Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Sore merambat lambat ke malam. Langit akademi diselimuti warna biru tua, dan cahaya lentera mulai menyala di sepanjang koridor asrama. Di ruang makan besar Akademi Tianxue, suara sendok dan sumpit beradu pelan dengan piring, diselingi bisik-bisik murid yang membentuk kelompok kecil di meja-meja panjang.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Yin Lian duduk di tengah-tengah mereka—mangkuk nasi di hadapannya, uap tipis mengepul naik dari sup yang nyaris tak disentuh. Ia makan pelan, tanpa banyak bicara. Matanya memandangi gerakan sendoknya sendiri, tapi pikirannya jauh—tersesat antara ingatan, latihan, dan bisikan samar yang kadang muncul saat malam menjemput.
“Hei, Yin Lian.”
Suara Qian Liang memecah keheningan kecil di sekitar meja. Anak itu bersandar ke arah Yin Lian, nadanya penasaran namun tak berniat menyudutkan.
“Kenapa kau gak pernah ikut kelas bareng kita akhir-akhir ini? Aku dengar kau selalu lari-lari di taman akademi. Kau dihukum ya?”
Beberapa pasang mata langsung tertuju pada Yin Lian.
Yin Lian mendongak perlahan. Pandangannya tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik sorotnya. Ia menelan nasi yang tersisa di mulutnya, lalu menjawab dengan suara datar.
“Tidak. Guru Xu memang melatihku sendiri, dengan cara yang berbeda dari guru lain.”
“Berarti benar ya? Kau jadi murid pribadi Xu Feiyan?” celetuk seorang gadis yang duduk tak jauh. “Astaga… kau serius?”
Yin Lian hanya mengangguk singkat. “Latihannya… keras. Tapi aku berkembang.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Bahkan saat aku merasa ditekan, ada hal dalam diriku yang ikut terbuka.”
Kalimat itu tak sepenuhnya ditujukan untuk mereka. Ia lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri—mengingat bagaimana tubuhnya mulai beradaptasi, bagaimana segel-segel tersembunyi dalam dirinya mulai retak, satu per satu, sejak ia mengaktifkan kekuatannya.
Ia ingat rasa hangat dari Selene.
Rasa sakit… dan kedamaian.
“Eh, jadi… kau sudah dapat spirit ring pertamamu?” tanya Qian Liang lagi, kini lebih antusias. “Katanya kau masuk ke Star Dou Forest bareng Xu Feiyan, ‘kan? Kau bunuh sendiri spirit beast-nya?”
Pertanyaan itu membuat tangan Yin Lian yang memegang sumpit sedikit kaku. Tapi sebelum ia bisa mengarang jawaban yang aman—
Langkah-langkah tenang menggema di lantai batu.
Xu Feiyan.
Seketika seluruh meja terdiam. Murid-murid yang tadi sibuk bertanya langsung menunduk, beberapa bahkan menarik tubuh menjauh sedikit. Kehadiran Xu Feiyan selalu seperti bayangan dingin yang menyusup tiba-tiba. Tenang, tapi tak pernah bisa diabaikan.
Ia berdiri di ujung meja, hanya menatap Yin Lian. Tak berkata apa-apa selama beberapa detik yang terasa sangat lama.
“Xiao Lian.”
Suara itu akhirnya terdengar—datar, tegas, dan tak menyisakan ruang untuk menolak.
“Temui aku setelah makan malam.”
Yin Lian menatapnya, lalu mengangguk ragu. “Baik… Guru Xu.”
Xu Feiyan tak menambahkan apapun. Ia hanya berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan suasana yang terasa beku meski ruangan masih ramai.
Yin Lian menunduk lagi ke mangkuknya yang sudah mulai dingin. Tangannya menggenggam sumpit, tapi ia tak lagi punya selera untuk makan.vvv
Biasanya, Xu Feiyan selalu memanggilnya pagi-pagi, di ruang pelatihan yang sunyi. Tapi malam ini—ia memanggil langsung, di depan teman-temannya. Mendadak. Sepi. Tegas.
Ada sesuatu yang akan dibicarakan. Sesuatu yang tidak bisa menunggu.
Dan entah mengapa, di dalam dadanya, ada rasa was-was yang perlahan menguat.
Malam belum terlalu larut, tapi hawa dingin sudah menyusup di lorong-lorong akademi. Cahaya obor di dinding memantul pada ubin batu, menggambarkan siluet tubuh kecil yang berjalan sendiri—berbelok, menjauh dari kerumunan asrama kelas satu.
Yin Lian tidak kembali ke kamarnya malam itu.
Ia melangkah dengan tenang menuju bangunan utama tempat kantor para instruktur berada, tepat seperti yang diperintahkan Xu Feiyan. Langkahnya ringan, tapi ada beban di dadanya yang tak bisa dijelaskan.
Sesampainya di depan pintu kayu yang sudah dikenalnya, ia mengetuk seperti biasa—tiga kali, pelan dan sopan—lalu memutar gagang pintu.
“Permisi…”
Suara lembutnya menyusup ke dalam ruangan.
Xu Feiyan seperti biasa duduk di balik meja besar yang dipenuhi buku-buku tebal dan kertas penelitian. Di balik rambut panjang yang diikat rapi, wajahnya terlihat tenang… tapi malam ini ada sesuatu yang berbeda. Sorot matanya sedikit redup, dan gerakan tangannya berhenti sejenak saat melihat Yin Lian masuk.
“Hm,” gumamnya pelan, sebelum menghela napas panjang.
Yin Lian melangkah mendekat, berdiri tegak di depan meja gurunya. “Guru Xu… ada apa memanggil saya malam-malam begini?”
Xu Feiyan tidak langsung menjawab.
Sebaliknya, ia mengeluarkan selembar kertas dari laci meja. Tanpa sepatah kata pun, ia mengulurkannya ke arah Yin Lian.
Anak itu ragu sejenak, lalu mengambilnya. Matanya menyapu cepat setiap baris tulisan di kertas itu. Namun semakin ia membaca, semakin matanya membelalak.
Tangannya sedikit gemetar.
“A-apa maksudnya ini…?” tanyanya. “Statusku… dicabut…?”
Xu Feiyan bersandar di kursinya, tangan terlipat di pangkuannya. Tatapannya tetap tajam, tapi ada kelembutan yang jarang muncul di wajahnya.
“Xiao Lian,” katanya pelan. “Kau telah berkembang lebih cepat dari yang aku perkirakan. Bahkan terlalu cepat.”
Yin Lian menggeleng. “Tapi… kenapa saya harus keluar dari akademi?”
“Karena tempat ini sudah tidak cukup lagi untukmu,” jawab Xu Feiyan. “Akademi Tianlong sangat bagus dalam teori, tapi terlalu lambat dalam latihan praktis. Martial soul-mu… membutuhkan lebih dari sekadar pelajaran di kelas.”
Ia berdiri, lalu berjalan ke jendela, memandang taman tempat Yin Lian biasa berlari setiap pagi dan sore.
“Jika kau terus tinggal di sini,” lanjutnya, “kau akan terjebak dalam sistem yang tidak sesuai dengan kekuatanmu. Itu akan membatasi potensimu.”
Yin Lian menunduk. Suara dalam hatinya gemetar, seolah sebuah pintu baru terbuka… tapi diiringi perpisahan.
“Lalu… aku harus ke mana…?”
Xu Feiyan menoleh pelan.
“Pulanglah ke desamu,” katanya. “Istirahat. Latih martial soul-mu sendiri. Coba berburu spirit beast untuk pertama kalinya tanpa bantuanku. Kau harus belajar merasakan batasanmu, dan menembusnya sendirian.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Saat kau menginjak usia dua belas tahun… pergilah ke Infernal Akademi.”
Yin Lian menatap Xu Feiyan, bingung. “Infernal… Akademi?”
“Tempat itu bukan untuk semua orang,” kata Xu Feiyan. “Tapi untuk…anak-anak monster.”
Dalam diam, Yin Lian menggenggam surat di tangannya erat-erat. Perasaannya campur aduk—antara kecewa, bingung, takut… dan entah kenapa, sedikit semangat.