bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
helena
Di balik pepohonan tinggi dan rimbun, markas itu berdiri tenang seolah dilahirkan dari hutan itu sendiri. Dinding-dinding kayunya berlumut, sebagian tertutup tanaman merambat berbunga liar yang tumbuh tanpa arah. Cahaya matahari menyusup di antara dedaunan, menimbulkan pantulan lembut pada atap tua yang tampak kokoh sekaligus menua oleh waktu. Udara lembap di sekitarnya dipenuhi aroma tanah basah dan bunga liar—bau yang bagi sebagian orang mungkin terasa damai.
Namun tidak bagi Renata. Tidak ada kedamaian sekali bagi renata. Hari ini mgkin akan jadi hari paling kelam baginya
Ia berdiri kaku, keringat dingin mengalir di pelipisnya, tangan gemetar memegang sisi bajunya. Setiap derit lantai kayu, setiap desir angin membuat dadanya makin sesak. Tempat ini... terasa salah. Terlalu sunyi, terlalu asing. Dan terlalu berbahaya.
Tiba-tiba—
“Dor!”
Suara tembakan menggema keras, memecah ketenangan semu. Sebuah semangka di ujung halaman hancur berantakan, isinya memercik ke tanah. Seorang pria muda berdiri gagah, memegang pistol dengan santai, seperti sedang bermain-main. Ia mengenakan rompi kulit hitam, kacamata gelap, dan aura kepercayaan diri yang menjengkelkan.
“Dor! Dor! Dor!”
Tiga tembakan berturut-turut. Tiga semangka pecah seketika.
Renata menjerit, “Aaaaaaahhhh!” Napasnya memburu, tubuhnya nyaris jatuh.
Dalam benaknya, semangka-semak itu berubah menjadi kepala dirinya sendiri. “Tuhan... apakah ini akhir dari perjalanan seorang Renata?” batinnya panik.
Tak jauh dari situ, Amira berdiri dengan ekspresi datar. Ia hanya menyipitkan mata dan bergumam, “Cih. Nembak semangka aja belagu.”
Pria itu menoleh. Ia melepas kacamatanya perlahan, meniup moncong pistolnya yang masih mengeluarkan asap. Senyum sinis muncul di wajahnya.
“Namaku Aston. Dan aku biasa menembak para pengkhianat seperti semangka tadi,” ucapnya tenang.
Amira menyeringai, “Apa hebatnya cuma semangka?”
Suasana langsung tegang. Anak buah Aston menoleh, menatap Amira dengan sorot tak percaya. Tak ada yang berani bicara seperti itu pada Aston.
Aston mendekat. “Katakan dari kelompok mana kamu, maka aku akan mempercepat kematianmu.”
Amira menyilangkan tangan. “Beraninya cuma ke dua wanita lemah. Sayang sekali, peluru pria sejati seharusnya bersarang di dada musuh kuat, bukan pada dua perempuan tak bersenjata.”
Aston menyipit. “Kamu orang pertama yang akan jadi sasaranku.”
Amira tertawa pelan. “Enak aja. Aku bukan semangka. Kalau kamu berani, ayo kita adu tembak!”
Markas itu seketika sunyi. Anak buah Aston bahkan menahan napas. Rio, salah satu bawahan, mencoba bicara, “Tuan, dia bisa membahayakan—”
“Kalau kamu bicara terus, aku jadikan kepala kamu sasaran tembakku.”Suara Aston dingin membunuh.
Semua terdiam.
Amira angkat dagu. “Kalau aku menang, aku bebas. Apa hadiahnya kalau aku kalah?”
“Siapa kamu, berani menawariku?” desis Aston.
“Pengecut,” balas Amira dingin. “Apa gunanya bertanding kalau nggak ada taruhan?”
Aston mengangguk pelan. “Oke. Kalau kamu menang, aku akan membebaskanmu. Tapi kalau kalah... aku sendiri yang akan menembak kepalamu.”
Amira tersenyum. “Deal. Aku pegang ucapan kamu.
Aston melangkah ke tengah lapangan tembak, senjatanya berkilat tertimpa cahaya pagi. Wajahnya santai, penuh percaya diri. Ia mengarahkan pistol ke papan sasaran di kejauhan.
"Tiga tembakan, ya. Perhatikan baik-baik, nona sok tangguh,"ucapnya sambil menyeringai.
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga peluru melesat cepat dan nyaris bersamaan menancap tepat di lingkaran tengah papan sasaran, nyaris saling menumpuk. Tepuk tangan kecil terdengar dari para penjaga di sekitar mereka.
Aston memutar tubuhnya dengan gaya sombong. “Sekarang giliranmu. Awas jangan sampai kena rumput,” ejeknya.
Amira maju perlahan. Ia menghela napas, menatap papan sasaran, lalu memicingkan mata. Tangannya gemetar sedikit, tapi sorot matanya dingin.
Dor!
Peluru pertama Amira mengenai tepat di peluru pertama milik Aston, membuat pecahan peluru beterbangan.
Dor!
Tembakan kedua menghantam peluru kedua Aston, membuat logam itu terbelah.
Dor!
Yang ketiga, nyaris tak terlihat pergerakannya, menyapu peluru terakhir Aston keluar dari tengah sasaran, meninggalkan bekas hangus yang lebih tajam dan bersih.
Hening. Semua mata terbelalak. Bahkan Aston terdiam, wajahnya mengeras. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
“Bagaimana? Masih merasa paling jago?”ucap Amira, menyeringai balik.
“Baiklah, kamu memang hebat... kamu bebas. Aku akan membebaskanmu,” ucap Aston sambil menepuk tangan pelan, senyum tipis di bibirnya.
Amira menoleh ke Renata dengan mata bersinar. “Yes, Mah! Kita bebas!”
Aston mulai berjalan menjauh. Namun, tiba-tiba ia berkata tanpa menoleh, “Rio. Tembak mereka.”
Tubuh Amira refleks hendak menerjang, namun laras senapan sudah menempel di keningnya. Ia mendesis marah. “Sialan! Dasar pengecut, ingkar janji!”
Aston berhenti, lalu berbalik perlahan. Senyumnya melebar menjadi seringai.
“Siapa bilang aku ingkar janji? Aku bilang akan membebaskanmu... dan sekarang aku sudah membebaskanmu, bukan?”
Amira menyipitkan mata. “Apa maksudmu menyuruh anak buahmu?”
“Hehe... Aku bilang akan membebaskanmu. Tapi aku nggak pernah bilang akan membebaskanmu dari anak buahku,” ucap Aston dengan nada licik.
“Dasar licik!” teriak Amira penuh amarah.
“Rio,” ucap Aston, memberi isyarat tegas.
Rio mengangkat senapan, membidik kepala Amira. Jari telunjuknya menekan pelatuk—namun sebelum peluru lepas, terdengar suara serak yang menggetarkan udara.
“Anak... ku...”
Semua terdiam. Seorang wanita di kursi roda muncul dari balik barikade.
“Cepat! Turunkan senjata kalian!!” pekik Aston panik.
Seluruh penjaga sontak menurunkan senapan mereka.
Aston berlari ke arah wanita itu, lututnya gemetar, lalu bersimpuh di hadapannya.
“Ibu... tolong... ucapkan lagi,” bisik Aston, suaranya nyaris patah, bergetar antara harapan dan ketakutan.
Wanita itu menatap lurus ke arah Amira. Bibir yang kaku selama puluhan tahun itu bergerak pelan. “Anakku...” suaranya lirih, namun jelas menusuk udara yang sempat membeku.
Tangannya terulur ke arah Amira, gemetar namun penuh kerinduan.
Aston memeluk lutut wanita itu, panik. “Aku anakmu, Mah! Aku ini Aston! Dia orang asing! Anak Mamah cuma aku dan Alicia... Dia bukan siapa-siapa!” suaranya meninggi, putus asa.
Tapi mata wanita itu tetap terpaku pada Amira, seperti tak mendengar kata-kata Aston. “Anakku...” gumamnya lagi, dan air mata menetes perlahan melewati pipinya yang pucat.
“Mamah... aku senang... akhirnya Mamah bicara. Setelah 27 tahun... Mamah akhirnya mengucap kata. Tapi kenapa—kenapa untuk orang lain?” isak Aston, memeluk lutut Helena dengan wajah basah oleh air mata.
“Anakku...” Helena kembali mengucapkan, suara yang sama, tatapan yang sama, kini disertai tangis tertahan.
Renata menatap wanita itu dengan sorot tajam, kemudian terhenyak. “Helena...” gumamnya lirih.
Semua mata, termasuk Aston yang berlinang, kini menoleh ke arah Renata.
Renata mendekat pelan. Napasnya tercekat.
Helena, masih dalam kursi rodanya, menatap Amira dalam-dalam. Jemarinya terulur lemah ke udara. “Anakku...” ucapnya sekali lagi, tangis mengalir deras, rindu 27 tahun tumpah hanya dalam satu kata.
Aston memalingkan wajahnya ke arah Renata. Tatapannya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan berubah menjadi senyum menyeringai.
“Rio, ambilkan ponselku,” perintahnya tajam.
Rio segera menyerahkan ponsel itu. Jari Aston lincah membuka galeri, lalu berhenti pada sebuah foto lama. Dahinya berkerut, senyumnya makin melebar.
“Kau... Renata. Menantu Viona.” Suaranya pelan tapi menusuk, seperti anak panah yang siap menghunjam.
“Rio!” teriaknya.
Rio tanpa menunggu perintah kedua langsung mengarahkan laras senjata ke kepala Renata.
Renata gemetar hebat, napasnya memburu.
Namun sebelum peluru sempat dilepas, Amira menerjang ke depan. Ia berlari ke arah Helena.
“Ibuuu! Aku anakmu, Ibu!” teriak Amira penuh emosi.
“Annnnnaaaakkkkuuuuuu…” Helena menangis, suara yang selama 27 tahun terkubur kini menggelegar. Air mata membanjiri pipinya.
Sosok yang dulu diam membatu, hidup bagai mayat yang bernapas, kini menangis seperti bocah kehilangan masa kecil.
“Hiks… hiks… Ibu… tolong… tolong selamatkan ibu mertuaku…” pinta Amira, memeluk lutut Helena dengan lirih.
Helena mengangkat tangannya perlahan. Seolah ada kekuatan tak terlihat, semua senjata langsung diturunkan. Para penjaga menunduk, membatu.
Helena membelai rambut Amira. Tangannya gemetar, namun penuh kasih. “Anakku… aku rindu…”
Amira memejamkan mata. Di dalam hatinya, ia bergumam, “Aku nggak tahu kamu ibuku atau bukan, tapi kalau ibu mertuaku mati… aku juga kehilangan banyak uangku. Jadi kita harus saling bantu, Bu.”
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus