Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
“Dia tidak akan bertahan sampai 24 jam ke depan. Shin, kau harus menemui seorang tabib ahli racun di desa Matar,” ujar paman Jim.
Pria itu setelah mendengar kabar tentang Aimee yang terkena racun.
“Di mana itu, paman Jim?”
“Tidak terlalu jauh dari sini. Hanya saja, kau harus melewati hutan lebat dan jurang yang dalam. Tempatnya sangat dalam dan jauh dari pemukiman. Itu adalah desa dengan penduduk yang terisolasi dan menghindari pemukiman. Aku punya peta yang bisa menunjukkan jalan ke sana. pergilah. Ia akan memberikanmu penawarnya.”
Shinkai melesat pergi, tanpa berpikir lebih jauh dan meninggalkan bu Dyn dan Neptune yang masih menangis tersedu-sedu.
Di tengah perjalanan, Shinkai terus fokus ke arah peta dengan banyak cabang itu. Ia membayangkan desa itu dihuni oleh para penduduk primitif.
Jalan demi jalan dilalui. Sampai pada akhirnya ia tiba di depan hutan sesuai dengan yang ada di peta. Akan tetapi, seharusnya jurang yang dimaksud terlihat dari sana sebelum sampai ke hutan yang lebih dalam. Namun ia berpikir bahwa jurang itu tertutup semak-semak.
Puluhan meter ke dalam hutan. Ia tidak jua menemukan jurang Shinkai berpikir bahwa peta itu memang sengaja menggambarkannya jauh lebih dekat dibanding aslinya.
Jam-jam berlalu. Shinkai merasakan sesuatu yang tidak beres. Insting tajamnya bereaksi.
WUSHHH.
Sebuah serangan meluncur. Meleset. Shinkai mampu menghindarinya. Siaga penuh. Ia menatap sekitar dengan waspada. Dengan persediaan senjata yang ia siapkan. Didapatkan dari musuh tempo malam. Deru napas Shinkai terdengar berat.
Suara banyak langkah terdengar berlari. Tampak belasan orang dengan pakaian yang terbuat dari dedaunan muncul. Mereka merangsek maju dan menyerang Shinkai dengan tombak tajam yang masing-masing mereka bawa.
Sebuah pedang tajam ditarik Shinkai dari belakang.
“Aku datang untuk menemui tabib ahli racun!” seru Shinkai sambil menangkis serangan.
Orang-orang dengan pakaian aneh itu tetap menyerang dan tidak mendengar ucapan Shinkai.
“Hei, aku datang dengan damai!” ulangnya.
ZING ZING ZING!
Shinkai mengayunkan pedang untuk melindungi diri. Tidak ada maksud untuk melukai orang-orang yang diyakini sebagai penduduk desa Matar.
“Sial, mereka tidak mengerti apa yang aku ucapkan?” gumam Shinkai.
Lama-kelamaan, Shinkai kewalahan menahan serangan dari belasan orang itu. Sehingga, ia mulai mengaktifkan mode serangan balasan.
ZING ZING ZING!
Ayunan pedang yang indah dari Shinkai. Akurat dan melumpuhkan. Tiga penyerang berhasil dikalahkan.
“Kalau begini terus, aku tidak akan bisa menemui tabib itu. Jurangnya saja belum aku temukan.”
Hari kian redup. Bayang wajah Aimee menggeluti. Ia teringat akan kakek Haru. kini ia harus menyaksikan Aimee yang menjadi korban selanjutnya. Tidak. Tidak ada yang boleh mati lagi. Shinkai akan melindungi semuanya.
Dengan kesungguhan hati dan ketenangan, Shinkai berhasil melumpuhkan semua penyerang.
“Di mana tabib ahli racun itu?” Shinkai bertanya pada salah satunya.
Orang itu tidak menjawab. Ia hanya meringis karena rasa sakit dari luka yang disebabkan pedang Shinkai.
“Hei, kalian. Aku mencari tabib ahlli racun. Di mana dia? Kalian mengerti apa yang aku ucapkan?”
Lengang. Tidak ada yang menjawab.
Shinkai menarik napas dan mengangkat pedangnya pada salah satu dari mereka, “Jawab atau aku akan memenggal kepala teman kalian. Aku dengar bahwa suku pedalaman itu sangat setia dengan rekannya.”
Bayangan hal terburuk yang kemungkinan besar menimpa Aimee membuat Shinkai naik darah. Bukan tak ingin melanjutkan perjalanan, tapi ia sadar bahwa kemungkinan besar bahwa jurang yang dimaksud memang tidak ada di depan sana. Entah di tempat lain, atau peta itu salah.
“Waktu kalian habis. Aku akan memenggal kepala orang ini,” seru Shinkai dengan mempererat genggaman pedang.
Perlahan, Shinkai hendak mengayunkannya sambil tersenyum miring pada orang-orang itu. Hanya untuk memastikan ekspresi ketakutan dari mereka. Namun, ternyata tidak ada yang seperti hendak menghentikan gerakan Shinkai.
Sesaat, ia memperhatikan tombak yang ada di dekatnya. Ia menyadari sesuatu. Benar. Itu tidak salah lagi.
“AIMEE!”
Tiba-tiba puluhan tombak melayang. Shinkai langsung melompat ke salah satu pohon paling besar sambil menggunakan pedang untuk menangkis. Pemandangan menyeramkan ia lihat. Beberapa orang yang dikalahkannya terkena tusukan tombak. Sama sekali tidak ada kesetiakawanan.
“Aku kembali menemuimu, Shinkai!” seru seseorang berbadan tinggi yang muncul menggunakan pakaian dari dedaunan. Sai.
Entah bagaimana alurnya, namun Shinkai meyakini bahwa paman Jim adalah bagian dari semua ini. Lantas, bagaimana dengan nasib Aimee, bu Dyn dan Neptune yang diserahkan kepada orang licik itu?
“Sudah kudugaa kau masih tajam seperti dulu. Bahkan mungkin sekarang kau adalah monster,” lanjut Sai.
Shinkai masih berada di balik pepohonan. Sembari memikirkan cara untuk melarikan diri.
“Jalan untuk melarikan diri sudah ditutup, Shinkai. Tak ada lagi yang bisa kau lakukan. Bertarung sampai mati atau serahkan dirimu untuk kubunuh.”
Sai muncul di hadapan Shinkai. Sontak pemuda itu menangis serangan Sai dengan pedangnya. Sai menggunakan senjata yang sama dengan Shinkai. Lebih tepatnya senjata milik sekutu Sai diambil oleh Shinkai.
ZING ZING ZING!
Serangan membabi-buta dikerahkan Sai seperti orang kesetanan. Ia seperti orang yang sudah lama ingin menunjukkan kekuatannya yang terkurung.
SRETTT.
Lengan Shinkai terkena sebetan luka cukup dalam.
SRETTT.
Dalam hitungan detik, lukanya bertambah di bagian paha. Shinkai meringis menahan perih.
Serangan membabi-buta selanjutnya. Shinkai merunduk dan menyandungkan kaki Sai hingga pria itu kehilangan keseimbangan. Itu menjadi kesempatan bagi Shinkai untuk melancarkan serangan balasan.
ZING!
Sebuah seni luka menganga pada betis Sai.
“Impas. Kau dan aku sekarang pincang,” ujar Shinkai.
Sambil bertarung, Shinkai memperhatikan sekeliling. Untuk berjaga-jaga jika orang-orang itu tiba-tiba turut menyerangnya. Namun sejauh ini, Sai memang sengaja ingin menikmati pertarungan satu lawan satu dengan Shinkai.
Atmosfer pertarungan memanas di tengah hari yang mulai sejuk karena beberapa saat lagi matahari terbenam.
“Ada apa, Shinkai? Dari tadi melihat sekitar terus. Sudah kubilang bahwa jalan keluar sudah tertutup untukmu. Kau harus bertahan sampai kami semua mati. Barulah kau bisa keluar hidup-hidup,” ucap Sai.
“Cih, raksasa jelek. Diam saja, kau!” balas Shinkai.
Tubuh Shinkai terlempar hingga menghantam batang pohon besar.
Mulutnya memuntahkan darah. Energinya terkuras banyak. Pengalaman memang tak dapat dibohongi. Sai unggul jauh akan hal itu.
Sepertinya ada sekitar 30-an orang di sana yang menonton. Dengan beberapa orang yang berpostur seperti Sai. Tak menutup kemungkinan jika orang itu memiliki kemampuan sama layaknya Sai. Tinggi, besar dan bertenaga baja.
“Bangunlah, ayo. Semangat untuk bertahan hidup,” ujar Sai, meremehkan.
Shinkai meludah untuk mengeluarkan darah dari mulutnya. Bersama paha yang terasa perih. Ia berusaha untuk berdiri tegak. Lantas, tersenyum tegas.
“Aku masih bisa melawanmu, pria menuju tua sialan!”
WUSHHH.
Shinkai melesat untuk melancarkan serangan balasan. Wajah membiru Aimee tidak bisa lepas dari pikirannya.
Sai hendak menangkis serangan, namun Shinkai menghindar dengan kecepatan kilat. Lalu dalam sekejap melancarkan serangan kejutan ke arah wajah Sai. Pipi pria itu terkena sebetan pedang. Namun tidak dalam karena ia segera menepis serangan. Lanjut, Shinkai menyandung kaki Sai lagi dan mengarahkan pedang pada kaki Sai yang satunya. Tak sampai di sana, Shinkai hendak menebas leher Sai. Namun ia mengayunkannya dengan ragu hingga Sai mampu menangkis dan membuat Shinkai beberapa langkah menjauh darinya.
“Aku sudah puas dan muak. Kalian semua, serang dan bunuh pemuda ini!” seru Sai pada para pasukannya.