Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tes ingatan Erick
Setelah insiden di mana Erick, tanpa memori, secara naluri tahu bahwa Aluna seharusnya memakai kalung perak, memori yang seharusnya sudah terkubur oleh pernikahan dingin mereka, pikirannya saling bertentangan.
Erick yang sekarang adalah perpaduan yang menakutkan, ia memiliki kekuatan kontrol dan dominasi CEO, terbukti saat ia merebut ponsel Aluna.
Tetapi ia juga menunjukkan kelemahan dan ketergantungan seorang anak kecil yang takut ditinggalkan. Ia adalah belenggu dan anugerah.
‘Apa Erick berpura-pura amnesia? Mustahil, karena ia terlihat benar-benar tidak berdaya saat di rumah sakit. Apakah amnesianya selektif, menghapus tiga tahun pernikahan yang dingin, tetapi malah mempertahankan memori lama?’
Malam itu, setelah memastikan Erick sudah selesai meninjau laporan perusahaan yang membuatnya jengkel, Aluna memutuskan untuk melakukan tes kedua. Tes yang lebih halus, lebih dalam, yang tidak mungkin bisa Erick persiapkan.
“Erick, kau tidak bisa terus-menerus melihat laporan perusahaan di laptopmu,” kata Aluna, menyangga bantal di punggung Erick.
“Dokter bilang kau membutuhkan stimulasi otak yang ringan dan menyenangkan. Bagaimana kalau kita menonton film?”
Erick mendongok dari laptopnya, ekspresinya langsung menjadi cerah.
“Film? Tentu! Sudah lama sekali aku tidak menonton film bersamamu.”
‘Lagi-lagi memori palsu,’ batin Aluna.
Selama pernikahan mereka, mereka hampir tidak pernah menonton film bersama, dan jika pun ya, itu adalah film-film blockbuster yang dipilih Erick.
Aluna menyalakan proyektor mini di kamar dan mengakses server film lama mereka. Dengan tangan gemetar, ia mencari dan memilih film yang sengaja ia kunci di folder mereka.
Matahari dan Musim Semi. Sebuah film indie Prancis yang rilis sepuluh tahun lalu, film tentang seorang arsitek perempuan yang berjuang mempertahankan idealismenya. Film yang Aluna tonton berulang kali selama masa kuliah, saat ia masih merajut mimpinya.
Erick menatap judul di layar. “Film apa ini? Aku tidak ingat pernah menontonnya.”
“Tentu saja tidak ingat,” ujar Aluna, nada suaranya lembut, seperti sedang menenangkan anak kecil.
“Ini film lama. Aku mau kau melihatnya. Film ini bagus.”
Mereka berdua berbaring di ranjang. Aluna mematikan lampu, membiarkan cahaya proyektor menjadi satu-satunya sumber penerangan, melukis bayangan di wajah mereka.
Aluna berbaring di sisi kanannya, memunggungi Erick, menjaga jarak untuk mengetes kembali.
Namun, Erick, yang kini terbiasa dengan keintiman dan ketergantungan, segera menyelipkan lengannya di pinggang Aluna, memeluknya dari belakang.
“Dekat begini lebih nyaman,” bisik Erick, mencium rambut Aluna.
Aluna membiarkannya, fokusnya terarah pada layar. Ia harus mengabaikan kehangatan palsu ini dan menunggu, mencari petunjuk.
Film dimulai. Aluna ingat setiap dialog, setiap adegan, referensi arsitektur dan filosofi yang dulu sangat ia kagumi. Ia yakin Erick, yang selalu fokus pada angka dan keuntungan, tidak akan pernah memperhatikan film semacam ini.
Setengah jam berlalu. Erick hanya diam, sesekali menghela nafas.
Aluna mulai berpikir tesnya gagal. Erick mungkin hanya bersikap manja, tetapi tidak benar-benar mengingat apa pun tentangnya.
Film mencapai adegan krusial, adegan yang selalu membuat Aluna terharu sepuluh tahun yang lalu.
Dalam adegan itu, tokoh utama, si arsitek perempuan, berdiri di atap gedung yang baru selesai ia desain. Ia tidak menangis karena bahagia atau sedih, melainkan karena ia menyadari bahwa desainnya yang sangat ia cintai terpaksa dikorbankan demi efisiensi biaya.
Di balik layar, ia sedang makan sepotong roti kering, karena ia terlalu miskin untuk makan malam yang layak.
Erick, yang memeluk Aluna, tiba-tiba menekan pipinya ke bahu Aluna, dan berbicara.
“Dia tidak menangis karena desainnya. Dia menangis karena roti yang dimakannya itu hambar, mencerminkan betapa pahitnya mengorbankan idealismemu demi uang.”
Aluna membeku. Otaknya seketika berhenti bekerja.
Dia tidak salah dengar.
Komentar Erick itu... sangat spesifik.
Di semua ulasan film, semua orang hanya fokus pada konflik desain vs. uang. Tidak ada yang pernah secara spesifik menyebut ‘roti yang hambar’.
Itu adalah detail kecil, detail yang hanya akan diketahui oleh seseorang yang benar-benar fokus di balik kesederhanaan adegan itu.
Itu adalah interpretasi yang persis sama dengan interpretasi Aluna sendiri, interpretasi yang dulu ia tulis di buku jurnalnya saat ia masih kuliah, di tengah perdebatan sengit dengan teman-temannya.
‘Bagaimana dia bisa tahu?’ Itu adalah memori Aluna yang paling rahasia dari masa mudanya.
Aluna memutar badan, melepaskan diri dari pelukan Erick. Ia menyalakan lampu nakas di sisinya, cahayanya yang kuning lembut menerangi wajah Erick.
Erick menatapnya, bingung. “Kenapa, Sayang? Filmnya belum selesai.”
“Bagaimana kau bisa tahu itu, Erick?” tanya Aluna, suaranya pelan, tegang, dan dipenuhi kecurigaan yang menusuk.
“Tahu apa?” Erick mengernyit.
“Komentarmu barusan. Tentang roti yang hambar itu. Itu adalah metafora, bukan dialog film. Bagaimana kau bisa tahu dia menangis karena alasan itu?” desak Aluna.
Erick terlihat berpikir keras, matanya memandang ke langit-langit kamar, mencari jawaban di dalam dirinya yang kosong. “Aku tidak tahu. Itu hanya… yang kurasakan. Bukankah semua orang setuju?”
“Tidak. Tidak ada yang setuju. Itu adalah interpretasi yang sangat pribadi, Erick. Aku ingat, aku pernah menuliskannya di buku jurnal kuliahku. Hanya aku yang tahu persis bagaimana rasanya mengorbankan idealisme demi kenyamanan,” kata Aluna, tanpa menyadari bahwa ia baru saja mengungkapkan kerentanan lamanya.
Erick mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Aluna. Sentuhan itu lembut, tetapi Aluna merasa terancam.
“Aluna, aku tidak mengerti. Kenapa kau begitu tegang?” Erick menatapnya dengan rasa ingin tahu yang polos. “Mungkin… mungkin aku ingat hal-hal yang tidak penting bagi orang lain, tapi penting bagiku?”
“Apa lagi yang kau ingat, Erick?” tanya Aluna, suaranya hampir memohon.
“Apakah kau mengenalku sepuluh tahun yang lalu? Apakah kau ingat aku pernah memakai kalung perak itu?”
Erick menggeleng. “Kalung itu... Aku hanya merasa kau harus memakainya. Aku tidak ingat kapan kau memakainya. Aku hanya ingat bahwa kau adalah Aluna yang seharusnya memakai kalung itu. Dan aku mencintai Aluna yang itu.”
Jeda panjang. Erick melanjutkan, ekspresinya tulus dan lugu.
“Aku minta maaf jika ingatanku terasa aneh. Tapi... kenapa kau memilih film yang begitu sedih, Sayang? Film tentang kompromi. Apa kau merasa harus berkompromi denganku?”
Aluna menarik nafas dalam. Erick telah berhasil membalikkan situasi. Ia telah melakukan tes ini untuk membuktikan Erick bersandiwara, tetapi kini ia sendiri yang terperangkap dalam memori masa lalu Erick yang tidak mungkin.
‘Erick yang amnesia ini telah menghapus lapisan kebekuan yang ia bangun selama tiga tahun, dan mengembalikan memori pada Aluna yang ia idolakan sepuluh tahun lalu, Aluna yang belum terkontaminasi?’ pikir Aluna yang mulai menemukan akarnya.
‘Jika demikian, situasi ini lebih tragis dan rumit daripada sekadar perceraian.’
“Tidak, Erick. Aku tidak merasa berkompromi.” Aluna berbohong, menutup tesnya. “Filmnya hanya film lama. Sekarang, lupakan itu. Tidurlah!”
Aluna mematikan proyektor, menyisakan lampu tidur redup. Ia kembali berbaring, tetapi ia tidak bisa tidur. Erick kembali memeluknya, menempelkan hidungnya di rambut Aluna.
“Kau adalah arsitek yang hebat, Aluna,” bisik Erick, suaranya mengandung keyakinan yang menggetarkan. “Aku tahu, kau tidak akan pernah membiarkan idealismemu mati.”
Aluna terdiam, liontin perak di lehernya terasa dingin, seperti rantai yang mengikatnya pada kebingungan masa lalu.
Erick, yang seharusnya menjadi musuhnya, kini menjadi cermin yang memantulkan kerinduan Aluna yang terdalam, kerinduan untuk dilihat, dihargai, dan dicintai sesuai dengan dirinya yang sebenarnya.
Erick mungkin amnesia tentang pernikahan mereka yang dingin, tetapi ia mengingat Aluna yang ia cintai. Dan Aluna tidak tahu bagaimana cara menceraikan pria yang baru saja ia sadari mungkin telah mencintainya, secara diam-diam, selama sepuluh tahun terakhir atau bahkan lebih.