Mereka mengatakan dia terlahir sial, meski kaya. Dia secara tidak langsung menyebabkan kematian kakak perempuannya dan tunangannya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berani menikahinya. Mempersiapkan kematiannya yang semakin dekat, ia menjadi istrinya untuk biaya pengobatan salah satu anggota keluarga. Mula-mula dia pikir dia harus mengurusnya setelah menikah. Namun tanpa diduga, dia membanjirinya dengan cinta dan pemujaan yang luar biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Sebenarnya, semua orang bisa melihat bahwa kepala pelayan telah menggunakan kekuatan besar untuk mencambuk Freya dengan sangat cepat. Dia pasti sedang menjalankan perintah dari orang lain.
Perkataan Luca membuat kepala pelayan itu berhenti.
Namun, setelah beberapa saat, dia kembali mengambil cambuk dengan patuh. "Saya menaati Patriark Moretti."
Sylvia memutar matanya. "Kita sedang memberikan hukuman fisik pada perempuan yang tidak menaati etika yang seharusnya dipatuhi oleh seorang wanita. Apa pantas orang yang tak punya orang tua dan tak punya pendidikan malah maju dan mengoceh sesukanya?”
Luca biasanya tak pernah berkata apa pun dalam situasi seperti ini di keluarga Moretti. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia bersuara. Hal itu jelas membuat Sylvia kesal.
"Kalian sedang memukuli istriku. Tentu saja aku harus bicara." Luca menjawab, dan suaranya tetap tenang.
Freya menyadari bahwa apa yang dikatakan suaminya memang benar. Di keluarga ini, dia tidak memiliki status maupun harga diri, sampai-sampai tak seorang pun memperhatikan ucapannya.
“Kau menikahi wanita semacam itu dan sekarang malah menuntut bulan jatuh ke pangkuanmu!”
Sylvia mendengus, mengalihkan pandangannya dan menatap Patriark Moretti. "Ayah, kurasa Freya tidak akan mengingat kesalahannya kalau kita tidak memukulnya."
"Tapi karena dia adalah menantu keluarga kita, kita juga tidak boleh melewati batas, jadi jika dia bersedia mengakui kesalahannya, kita tidak akan menghukumnya. Benar, kan?"
Sekilas seolah Sylvia memberi Freya jalan keluar, tapi sebenarnya dia tahu bahwa gadis itu tidak akan mungkin mengaku salah karena sikap keras kepalanya.
Barulah kemudian Patriark Moretti menundukkan kepala dan menatap Freya. "Kamu mengakui bahwa kamu salah?"
"Tidak." Freya menegakkan punggungnya. "Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, mengapa aku harus mengakuinya..."
Patriark Moretti mengibaskan tangannya dengan kesal.
Plak!
Kepala pelayan mencambuknya lagi.
“Sekarang kau mengaku salah?”
“Aku tidak salah!”
Plak!
“Masih belum mau mengaku?”
“Aku tidak mengaku!”
Plak!
Kepala pelayan mencambuk dengan kekuatan penuh.
Freya yang berlutut di atas permadani doa itu merasakan sakit yang luar biasa hingga tak sanggup lagi menegakkan punggung. Meski begitu, dia tetap menggertakkan gigi dan bersiap menerima cambukan berikutnya.
Namun, dia terkejut ketika mendengar suara cambukan, tapi tidak merasakan sakit.
"LUCA!"
Tiba-tiba, Freya mendengar teriakan kaget dari Patriark Moretti di belakangnya.
Freya segera menoleh dan melihat bahwa Luca, entah sejak kapan, sudah turun dari kursi rodanya dan memeluk tubuhnya dari belakang, menahan cambukan itu dengan tubuhnya sendiri.
Kemeja putihnya ternoda darah dan wajah tampannya menjadi semakin pucat.
"Siapa yang menyuruhmu memukul dia?!" Freya mengepalkan kedua tinjunya, membentak kepala pelayan.
"Apa kamu buta?! Jelas-jelas itu bukan aku! Bagaimana kamu bisa terus mencambuk?! Apa kamu tidak tahu tubuhnya sedang tidak sehat?!"
Kepala pelayan itu sama sekali tak menyangka Luca akan maju untuk menahan cambukan demi melindungi Freya. Lebih tak disangka lagi, Freya sampai membentaknya demi membela Luca. Padahal saat dirinya sendiri dicambuk berkali-kali, dia tidak berkata sepatah kata pun.
Namun, Luca baru menerima satu cambukan dan Freya sudah berteriak sekencang itu untuknya.
"Aku tidak apa-apa." Luca menatap Freya dengan lemah. "Aku hanya... sedikit pusing."
"Bawa dia ke rumah sakit!” Melihat cucunya kena cambuk, Patriark Moretti akhirnya panik dan memerintahkan dengan tegas sambil melotot ke kepala pelayan.
"Kamu, terima sendiri hukumanmu!"
Kepala pelayan yang bertanggung jawab atas cambukan itu hanya bisa menerima nasib buruknya, meletakkan cambuk, dan mundur.
Tak lama kemudian, para pelayan dari kediaman lama datang untuk membawa Luca ke rumah sakit.
“Jangan sentuh dia!” Freya menghentikan mereka yang hendak membantu. Dia menyanggah Luca sendiri dan membantunya duduk kembali di kursi roda. "Dia suamiku. Aku yang akan merawatnya!"
Setelah mengatakan itu, dia mendorong Luca keluar dari aula leluhur.
Berdiri di tengah ruangan, Patriark Moretti menatap punggung Freya yang perlahan menjauh sambil mendorong Luca. Di punggung gadis itu terlihat beberapa luka merah menyala. Sesuatu tampak berkilat di mata Patriark… entah kepuasan atau ketertarikan.
"Lihat kekacauan ini."
Meskipun Luca adalah anggota paling tak diperhatikan di keluarga Moretti, tapi dia tetaplah darah daging mereka. Dan Sylvia sangat memahami hal itu.
Dia tersenyum canggung.
"Tak kusangka Luca begitu mencintai Freya. Sampai-sampai menahan cambuk itu sendiri…”
"Cukup. Jangan berpura-pura menangis di sini."
Patriark Moretti memutar matanya ke arah Sylvia. "Aku sudah memberikan pelajaran kepada Freya. Masalah ini selesai sampai di sini. Tak seorang pun boleh membicarakannya lagi!”
Saat mengucapkan itu, dia menatap tajam ke arah Brandon. "Kenapa kamu pergi ke universitas Freya tanpa alasan?"
Brandon, yang sedari tadi menikmati kesialan orang lain, tentu saja tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan yang tiba-tiba itu. "Aku... aku..."
"Kau kira aku tak tahu niatmu? Apa kau pikir dirimu tak bersalah hari ini?”
Wajah Brandon langsung pucat.
"Jangan coba-coba melakukan trik kecil seperti itu lagi di masa depan, kalau tidak, kau tidak akan mendapatkan sepeser pun dari warisanku!"
Di rumah sakit.
Baru ketika dia melihat perawat mengoleskan obat ke luka Luca, Freya menghela napas panjang lega. "Dia tidak akan merasa sakit lagi sekarang, kan?"
Perawat itu mengangguk. "Obat penghilang rasa sakit ini sangat ampuh.”
Perawat lain menunduk dan melihat punggung Freya. "Nyonya, bagaimana kalau saya bantu merawat luka Anda juga?"
Lukanya jelas jauh lebih parah daripada luka suaminya.
Baru setelah mendengarnya, Freya merasa sakit yang membakar di punggungnya.
Dia berbaring di tempat tidur dan perawat itu memotong pakaiannya dengan hati-hati, mendisinfeksi kulit dan daging yang terbelah, lalu merawat lukanya. Rasa sakitnya begitu luar biasa sampai Freya dipenuhi oleh keringat dingin dan akhirnya pingsan karena tak mampu menahan sakit.
Duduk di tempat tidur rumah sakit di sampingnya, Luca menatap istrinya. Hatinya terasa nyeri.
"Berapa lama luka-lukanya akan sembuh?"
"Setidaknya satu minggu. Dia kelihatan lembut, tapi ternyata bisa menahan sakit. Biasanya, wanita akan cepat pingsan karena sakit seperti ini, tapi dia benar-benar bisa bertahan cukup lama."
Luca menghela napas pelan. "Baiklah."
Dia memang wanita yang luar biasa.
Tindakan kakeknya sangat jelas. Jika dia mau mengaku salah dan memohon ampun, insiden itu akan berakhir. Namun, dia lebih memilih menanggung rasa sakit fisik itu daripada mengaku salah dan memohon.
Sebagai seseorang yang telah berpura-pura sakit selama lebih dari sepuluh tahun, Luca benar-benar tak mengerti kenekatan semacam itu.
Freya benar-benar mengejutkannya.
Setelah perawatan selesai dan dipastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Luca memerintahkan John untuk mengurus proses rawat inap.
Luka di punggung Freya sangat parah. Dia tidak ingin membuat Freya lebih menderita dengan memaksanya pulang ke rumah.
"Aku tidak salah."
Freya belum sadar di ruang perawatan, tapi dalam tidurnya, dia terus mengulang kata-kata itu dengan keras kepala, seperti sebelumnya.
Hati Luca terasa nyeri melihatnya seperti itu.
Dia merenung sejenak, lalu turun dari ranjang dan naik ke tempat tidur Freya. Ia memeluknya dengan hati-hati. "Kamu tidak salah."
"Hanya saja suamimu belum bisa menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya."
Memeluk wanita itu dalam pelukannya, dia memejamkan mata dalam diam.
Sejak kakak perempuannya meninggal dalam kebakaran saat dia berusia tiga belas tahun, Luca bertekad bahwa satu-satunya cara untuk mengumpulkan kekuatan dan membalas dendam pada pembunuh orang tuanya adalah dengan berpura-pura lemah.
Karena itu, selama bertahun-tahun, dia selalu memainkan peran sebagai orang yang dingin dan lemah secara sempurna.
Luca telah hidup dalam penyamaran begitu lama. Tapi ini adalah pertama kalinya dia tidak ingin melakukan itu lagi. Melihat Freya dicambuk, dia ingin berhenti berpura-pura dan berhenti menahan segalanya.
"Aku tidak mengaku..." Wanita dalam pelukannya bergetar sedikit.
"Kau tak perlu mengaku.” Menarik napas dalam, Luca menundukkan kepala dan mencium wangi rambutnya. "Aku tak akan membiarkanmu menunggu lama. Kelak, semua orang yang menyakitimu hari ini akan berlutut di hadapanmu… satu per satu… dan meminta maaf.”