Di dunia yang kejam, hanya yang kuat yang bertahan. Yun Feng, seorang bocah yatim piatu berusia 15 tahun, menolak takdir sebagai semut di bawah kaki para penguasa. Ia tidak memiliki sekte untuk melindunginya, tidak memiliki garis keturunan bangsawan, hanya tekad yang membara, tekad untuk mencapai keabadian.
Dikhianati, dikejar, dan dipaksa berada di ujung tanduk, Yun Feng tidak ragu menggunakan segala cara. Ia melahap jiwa, merenggut kekuatan dari musuhnya, dan menguasai seni kegelapan yang ditakuti dunia. Jika dunia menolaknya, maka ia akan menaklukkan dunia. Jika surga menghalanginya, maka ia akan merobek surga itu sendiri!
Di jalannya menuju keabadian, Yun Feng akan melawan sekte-sekte besar, mengguncang para dewa, dan meninggalkan jejak darah di seluruh alam semesta!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Niko R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan Belas Purnama, Enam musim
Waktu berlalu begitu cepat, layaknya embun pagi yang menguap di bawah sinar mentari pertama. Dalam kurun delapan belas bulan, Yun Feng telah menjelma menjadi sosok yang tak hanya dikenal, tetapi dihormati di Kota Baiyun. Dengan nama pena Bai Ying, ia membangun reputasinya bukan sebagai kultivator, bukan pula sebagai pendekar, melainkan sebagai seorang seniman dan penulis yang berhasil mengguncang hati banyak orang.
Bangunan kayu yang dulunya lusuh dan tak menarik, kini seolah disulap menjadi kediaman seorang maestro. Aroma tinta dan kertas memenuhi udara, dinding-dinding dipenuhi lukisan pemandangan gunung berselimut kabut, sosok pejalan sunyi di tengah hujan, atau siluet wanita di balik tirai tipis. Rak-rak dipenuhi tumpukan buku dengan sampul bergambar indah, judul-judulnya mencuri perhatian siapa pun yang melihat: Langit yang Terbelah, Jejak dalam Kabut, dan Cinta yang Tak Pernah Selesai.
Orang-orang datang dari berbagai penjuru. Ada yang ingin membeli lukisan untuk menghiasi aula keluarga bangsawan, ada pula pemuda-pemudi yang tergila-gila pada kisah-kisah romantis karyanya. Tak sedikit pula yang hanya datang untuk sekadar mengintip sosok legendaris Bai Ying.
Di tengah ruangan, Yun Feng duduk bersila di depan meja rendah dari kayu cemara. Tangan kanannya memegang pena kuas, matanya memandangi lembaran kertas putih dengan kerutan di dahi.
“Bab ini terlalu kaku...” gumamnya, menggeleng pelan, “...harus kuperbaiki lagi.”
Cring.
Suara lonceng kecil bergema saat pintu kios terbuka perlahan. Seorang gadis muda dengan kepangan rambut panjang masuk, menenteng sebuah keranjang yang ditutupi kain merah.
“Selamat sore, Tuan Bai Ying,” ucapnya ceria. “Ibu menyuruhku untuk memberikan ini. Katanya, novel Anda membuatnya menangis setiap malam. Katanya... seolah hidupnya ikut tenggelam dalam kisah itu.”
Yun Feng mengangkat wajahnya, tersenyum tipis. Ia menyukai momen-momen seperti ini yang sederhana dan tulus.
“Kalau begitu, aku akan menerimanya sebagai penghargaan,” balasnya. “Letakkan saja di meja kosong itu.”
Gadis itu mengangguk dan melangkah pelan, lalu berhenti sejenak, memandangi Yun Feng yang kembali menulis.
“Tuan Ying,” tanyanya dengan mata berbinar, “apa Anda sedang menulis kelanjutan dari Cinta yang Tak Pernah Selesai?”
Yun Feng tersenyum, lalu mengangguk perlahan. “Benar. Lanjutannya hampir selesai. Pastikan kau memberi tahu ibumu, ya? Jangan biarkan ia penasaran terlalu lama.”
Ia mengusap kepala si gadis, membuat pipinya memerah malu sekaligus bahagia.
“Aku pasti akan bilang! Terima kasih, Tuan Bai Ying!” serunya sambil berlari keluar.
Namun tepat di ambang pintu, tubuh mungilnya nyaris bertabrakan dengan seorang pria besar berotot yang sedang masuk. Pria itu buru-buru mundur, lalu terkekeh pelan.
“Aku tak menyangka toko seni bisa seramai pasar pagi,” gumamnya, lalu berjalan masuk. Yun Feng sudah mengenalnya.
Yun Feng menyambutnya dengan senyuman hangat, menuangkan secangkir teh dan menyodorkannya.
“Sepertinya kau datang di waktu yang tepat, Kakek Han,” ujar Yun Feng.
Pria itu menerima teh, lalu duduk bersandar sambil menghela napas puas.
“Hahaha, kau memang tahu caranya menjamu tamu. Tapi aku dengar kabar menarik katanya lukisanmu dibeli oleh pejabat kota dengan harga fantastis. Benarkah?”
Yun Feng menyeruput tehnya perlahan, lalu menjawab ringan, “Benar. Tapi aku beri mereka potongan harga setengahnya.”
“Hah?!” Pria itu hampir tersedak tehnya. “Kau gila?! Lukisanmu bisa seharga dua rumah besar, dan kau menjualnya dengan harga separuhnya?!”
“Tentu saja,” balas Yun Feng dengan nada tenang. “Aku ingin orang menghargai lukisanku karena makna yang dikandungnya, bukan sekadar harganya.”
Kakek Han menggeleng, tertawa lirih. “Kau memang aneh... tapi dunia butuh lebih banyak orang seperti dirimu.”
Yun Feng membalas senyuman itu, lalu memandang lukisan di dinding.
“Lukisan... tulisan... semuanya hanya sarana. Tujuanku mempelajari seni adalah untuk menyelaraskan hati. Jika hatiku tenang, maka gerakan pedangku juga akan tenang. Jika aku bisa menggambarkan perasaan lewat kuas, maka aku bisa menyalurkannya lewat pedang. Itulah seni bela diri sejati," pikir Yun Feng di hatinya.
Kakek Han menatap Yun Feng lama, lalu menepuk bahunya dengan lembut. “Kau bukan sekadar seniman. Kau pejalan sunyi yang mengukir jalanmu sendiri.”
Malam tiba.
Langit Kota Baiyun dipenuhi ribuan bintang. Lentera-lentera jalan berkedip pelan ditiup angin malam. Di belakang kiosnya, di bawah pohon besar yang sudah menjadi temannya berlatih, Yun Feng duduk bersila.
Udara malam terasa dingin menusuk, namun Yun Feng tak menggigil. Energi spiritual mengalir dari bumi dan langit, masuk ke dalam tubuhnya, berputar di meridian, dan perlahan memperkuat fondasinya.
Matanya terbuka perlahan. Nafasnya menghembus dalam kabut putih. “Qi Gathering tingkat 9... tinggal sedikit lagi. Jika aku menembus batas ini, aku bisa mengendalikan pedang terbang.”
Ia menatap ke arah langit. Bulan purnama bersinar terang, dikelilingi kabut tipis dan bintang-bintang seolah berkumpul mengelilinginya.
“Satu tahun... delapan belas purnama... enam musim telah berlalu.” Suaranya pelan, hampir seperti gumaman. “Aku datang saat musim semi... dan kini musim panas telah tiba. Setelah musim dingin berikutnya, aku akan pergi.”
Matanya menajam, seperti bilah pedang yang baru ditempa.
“Sekte Langit Hijau... tunggulah aku.”
Pandangan Yun Feng perlahan berpindah dari bulan purnama ke benda panjang yang terselubung kain hitam di sampingnya Pedang Pelahap Jiwa. Senjata itu tidak mengeluarkan aura seperti pedang biasa, tapi kehadirannya begitu nyata, seolah memikat jiwa-jiwa lemah yang berkeliaran di sekitar. Yun Feng meraihnya perlahan, menggenggam gagangnya dengan satu tangan, dan merasakan sensasi dingin menyusup ke dalam tulangnya.
“Sudah berapa banyak jiwa yang kau telan?” gumamnya lirih.
Pedang itu bergetar lembut, hampir seperti menjawab. Tidak dengan suara, tapi dengan bisikan dingin yang langsung menyentuh dasar pikirannya. Jiwa-jiwa yang tertelan beberapa jahat, namun tak sedikit pula yang hanya sial bertemu dengannya.
Dulu, Yun Feng berpikir bahwa kekuatan hanyalah alat untuk bertahan. Namun kini, ia tahu bahwa kekuatan juga adalah ujian. Pedang Pelahap Jiwa bukanlah sekadar senjata ia adalah penantang jiwa, penguji kehendak.
“Aku mulai mempertanyakan... apakah aku masih manusia biasa, atau telah berubah menjadi sesuatu yang lain?”
Suara-suara samar terkadang terdengar saat ia bermeditasi, jeritan para jiwa yang tertelan, menuntut keadilan, atau mungkin… penebusan. Namun tak ada waktu untuk penyesalan. Pedang ini adalah satu-satunya cara untuk menyaingi para tetua Sekte Langit Hijau yang kekuatannya jauh melampaui dirinya sekarang.
“Kalau harus mengorbankan seribu jiwa demi satu tujuan... apakah itu layak?” Yun Feng menunduk, menatap refleksi wajahnya pada bilah pedang yang kini setengah terbuka. Tatapan itu bukan milik bocah naif, tapi milik seorang pria yang perlahan dibentuk oleh rasa kehilangan, kesepian dan tekad yang besar.
Ia mengepalkan tangannya.
“Jika dunia menyebutku iblis karena ini, maka biarlah aku menjadi iblis yang mengukir keadilan dengan caraku sendiri.”