Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Curiga yang Tak Pernah Tidur
Hari itu langit Jakarta mendung, seperti hati Paijo yang makin hari makin berat memendam rahasia.
Di atas meja makan apartemen Paijo yang kini jauh lebih rapi berkat sering dikunjungi Suzy, dua cangkir kopi panas mengepul. Suzy duduk di seberang, mengenakan hoodie longgar warna abu-abu, wajahnya bersih tanpa riasan, tapi tetap memikat di mata Paijo.
“Masakannya enak juga, Mas,” ujar Suzy setelah suapan terakhir spageti buatan Paijo.
“Saya cuma belajar dari YouTube, Mbak,” jawab Paijo sambil nyengir. “Kalau nggak enak, bisa protes ke Chef Google.”
Suzy tertawa. Tawanya seperti musik di telinga Paijo. Ringan. Tidak menghakimi. Dan itu yang membuat dada Paijo makin sesak.
Semakin hari, semakin sulit untuk jujur.
Karena bukan sekadar soal pekerjaan. Tapi soal hati yang sudah terlanjur jatuh.
Suzy meletakkan garpunya. “Mas Paijo…”
“Hm?”
“Aku boleh nanya sesuatu yang… agak pribadi?”
Paijo sedikit tegang. “Tanya aja, Mbak. Asal jangan tanya ukuran sepatu, saya malu.”
Suzy tertawa kecil, tapi sorot matanya serius.
“Mas sebenernya kerja apa sih?”
Pertanyaan itu meluncur lembut, tapi menghantam keras. Paijo terpaku. Otaknya langsung sibuk memilih jawaban—jawaban yang tidak jujur, tapi tidak sepenuhnya bohong. Ini bukan pertama kali Suzy bertanya mengenai pekerjaannya.
“Mbak kenapa tanya pekerjaan saya lagi? Mbak juga sudah tahu pekerjaan saya." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut si empunya Alvarez itu.
Suzy tampak berpikir. “Tapi kenapa aku merasa Mas itu kayak… punya dua sisi. Kadang Mas bisa serius banget, dewasa. Tapi kadang… ya kayak badut. Kocak banget.”
Paijo tertawa, menutupinya. “Saya ini fleksibel, Mbak. Multi-fungsi. Kalau dibikin brosur, bisa buat hiburan keluarga.”
Suzy ikut tertawa, tapi ada sisa ragu di matanya. Ia ingin percaya. Ia ingin percaya bahwa laki-laki ini baik-baik saja. Tapi instingnya berkata lain.
Malamnya, Paijo berdiri sendirian di balkon apartemennya. Suzy sudah pulang.
Angin malam membelai wajahnya, membawa suara bising Jakarta yang tidak pernah tidur. Tapi malam itu, suara-suara itu kalah bising dibanding isi kepalanya sendiri.
“Kalau dia tahu siapa saya sebenarnya…” gumamnya lirih.
Ia memejamkan mata. Yang terbayang bukan wajah klien-kliennya. Tapi tawa Suzy. Cara Suzy memanggilnya "Mas Paijo", bukan "Joe Gregorius", bukan juga "Alvarez".
Itu satu-satunya tempat di mana dia merasa menjadi dirinya sendiri.
Dan itu pula yang paling menakutkan—karena suatu saat, semuanya bisa hancur hanya karena satu kebenaran.
Suzy baru saja menyelesaikan kelas daring sore itu ketika ponselnya bergetar.
📲 Paijo
Mbak Suzy, saya masak ayam bakar madu. Katanya suka manis-manis, jadi saya coba ngeracik. Mau icip?
📲 Suzy membalas cepat.
Ayam madu atau kode manisnya Mas Paijo? 😏
📲 Paijo
Serius ini, Mbak. Saya udah make apron warna pink. Makin lembut hati saya nungguin Mbak datang. 😌
Suzy terkikik di depan laptopnya. Ia baru saja selesai mencatat materi teori sastra postmodern. Tanpa pikir panjang, ia menutup laptop dan langsung memesan ojek online ke apartemen Paijo.
Saat pintu apartemen dibuka, aroma madu dan kecap manis menyambut Suzy. Paijo berdiri di ambang pintu dengan wajah ceria dan apron bertuliskan: “Kiss the Chef”.
“Wah, Mas beneran pake apron pink?” Suzy nyengir geli.
“Ini warna keberuntungan saya. Kata orang, biar masakan lebih lembut dan cinta lebih cepat datang,” jawab Paijo sambil menyilakan masuk.
Mereka makan malam di balkon. Udara sore menjelang malam Jakarta memang lengket, tapi entah kenapa, jadi terasa lebih nyaman jika dinikmati berdua.
“Aku tuh heran,” kata Suzy sambil menyeruput es teh. “Mas Paijo bisa bikin aku nyaman banget. Padahal... ya baru beberapa kali ketemu.”
Paijo tersenyum, menatapnya sebentar lalu kembali ke piringnya.
“Kadang, Mbak… rasa nyaman itu nggak perlu lama. Kayak kursi favorit di kampus. Udah jelek, tapi tetap dicariin.”
Suzy tertawa, "Mas Paijo kuliah juga ya? Kapan lulusnya Mas?"
"Ah nggak mbak. Saya lulus sekolah aja rasanya udah kayak menang Olimpiade senengnya," jawab Paijo sambul menggaruk belakang telinganya.
“Mas Paijo itu orang paling absurd yang aku temui… tapi juga paling bikin hangat hati.”
“Makasih, Mbak. Absurd dan hangat. Saya tulis di bio TikTok nanti.”
Mereka tertawa lagi.
Setelah makan, mereka duduk menonton drama Korea. Suzy bersandar santai, kepala pelan-pelan bergeser ke bahu Paijo. Paijo menahan napas. Rasanya seperti kena spell.
“Mas Paijo…”
“Ya?”
“Kalau aku nanti cerita sesuatu tentang keluarga aku... Mas nggak akan kabur, kan?”
Paijo menoleh perlahan.
“Kalau Mbak juga nggak kabur pas tahu rahasia saya... saya janji, saya tetap di sini.”
Suzy diam, tersenyum pelan.
“Deal. Tapi bukan hari ini ya. Hari ini cuma pengin tenang.”
Paijo mengangguk. “Saya punya banyak waktu buat Mbak. Kapan pun siap, saya dengerin.”
Sore menjelang malam itu, kota Jakarta seolah mengantuk lebih cepat. Dan dalam diam, dua orang ini sedang diam-diam jatuh. Bukan sekadar suka. Tapi jatuh, pelan, dalam, dan... tanpa tahu bagaimana akhir ceritanya.
...****************...
Tak ada yang lebih menyesakkan daripada mencintai seseorang, tapi merasa tidak benar-benar mengenalnya.
Suzy tahu, sejak awal, Paijo bukan pria biasa.
Pertemuan pertama mereka di kafe SCBD memang terlihat kasual. Tapi dari cara Paijo bicara, dari caranya menghindar jika ditanya tentang masa lalu, Suzy merasakan ada yang tak tuntas. Sesuatu yang tersembunyi di balik senyum hangatnya.
Lalu, nama Joe Gregorius muncul.
Bukan Suzy yang menciptakan nama itu, seperti yang dikira orang-orang. Nama itu sudah melekat pada dunia modeling Paijo saat viralnya iklan kontrasepsi. Tapi ia tahu benar, nama itu hanyalah tameng. Nama panggung. Nama samaran untuk menutupi sosok asli lelaki itu yang dulu datang dengan sandal swallow dan ransel belel.
Namun… bukan itu yang membuatnya curiga.
Melainkan sebuah nama lain. Sebuah bisik-bisik dunia malam yang ia temui tanpa sengaja.
Suzy duduk di salah satu booth kampus, menunggu dosennya. Sambil membuka Twitter, ia melihat thread viral tentang “Alvarez, sang legenda malam Jakarta.” Nama itu muncul begitu sering. Banyak yang menyebutnya sebagai senjata rahasia dunia gigolo elite. Satu hal mencolok: ukurannya yang absurd, dan kode nama yang terus disebut-sebut—Alvarez 22.
Awalnya Suzy menertawakan. Apaan sih?
Namun, ada satu komentar netizen yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Gue gak nyangka, si Alvarez ternyata orangnya diem-diem gila. Kalau lo ketemu langsung, gak akan nyangka dia bisa jadi kayak gitu. Orangnya kayak... Paijo-Paijo kampung gitu, tapi begitu show time... Astaga naga.
Suzy terdiam. Ia membaca ulang kalimat itu.
“Kayak... Paijo-Paijo kampung gitu.”
Namanya memang umum. Tapi hatinya langsung tak enak. Bukan karena nama "Paijo", tapi karena deskripsi itu sangat tepat.
Terlalu tepat.
Lalu ia teringat sesuatu.
Satu malam, setelah mereka nonton drama Korea di apartemen Paijo, tubuh Paijo secara tak sengaja jatuh ke arahnya. Saat itu, tubuh mereka bersentuhan. Lalu… Suzy tahu. Ia merasakan sesuatu.
Dan sejak malam itu, Suzy tak pernah bisa melupakan sensasi aneh yang ia rasakan: antara malu, terkejut, dan... penasaran.
Namun ia tidak berani bertanya.
Dia tidak tahu bagaimana caranya bertanya kepada pria yang ia sukai:
“Apakah kamu adalah gigolo legendaris yang dijuluki Alvarez 22 itu?”
Absurd.
Memalukan.
Dan menyakitkan... jika benar.
Beberapa hal memang terasa aneh selama ini.
Paijo yang selalu menghindar jika ditanya tentang uang.
Paijo yang tak pernah mau cerita bagaimana dia bisa punya apartemen.
Paijo yang kadang terlihat letih tapi berusaha tetap tersenyum.
Dan yang paling penting…
Paijo yang selalu memanggilnya “Mbak Suzy”, bahkan saat dia memohon sesuatu.
Lelaki macam apa yang masih menjaga jarak seperti itu? Lelaki yang sedang berbohong, itulah jawabannya.
Namun, Suzy tidak ingin menghakimi.
Karena di balik semua curiga dan misteri itu, ada satu hal yang tak berubah:
Cara Paijo menatapnya.
Bukan sebagai klien. Bukan sebagai pemuja. Tapi sebagai seseorang yang… ingin menebus dirinya sendiri.
Dan itulah kenapa Suzy masih bertahan.
Masih menunggu.
Masih berharap.
Bahwa suatu hari nanti… saat Paijo akhirnya berani bicara jujur, ia akan tetap berada di sana—menjadi tempat pulang yang tak lagi diselimuti rahasia.
Namun semua itu hanyalah sebatas kecurigaan dirinya pada pria yang selalu memanggil dirinya Mbak Suzy.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️