulkan kepala.

“Tumben anak badung kamu masuk sini?” ucap Amara dengan nada menggoda sambil melangkah masuk. Ia lalu duduk di kursi di depan meja kerja Damian, menatap suaminya yang tampak serius dengan kacamata bacanya.

Damian tidak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk membolak-balik dokumen, namun wajahnya terlihat lebih tegang daripada biasanya.

“Besok sore kamu siap-siap, beli beberapa parsel,” katanya tiba-tiba, datar.

Amara mengerutkan kening. “Parsel? Buat apa?” tanyanya bingung.

Damian meletakkan pena yang sedari tadi ia pegang, lalu mengangkat kepalanya. Tatapannya berat, dingin, dan jelas bukan nada gurauan seperti biasanya.

“Anak kamu hamilin anak orang.”

Seketika ruangan itu hening.

Amara menatap suaminya tidak percaya. “Kamu… ngomong apa barusan?”

Damian bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada. “Rayven barusan ngaku. Katanya, dia yang bertanggung jawab atas kehamilan seorang gadis. Namanya Alendra.”

“Ya Tuhan…” Amara menutup mulutnya, terkejut. Napasnya tertahan di tenggorokan. “Kamu yakin? Dia sendiri yang ngomong begitu?”

“Langsung dari mulutnya sendiri.” Damian menatap istrinya tajam. “Dan kamu tahu apa yang paling bikin aku heran? Dia datang ke sini dengan muka tenang, minta izin buat ‘tanggung jawab’. Anak itu sadar betul apa yang dia lakukan.”

Amara membeku di tempatnya, butuh waktu untuk mencerna. Selama ini Rayven memang dikenal dingin, susah ditebak, dan nyaris tak pernah menunjukkan emosi apa pun. Tapi hamilin anak orang? Itu di luar semua bayangannya.

“Dia masih sekolah, Dam,” ucap Amara akhirnya dengan suara lemah. “Bagaimana bisa—”

Damian memotong, “Justru itu yang bikin aku makin marah, Mah. Anak itu punya segalanya—pendidikan, fasilitas, masa depan. Tapi malah buat masalah kayak gini.”

Amara menunduk. “Tapi kalau dia udah ngaku, berarti dia mau tanggung jawab kan?”

Damian mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang. “Iya. Itu satu-satunya hal yang bikin aku sedikit tenang. Tapi tetap aja, kita gak bisa diam. Besok sore, kita datang ke rumah keluarga gadis itu.”

Amara mematung. “Besok? Tapi kita bahkan gak tahu mereka tinggal di mana!”

“Rayven tahu. Besok dia yang antar.” Damian menatap meja kerja yang penuh dokumen, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang mulai panas lagi. “Aku gak mau nama keluarga ini rusak karena ulah satu orang. Tapi aku juga gak akan biarkan anak itu kabur dari tanggung jawab.”

Amara menggigit bibirnya, menatap suaminya yang kini berdiri sambil melepas kacamatanya. Ia bisa melihat bahwa Damian sedang menahan emosi keras—marah, kecewa, tapi juga bingung.

“Kamu jangan keras-keras ke dia, Pah,” ucap Amara lembut. “Dia memang salah, tapi aku yakin dia gak main-main. Kamu tahu sendiri, Rayven bukan tipe anak yang asal ngomong.”

Damian menatap istrinya lama. “Aku tahu. Tapi kamu juga tahu, Mar, aku gak bisa pura-pura santai soal ini. Anak itu udah buat keputusan yang bakal ubah hidup banyak orang. Aku cuma mau dia ngerti beratnya konsekuensi.”

Amara menunduk dalam, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. “Aku cuma takut… kamu terlalu keras sampai dia malah menjauh.”

Damian menarik napas berat. “Aku gak akan mukul dia, kalau itu maksudmu.”

“Syukurlah,” gumam Amara. “Karena jujur, aku gak sanggup lihat kalian berdua ribut besar.”

Damian berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit, menatap halaman rumah yang sudah gelap. “Kamu tahu, Mah, dulu aku pikir Rayven itu paling bisa jaga diri. Dia jarang bergaul, gak neko-neko. Tapi ternyata…”

Amara ikut berdiri dan menghampirinya, menepuk pelan bahunya. “Anak kita tumbuh, Pah. Kadang mereka bikin kesalahan besar untuk belajar hal besar juga.”

Damian mendengus, tapi tidak menepis. “Belajar? Kalau semua pelajaran datangnya begini, aku mending gak usah.”

Amara tersenyum tipis meski matanya masih memerah. “Kamu keras kepala banget, tahu gak.”

Damian menoleh padanya, tatapan tegasnya mulai sedikit melunak. “Aku cuma mau yang terbaik buat anak-anak kita. Tapi kalau ini cara Rayven ‘dewasa’—aku gak tahu apa aku siap.”

Mereka berdua terdiam cukup lama. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan menemani keheningan itu.

Setelah beberapa menit, Damian akhirnya berkata pelan, “Kamu bantu aku besok ya. Siapin parsel, buah, atau apa pun yang pantas. Aku gak mau datang ke rumah orang dengan tangan kosong.”

Amara mengangguk. “Aku siapin semuanya pagi-pagi.”

Damian menatap wajah istrinya yang mulai tampak tenang, lalu bertanya pelan, “Kamu gak marah sama Rayven?”

Amara menghela napas. “Marah, iya. Tapi lebih dari itu, aku sedih. Aku malah berfikir jangan-jangan cewek itu yang jebak Rayven?"

Amara berjalan ke arah sofa, duduk perlahan sambil meremas kedua telapak tangannya. Tatapannya kosong, seperti sedang mencerna semua kejadian malam itu. Setelah beberapa menit hening, ia menatap Damian dengan sorot mata yang mulai berubah — bukan lagi hanya terkejut, tapi kini dipenuhi dengan perasaan tidak terima.

“Pah…” suara Amara pelan namun terdengar berat, “…kamu gak kepikiran kemungkinan lain?”

Damian memutar tubuhnya, menatap istrinya dengan alis berkerut. “Maksud kamu?”

Amara menegakkan tubuhnya, nada suaranya perlahan mulai naik, “Maksud aku… apa kamu gak kepikiran kalau mungkin… cewek itu yang jebak Rayven?”

Damian mengerutkan kening. “Mah—”

“Enggak, dengar dulu.” Amara mengangkat tangannya, meminta Damian tidak memotong. “Rayven itu anak kita, Pah. Kita tahu siapa dia. Dari kecil dia bukan tipe yang neko-neko. Dia bahkan jarang deket sama cewek. Kamu lihat sendiri, Rayven itu terlalu fokus sama sekolah dan lomba-lomba basketnya. Masa tiba-tiba… hamilin anak orang?”

Damian terdiam, matanya menyipit. Ia tahu Amara sangat protektif terhadap anak-anaknya, terutama Rayven yang dikenal pendiam dan sulit terbuka.

Amara melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih tajam, “Aku gak percaya ini semata-mata salah Rayven. Bisa jadi… cewek itu sengaja. Tahu dia anak siapa, tahu dia punya masa depan cerah, makanya dia manfaatin.”

“Mah, jangan langsung nuduh kayak gitu,” ucap Damian perlahan, berusaha menenangkan.

“Tapi aku juga gak bisa diam dan pura-pura percaya begitu aja, Pah.” Amara berdiri dari sofa, kini tubuhnya menghadap Damian dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, bukan karena sedih — tapi karena marah dan merasa tidak terima. “Anak kita dituduh bikin anak orang hamil, seolah-olah dia cowok gak bertanggung jawab. Padahal siapa tahu cewek itu yang sengaja nyari gara-gara.”

Damian menghela napas panjang. “Rayven sendiri yang ngaku, Mar.”

“Karena dia polos, Pah! Karena dia anak baik yang gampang merasa bersalah!” seru Amara, nadanya meninggi. “Kamu gak lihat? Bisa aja cewek itu manipulatif. Sengaja bikin Rayven ngerasa semua ini salah dia.”

Suasana ruang kerja itu mulai terasa panas. Damian menatap istrinya dalam diam. Dalam hatinya, sebagian kecil dari ucapan Amara memang sempat terlintas dalam pikirannya juga. Tapi ia juga tahu — kenyataan harus dihadapi, bukan ditutupi.

“Alendra itu siapa, sih?” tanya Amara lagi dengan nada sinis. “Anak dari keluarga mana? Kita bahkan gak tahu latar belakangnya. Bisa aja dia cuma mau masuk ke kehidupan Rayven, lalu pakai ini sebagai jalan pintas.”

“Mah…” Damian mengusap wajahnya, mulai lelah dengan arah pembicaraan ini.

“Enggak, Pah. Aku serius.” Amara berjalan mondar-mandir di depan meja kerja suaminya, tak tenang. “Kamu tahu sendiri… banyak orang di luar sana yang pengin dekat sama keluarga kita. Nama besar keluarga kita, bisnis kamu, masa depan anak-anak kita—itu semua bikin kita jadi incaran. Kamu pikir gak ada yang mau manfaatin keadaan?”

Damian diam. Ia tahu istrinya tidak sepenuhnya salah. Namun ia juga tidak mau gegabah menuduh seorang gadis tanpa tahu kebenaran.

“Kalau memang benar cewek itu sengaja…” suara Amara melemah tapi penuh penekanan, “…aku gak akan tinggal diam, Pah.”

“Mah—”

“Dengar aku dulu,” potong Amara cepat. “Kalau Rayven benar-benar tanggung jawab, aku bakal dukung dia. Tapi kalau cewek itu cuma cari keuntungan dan bikin anak kita jadi tumbal? Aku bakal jadi orang pertama yang pasang badan buat Rayven.”

Damian menghela napas berat untuk kesekian kalinya. “Kita gak tahu apa pun soal anak itu, Mar.”

“Makanya,” ucap Amara cepat, “besok pas kita ke rumahnya, aku mau lihat sendiri. Aku mau tahu siapa orang tuanya, dari keluarga mana, kayak apa lingkungan mereka. Aku gak mau anak kita dijebak orang yang bahkan kita gak kenal.”

Damian mengangkat pandangan, menatap istrinya yang kini berdiri tegak — aura protektifnya sangat jelas. “Mah, ini bukan perang.”

“Bukan perang?” Amara mendengus kecil. “Kalau menyangkut anak aku, ini bisa jadi perang.”

Damian hanya terdiam. Ia tahu betul Amara kalau sudah seperti ini, sulit dilunakkan. Wanita itu sangat menyayangi anak-anaknya dan tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti mereka. Tapi Damian juga tahu… ada kemungkinan besar Rayven memang benar-benar melakukan hal itu, bukan jebakan siapa pun.

“Kamu gak takut, Mah, kalau ternyata Rayven emang salah?” tanya Damian pelan.

Amara terpaku sejenak. Tatapan matanya meredup sedikit, tapi tidak benar-benar luntur. “Kalau memang Rayven salah, aku gak akan kabur dari kenyataan, Pah. Aku akan tetap jadi ibu yang berdiri di samping anaknya, bukan ninggalin dia sendirian.”

Damian mengangguk perlahan, mulai memahami arah pikiran istrinya. “Tapi itu bukan berarti kamu boleh langsung menyalahkan gadis itu.”

Amara menghela napas berat, lalu duduk kembali di sofa. “Aku gak menyalahkan… aku cuma gak percaya begitu aja.”

“Padahal Rayven sendiri yang bilang,” balas Damian datar.

“Anak kita terlalu baik, Pah,” jawab Amara cepat. “Kamu tahu sendiri, Rayven lebih sering nyalahin dirinya sendiri daripada nyalahin orang lain.”

Damian mengamati wajah istrinya yang kini tidak lagi penuh amarah seperti tadi. Nada bicaranya masih tajam, tapi lebih terkontrol. Ia sadar, Amara bukan sekadar marah — ia takut. Takut anaknya dipermainkan orang lain. Takut Rayven kehilangan masa depannya.

“Besok kita akan tahu kebenarannya,” kata Damian akhirnya. “Kita dengar langsung dari keluarga Alendra.”

Amara mengangguk, tapi sorot matanya masih menyimpan ketegangan. “Dan kalau benar cewek itu yang mulai semua ini…” ucapnya pelan namun tajam, “aku gak akan biarin dia injak-injak harga diri anak kita.”

Damian bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Amara lalu berdiri di depannya. “Mah, tolong satu hal. Besok kamu ikut, tapi jangan langsung menyerang siapa pun. Aku gak mau masalah ini makin rumit.”

Amara memutar matanya kecil tapi kemudian menarik napas dalam. “Iya… aku janji. Tapi aku gak janji bakal bisa ramah.”

Damian hanya bisa menggeleng kecil. “Itu sudah cukup bagus.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Keduanya tahu, besok bukan hari biasa. Besok akan jadi hari pertama mereka menghadapi kenyataan — kenyataan bahwa Rayven, anak mereka, terlibat dalam masalah besar yang akan mengubah banyak hal.

Dan di sisi lain, Amara menyimpan tekad bulat dalam hatinya. Jika Alendra benar-benar bersalah, atau bahkan hanya membuat Rayven terlihat seperti pelaku tunggal… maka gadis itu akan berhadapan langsung dengannya. Ia bukan hanya ibu rumah tangga biasa — ia adalah Amara, singa betina yang akan melindungi anaknya dengan segala cara.

1
Favmatcha_girl
bohong itu bu🤭
Favmatcha_girl
dari calon mantu bu
Favmatcha_girl
perhatian juga Abang yang satu ini
Favmatcha_girl
Semangat berjuang Rayven 💪
ilham gaming
nasehat papa Damian bagus
Favmatcha_girl
Lhaa baru kenalan
Favmatcha_girl
gak galak kamu ven
Favmatcha_girl
sama orang lahh
Favmatcha_girl
ketuanya aja kaget
Favmatcha_girl
bukan sakit tapi mulai jatuh cinta🤭
Favmatcha_girl
lagi bahagia dia Nay😌
Favmatcha_girl
Jauh sekali perumpamaan nua
Favmatcha_girl
untung aja gak kenapa-kenapa
Favmatcha_girl
hahh betul, aku dukung kamu
Favmatcha_girl
kayaknya enggak deh Ven, pikiran kamu aja
Favmatcha_girl
cie udah mulai jatuh cinta 🤭
Favmatcha_girl
yahhh zonk
Favmatcha_girl
jemput aja udah, kasihan kalau pakai sepeda mulu
Favmatcha_girl
jangan banyak-banyak pikiran Len😌
Favmatcha_girl
aminn
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!