Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Ada Rasa Manis-manisnya
Mobil hitam mewah melaju pelan di jalanan yang mulai sepi. Di dalamnya, suasana terasa dingin meskipun AC menyala dengan suhu normal.
Clarissa duduk membisu, menatap kosong keluar jendela tanpa sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan restoran. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan yang tak kunjung reda.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi diam terus. Ada apa sebenarnya? Jangan bilang kamu cemburu lihat mantanmu sudah punya pacar baru?” tanya Davin sambil melirik kearah Clarissa.
Clarissa menghela napas, mencoba menahan amarah yang masih bergemuruh dalam dadanya. Ingin rasanya ia menceritakan apa yang terjadi di toilet tadi, bagaimana dirinya merasa direndahkan oleh gadis bernama Nayla. Tapi tidak, harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui kekalahan. Apalagi di depan Davin.
Sakit hatinya justru semakin menjadi saat membandingkan apa yang dia dapat selama menjadi kekasih Leon. Bertahun-tahun bersama, tak sekalipun dia mendapatkan apa yang seperti gadis itu dapatkan. Jangan kan tidur bersama, menyentuh tangan saja jarang, apalagi ciuman. Kini, seorang gadis yang tak jelas asal-usulnya bisa dengan mudah mendapatkan sentuhan Leon. Itu sangat menusuk harga dirinya.
“Sayang...” Davin kembali memecah keheningan. “Jadi benar, ya? Kamu cemburu?”
Clarissa menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke luar. Dengan nada angkuh, ia menjawab, “Cemburu? Tidak, aku tidak akan pernah cemburu pada gadis seperti itu. Jelas sekali dia bukan tandinganku.”
“Maksudmu?” tanya Davin, kini lebih tertarik.
“Entah dari mana dia berasal pun tidak ada yang tahu. Bisa jadi dia cuma gadis kampung yang kebetulan bekerja dekat dengan Leon. Tidak punya status, tidak punya nama besar, apalagi kekayaan.” suara Clarissa terdengar merendahkan.
Davin terkekeh pelan. “Kalau memang seperti itu, aneh juga ya. Leon sampai mengenalkannya sebagai kekasih. Jangan-jangan... selera Leon sudah jatuh karena kau meninggalkannya.”
Kata-kata itu membuat Clarissa tersenyum sinis. “Kau benar. Mana ada wanita sepertiku mau bertahan dengan pria cacat seperti Leon.” ucapnya tanpa empati sedikit pun.
Davin menyeringai puas. Ia perlahan memiringkan tubuhnya ke arah Clarissa, lalu mengecup pipi gadis itu sekilas. “Bisa jadi bukan cuma kakinya yang lumpuh... mungkin bagian lainnya juga.”
Clarissa tertawa merendahkan, tangannya terangkat melingkar di leher Davin.
“Itulah kenapa aku memilihmu, Sayang. Pria sepertimu tahu bagaimana memperlakukan wanita. Aku tidak mau buang-buang waktu lagi dengan seseorang yang bahkan tidak bisa menyentuhku.”
Davin membalas senyumannya. Matanya menyipit penuh ambisi. Ia tahu benar bahwa Clarissa bisa menjadi pion penting dalam rencananya menjatuhkan Leon. Dan dengan kebencian Clarissa yang kini membara, itu akan membuat segalanya lebih mudah.
“Kau memang wanita terbaikku, Clarissa.” ucap Davin pelan sambil menatap bibir Clarissa yang kini semakin mendekat ke arahnya.
---
Leon bangun pagi dengan senyum kecil mengembang di wajahnya. Ada rencana kecil yang ingin ia jalankan hari ini, mendiamkan Nayla. Ia penasaran, apa yang akan dilakukan gadis itu jika dirinya bersikap dingin.
“Sekali-sekali, aku ingin lihat reaksinya,” gumam Leon pelan, sambil menarik napas panjang dan mengatur posisi duduknya di ranjang.
Sementara itu, Nayla yang sudah rapi seperti biasa akan segera kekamar Leon. Tapi pagi ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ada rasa canggung yang Nayla rasakan. meskipun begitu Nayla tetap menjalankan tugasnya. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu.
“Tuan, Anda sudah bangun?” tanyanya pelan, sembari membuka pintu.
Leon hanya menoleh sebentar. “Aku mau mandi,” ucapnya singkat.
Nayla langsung menghampiri dan membantu Leon ke kursi rodanya. Ia mendorong Leon ke kamar mandi, lalu membantu menyiapkan semuanya seperti biasa. Tanpa sepatah kata pun dari Leon, tak seperti biasanya. Bahkan setelah mandi dan Nayla mengeringkan rambut serta memakaikan pakaian, Leon tetap diam.
Nayla melirik wajah pria itu lewat cermin. Wajahnya tetap datar, tanpa reaksi apapun. “Apa dia marah?” batinnya gelisah.
Sebenarnya, Leon menahan tawa. Melihat wajah Nayla yang canggung dan salah tingkah, membuat dirinya merasa terhibur. Tapi ia tetap memainkan perannya.
Saat sarapan, suasana tetap hening. Nayla duduk di sebelah Leon, berusaha bersikap tenang. Gaby yang ikut sarapan bersama mereka, menatap kedua anak muda itu dengan pandangan penasaran. Ia mengira mungkin mereka sedang memikirkan kata-katanya semalam.
Hari itu terasa berjalan sangat lambat bagi Nayla. Di ruang kerja, ia sesekali mencuri pandang ke arah Leon yang serius menatap dokumen di mejanya. "Kenapa Tuan Leon tidak bicara sama sekali hari ini?" pikirnya. "Apa masih marah soal semalam?"
Menjelang sore, saat sampai dikediaman Mahesa. Nayla langsung membawa Leon menuju kamar. Nayla dengan cekatan membantu Leon berganti pakaian. Dan mendorong Leon ke balkon kamar, itu adalah tempat favorit Leon Saat hari menjelang sore begini. Saat hendak pergi untuk membuatkan minuman, Nayla mencoba membuka percakapan.
“Tuan, saya ke dapur sebentar. Saya akan buatkan minuman untuk Anda,” ujarnya hati-hati.
Leon tetap diam.
Sesaat kemudian, Nayla kembali dengan segelas jus kesukaan Leon. Ia meletakkannya di meja kecil dekat balkon tempat Leon duduk, lalu ikut duduk di kursi di sampingnya.
“Tuan,” Nayla mencoba memanggil.
Leon tak menoleh, hanya menatap lurus ke depan.
“Tuan,” kali ini suara Nayla sedikit lebih pelan, tapi jelas terdengar.
Leon tetap tak menjawab. Nayla menunduk. Ia benar-benar merasa bersalah.
Akhirnya, Nayla memberanikan diri mendekat. “Tuan, saya minta maaf atas kejadian tadi malam... Saya juga nggak tahu kenapa tiba-tiba saya bersin,” ucapnya sungguh-sungguh.
Leon menarik napas panjang. Nayla langsung menunduk lebih dalam.
“Lupakan saja,” ucap Leon akhirnya. “Anggap saja kejadian itu nggak pernah terjadi.”
Nayla menatapnya penuh harap. “Apa Tuan sudah memaafkan saya?”
Leon hanya berdehem pelan.
Melihat reaksi itu, Nayla menduga Leon belum benar-benar memaafkannya. “Saya sungguh-sungguh minta maaf, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja...”
Leon memutar kepalanya sedikit. “Sudah, lupakan saja. Tapi... kalau aku ingin mengulang kejadian itu, kau tentu nggak mau, kan?”
“Hah?” Nayla sontak panik. Wajahnya memerah. “T-tapi… kalau saya mau… apa Tuan akan memaafkan saya?” tanyanya ragu.
Leon menatap Nayla tajam, tak percaya dengan yang baru saja didengarnya. “Kau... yakin?”
Dengan napas sedikit tertahan, Nayla mengangguk pelan.
Leon mengerutkan alis. “Kau nggak main-main?”
“Kalau saya melakukannya... Tuan nggak akan mendiamkan saya lagi, dan memaafkan saya?”
Leon, tanpa pikir panjang, langsung menjawab, “Tentu saja!”
Rasa bahagia langsung menjalar dihati Leon dan Leon tersenyum. Namun belum sempat senyum itu wujud Leon segera merubah raut wajah datarnya agar Nayla tidak sadar.
Tanpa banyak kata, Nayla mengangkat dua jarinya, menyentuh bibirnya sendiri dengan lembut, lalu memindahkannya ke bibir Leon.
“Anggap saja itu ciuman dari saya, Tuan,” ucap Nayla dengan wajah semerah tomat. Setelah itu, ia berdiri cepat dan langsung lari menuju kamarnya tanpa menoleh.
Leon hanya bisa terdiam. Jari-jarinya perlahan menyentuh bibirnya sendiri. “Apa ini juga disebut… ciuman?” gumamnya pelan.
Entah kenapa, jantungnya berdetak lebih cepat. Tanpa sadar, ia menjilat bibirnya sendiri.
“Kenapa ada rasa manis-manisnya ya…” kata Leon pelan, dan senyum geli akhirnya muncul di wajahnya.
tak ada gangguan apa pun
dan Segera bisa jln untuk mempelai pria nya
lanjut thor ceritanya
do tunggu up nya
lanjut bacanya
mungkin ini karena masih Leon yg dingin dan nayla polos dan pemalu,
up yg rutin thoor