Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU RANGSAM, PRAJURIT BINTARA 6
“minggir semuanya!!!!”, teriak Rangsam yang tiba-tiba muncul dengan membawa gembolan dari dalam barak. seketika mereka memberikan jalan untuk Rangsam, dengan sigap Rangsam meluruskan kaki Lodra, lalu membebat paha Lodra dengan kuat.
“pisau!!, beri aku pisau!!! , cepat!!!”, teriak Rangsam, mereka masih terbengong, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Rangsam.
“Hey.., jangan bengong saja, cepat ambilkan aku pisau!!!”, teriak Rangsam kepada kapitan Keker. dengan panik kapitan keker menuruti perintah Rangsam, kapitan Keker lari hingga beberapa kali terjatuh menuju arah kapitan Uzglu yang sedari tadi memperhatikan dengan tenang dan dingin. belum sampai kapitan Keker mendekati kapitan Uzglu, kapitan Uzglu langsung melempar pisaunya ke arah Rangsam, dengan cepat Rangsam menangkap pisau dari kapitan Uzglu. tanpa melihat ke kanan dan ke kiri lagi, Rangsam langsung melukai kulit betis Lodra, lalu memasukkan besi kecil panjang, kemudian Rangsam menyedot darah Lodra dari besi tersebut. keluarlah darah merah kehitaman yang kental, Rangsam terus Mengurut-urut betis Lodra, berharap darah keluar dengan lancar, kemudian Rangsam meraih pisau kapitan Uzglu tadi, lalu melemparkannya ke arah manggar buah kelapa. Alhasil tiga buah kelapa jatuh, dengan sigap ia membuka tiga kelapa tersebut dan meminumkannya ke Lodra. Setelah mengeluarkan darah dan meminumkan air kelapa, Rangsam mengeluarkan ramuan dari dalam gembolan, membubuhkannya ke luka Lodra, lalu membalutnya.
“pasukan!!, cepat bawa Lodra ke barak, siapkan tempat untuk istirahat”, Perintah Rangsam kepada beberapa prajurit.
“Baiklah, kami akan siapkan”.
Kejadian itu begitu cepat, sampai-sampai beberapa kapitan tertegun, kapitan Keker masih duduk di atas pasir, sedangkan kapitan Uzglu meninggalkan tempat dengan tenang dan dingin. Rangsam begitu sigap, seolah menjadi sosok yang berbeda. dari awal kapitan Keker melihat Rangsam seperti pemuda yang bodoh, yang Cuma bisa cengengesan dan menyombongkan diri. sekarang pandangannya berbeda tentang Rangsam. Kapitan Oerip yang sedari tadi berada di samping Rangsam, merasakan ada aura yang luar biasa keluar dari tubuh pemuda ini, aura yang sama ketika ia sedang menghadap Sultan. dalam hati kapitan Oerip bertanya-tanya, siapa sebenarnya bocah ini.
“Hey prajurit muda, sebenarnya apa yang terjadi pada temanmu Lodra?”. tanya kapitan Oerip kepada Rangsam yang masih terduduk sila di atas pasir, sambil menepuk pundak Rangsam.
“ Dia terkena sengatan ikan pari”, jawab Rangsam.
“yang kau lakukan tadi hebat, aku bangga padamu”.
“trimakasih kapitan, aku hanya melakukan sebisaku”.
“yang kau lakukan tadi adalah menyelamatkan nyawa, kau patut diberi penghargaan”.
“trimakasih atas pujian kapitan, yang aku lakukan adalah sudah semestinya sebagai sesama abdi Kesultanan, tidak berlebihan”.
“siapa kau sebenarnya, sehingga dapat mengusai ilmu pengobatan sebaik ini, apakah kau seorang tabib di tempat asalmu?”.
“aku Rangsam bin wiya, aku hanya seorang nelayan dan petani biasa, aku belajar pengobatan dari seorang ulama di desaku, di Sangkapura”.
“ouh begitu ya, siapa nama ulama itu, dan siapa nama lengkap ayahmu?”.
“haruskah aku menjawabnya?”.
“aku perlu mengetahui latar belakang setiap prajurit, apakah kau keberatan?”.
“sedikit keberatan, tapi apa boleh buat, aku prajurit sekarang”.
“sekarang tidak ada alasan untuk tidak menjawab, aku ingin mendengar jawabanmu sekarang”.
“sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya kepadamu, tuan kapitan”.
“silakan, dengan senang hati aku akan menjawabnya”.
“soal jeruk yang menghilang tadi, apakah itu perbuatan anda?”.
“hmmmmm, soal jeruk tadi ya, apakah aku perlu menjawabnya?”.
“hamba rasa perlu, karena tuanku adalah pemimpin hamba, dan hamba perlu adanya penjelasan”.
“rupanya kau adalah pemuda yang cerdas, Rangsam bin wiya. ya benar, menghilangnya jeruk tadi adalah perbuatanku, dan aku meminta maaf atas hal itu”.
“bisakah aku belajar kepadamu, bisakah tuanku mengajarinya?”, tiba-tiba wajah Rangsam berubah menjadi bersemangat.
“hey prajurit muda, kau belum menjawab pertanyaanku”.
“oh iya, hehehehe, maaf tuanku, aku belajar banyak hal dari seorang ulama bernama syech Abdul Karim, bliau adalah ulama dari Minangkabau, sedangkan ayahku, wiyakrakusuma dari terung”.
“apakah ayahmu pernah bercerita tentang kerajaan terdahulu ?”.
“aku tidak mengerti apa yang tuan katakan”.
“ah, sudahlah, lupakan saja, mungkin aku salah orang”.
“ya mungkin saja tuanku, lantas, kapan hamba diajari ilmu memindahkan jeruk seperti tadi tuanku?”.
“mmmm, begini saja, kau ajari aku ilmu ketabiban, aku akan mengajarimu ilmu keghaiban, bagaimana? Setuju?”.
“Baiklah tuan, aku setuju”.
Tiba-tiba kapitan Keker datang memotong pembicaraan mereka, “Wah.. Wah.. Sepertinya ada yang baru saja berikrar menjadi guru dan murid”.
“apakah tuanku kapitan Keker juga berminat?, aku bisa ajari, tapi ajari aku juga beberapa ilmu, bagaimana tuan?”, jawab Rangsam yang seolah polos kepada kapitan Keker.
“tidak, trimakasih, aku tidak berminat ilmu ketabiban, kalau kau ingin belajar ilmu kanuraganku, aku akan memberikannya Cuma-Cuma kepadamu dan prajurit lainnya, asalkan kau disiplin saja mengikuti pelatihanku. sudahlah, aku masih terguncang soal kejadian tadi, aku ingin istirahat dulu, latihan hari ini, ditunda”.
***