Fahrul Bramantyo dan Fahrasyah Akira merupakan sahabat sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan. Mereka sangat akrab bak saudara kembar yang merasakan setiap suka dan duka satu sama lain.
Namun semuanya berubah saat kesalahpahaman terjadi. Fahrul menjadi pria yang sangat kasar terhadap Fahra. Beberapa kali pria itu membuat Fahra terluka, hingga membuat tubuh Fahra berdarah. Padahal ia tau bahwa Fahra nya itu sangat takut akan darah.
Karena Fahra kecil yang merasa takut kepada Fahrul, akhirnya mereka pindah ke Malang dan disana Fahra bertemu dengan Fahri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LoveHR23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejuaraan
Tak jauh dari tempat Fahra dan Cinta berada, terlihat seorang pria yang sedang mendengar perbincangan dua gadis itu. Pria itu adalah Fahrul. Dengan wajah yang penuh kemarahan, Fahrul mengepal tinjuan.
~"Apa salah Fahra, Rul? Apa? Kenapa lo tega buat dia nangis. Lo tau dia takut darah, tapi kenapa lagi-lagi lo yang buat dia berdarah? Kenapa Rul? Kenapa?"~ batin Fahrul.
"Udah, Cinta. Gakpapa kok. Fahra gakpapa. Cinta jangan ikut-ikutan nangis dong. Cinta lucu kalau nangis. Fahra jadi gak fokus deh nangisnya gara-gara liat Cinta nangis." ucap Fahra mengalihkan pembicaraan. Cinta mengerutkan dahinya karena tak mengerti dengan ucapan Fahra yang seperti mengejeknya.
"Lo ngejek gue?"
"Enggak, kok" jawab Fahra terkekeh. Kali ini gadis itu terlihat lebih tenang.
"Lo hebat ya Raa. Selain cantik, lo juga jago nyembunyiin kesedihan. Lo juga sabar banget sama orang yang udah jahat sama lo. Oh iya, btw lengan lo tadi luka?" tanya Cinta melihat tangan Fahra yang memang sedang terluka.
Fahra melihat ke arah tangannya yang terasa sakit. Bahkan gadis itu sama sekali tak menyadari luka ditangannya itu.
"Oh ini, gakpapa kok. Luka kecil doang." ucap Fahra memalingkan pandangannya dari luka itu.
"Lo yakin?"
"Iyaaa, Cinta. Ehh udah deh, Fahra mau pulang dulu ya. Fahra capek. Gakpapa kan, kalau Fahra pulang duluan?"
"Ho o, santai aja. Gue juga udah mau pulang." jawab Cinta santai.
Fahra kembali menghidupkan motor maticnya dan bergegas pergi meninggalkan Cinta sendirian. Setelah Fahra pergi, Cinta juga bergegas ke ruang olahraga untuk mengambil barang-barangnya.
Sementara Fahrul, pria itu tak henti-hentinya menyesal. Tatapannya kosong. Sedari tadi ia juga meninju tembok parkiran hingga tangannya juga berdarah. Bukan karena Fahra, tapi karena memikirkan Fahra. Ia rasa hanya itulah yang dapat mengobati rasa sakit hati pada dirinya sendiri.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, tibalah hari dimana proses itu akan menjadi hasil. Fahrul, Cinta, Reihan, dan Lili sudah bersiap-siap bersama Pak Rahman mempersiapkan diri didekat kursi penonton. Gedung lomba memang sangat besar, begitu juga dengan lapangannya. Mereka sengaja memilih tempat yang tidak ramai agar dapat lebih fokus latihan untuk terakhir kali. Terlihat sekali, Reihan begitu gugup. Sesekali ia mengusap dahinya. Pria itu melangkahkan kakinya menghampiri Pak Rahman, Cinta dan Lili yang tengah duduk disebuah kursi penonton.
"Pak, saya takut. Kalau saya kalah bagaimana?" ucap Reihan dengan wajah yang begitu gugup.
"Udah, lo tenang aja. Kalah menang dalam lomba itu biasa. Lagian gerakan-gerakan lo keren kok. Gue liat, lo latihannya juga bagus." Lili membuka suara mencoba untuk menenangkan Reihan. Pria itu hanya tersenyum tipis.
"Iya, Nak. Bapak dan sekolah kita tidak menuntut kalian untuk menang. Kalau hasilnya memang kekalahan, kita hanya bisa menerimanya dengan lapang dada. Kalian semua tenang ya." ucap Pak Rahman menenangkan 3 siswa yang sedang berada didekatnya. Demikian juga Cinta yang sama halnya merasa gugup seperti Reihan. Namun gadis itu hanya diam dan duduk diam sembari memainkan ponselnya.
Fahrul bersama kedua temannya, Ridho dan Beni terlihat sedang asyik bercanda. Mereka berdua memang tak pernah absen untuk mendukung dan menemani Fahrul dalam segala lomba yang Fahrul ikuti. Tak heran jika mereka terlihat sangat akrab. Namun terlihat kegelisahan diwajah pria itu. Beberapa kali ia melirik ke sekitar Cinta. Namun lagi-lagi ia menghembuskan nafas kekecewaannya.
~"Apa pembunuh itu masih sakit? Atau mungkin dia pindah lagi? Ahh dasar, pembunuh!"~ batin Fahrul. Hati dan fikirannya saat itu sangat berbeda. Sesungguhnya ia sangat mencemaskan Fahra. Namun fikirannya menolak hal itu. Ia melirik ke arah Cinta untuk mencari keberadaan Fahra. Sudah 4 hari Fahra tidak ada kabar. Gadis itu juga tidak kelihatan untuk menonton sekolah mereka lomba.
Tanpa sadar, Fahrul tenggelam dalam lamunannya. Ia mematung dengan tatapan kosong. Melihat sikap sahabatnya, Ridho dan Beni mencoba untuk menyadarkan. Ridho yang berdiri disamping Fahrul, mulai menggapai bahu Fahrul yang sontak membuat pria itu terkejut.
"Dasar Pembunuh!" sentak Fahrul tak sadar. Ridho dan Beni mengerutkan dahinya, berusaha untuk mencerna ucapan Fahrul.
"Pembunuh?" tanya Ridho heran. Fahrul memutar bola matanya. "Maksud lo pembunuh, siapa Rul?" tanya Ridho meneliti.
"Ooooo iya, gue inget. Kemarin lo juga bilang soal pembunuh ke Fahra. Sebenarnya gue mau tanyain ke lo dari beberapa hari lalu. Tapi gue lupa hehehe." Beni membuka suara saat mengingat ucapan Fahrul beberapa hari silam.
"Maksud lo, Ben?" tanya Ridho lagi semakin penasaran.
"Yaa gak tau." Beni mengangkat kedua bahunya. "Makanya gue mau tanya ini ke Fahrul. Awalnya gue sempet mikir kalau Fahra bunuh nyamuk dirumahnya Fahrul. Tapi kayak ada yang aneh. Fahra kan baru kenal sama Fahrul, otomatis dia juga gak tau alamat rumah Fahrul. Dan gak mungkin juga dia serajin itu mau bunuh nyamuk dirumah Fahrul." ucap Beni menyampaikan unek-uneknya.
Fahrul melirik kekiri dan kanan beberapa kali. Ia berusaha keras untuk mencari alasan apa yang akan ia berikan pada teman-temannya tentang Fahra. Sementara Ridho, ia berusaha memikirkan apa maksud dari ucapan Beni.
"Maksud Beni apa, Rul? Pembunuh? Fahra? Apa itu berhubungan?" tanya Ridho lagi.
"Emm apaan sih, lo percaya banget sama omongan Beni. Gak usah didengerin. Dia suka ngawur tuh." elak Fahrul yang akhirnya membuka suara.
"Gue tau Beni. Omongan dia emang sering ngawur, tapi dia gak pintar berbohong. Dia suka asal ceplos kalau ngomong sesuatu, sesuai sama apa yang dia fikirkan." jawab Ridho lebih masuk akal. Beni memang seorang pria yang tak pintar berbicara. Walau selalu ingin menyaingi Fahrul, namun sangat sulit baginya untuk bersaing dengan Fahrul.
"Heeeee kok kalian jadi jelek-jelekkin gue seeh!" ketus Beni kesal.
Tanpa memperdulikan ucapan Beni, Ridho terus menjajal Fahrul dengan pertanyaan untuk meluapkan rasa penasarannya.
"Oh iya, gue inget. Kenapa saat pertama kali Fahra ketemu lo, dia seolah-olah kenal sama lo. Dan gue bilangin lagi, dia tau beberapa hal privat tentang lo. Dan gue perhatiin, lo selalu bersikap kasar sama Fahra. Awalnya gue pikir itu hal biasa, karena kebiasaan kita ya emang ngebully. Tapi ada yang aneh. Pembullyan yang lo lakuin ke Fahra itu beda. Apa lo dan Fahra udah saling kenal sebelum ini? Karena lo sama sekali gak merasa bersalah saat lo nyakitin Fahra. Kayak ada sesuatu yang lo simpen..."
"Kayak sebuah dendam" sahut Beni memotong ucapan Ridho. 3 kalimat itu sontak membuat Fahrul tertegun. Perkataan Beni begitu tepat dengan yang ia rasakan selama ini. Fahrul memang masih menyimpan dendam kepada Fahra atas kematian Andin.