NovelToon NovelToon
Langit Jingga Setelah Hujan

Langit Jingga Setelah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kelahiran kembali menjadi kuat / Keluarga / Romansa Fantasi / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Chicklit / Fantasi Wanita
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: R²_Chair

Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.

Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.

Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Melihat indah dunia dibalik luka

Beberapa hari berlalu,pagi itu Jingga merasa tubuh dan hatinya jauh lebih ringan dibandingkan beberapa minggu sebelumnya. Udara pegunungan yang segar menyelinap masuk lewat jendela kamar tamu yang ia tempati. Burung-burung di pepohonan belakang rumah berkicau riang, seperti menyambut hari baru yang tenang.

Kakek Arga sudah bangun lebih dulu seperti biasa. Dari celah pintu, Jingga bisa mendengar suara sapu menggesek lantai kayu teras.

Ia tersenyum kecil.

Setelah membantu menyapu halaman dan sarapan sederhana berupa roti panggang serta teh hangat, Jingga memberanikan diri berbicara dengan Kakek Arga, “Kakek, boleh aku jalan-jalan sebentar? Hanya di sekitar sini saja.”

Kakek Arga menatapnya sejenak,seperti memastikan keadaannya benar-benar baik.

“Tentu saja boleh,” jawabnya lembut. “Gunakan syal ini. Angin pagi di sini sering berubah tiba-tiba.”

Jingga menerima syal rajutan tangan itu. “Terima kasih.” Ucapnya dengan senyum manis menampilkan lesung pipi nya.

Ia melangkah keluar rumah untuk pertama kalinya setelah tinggal di sana.Jalan setapaknya kecil, dibatasi semak-semak liar dan pohon jati yang menjulang tinggi. Embun pagi masih menempel di rumput, menimbulkan kilau halus saat matahari menyentuhnya.

Di setiap langkah, Jingga merasa seperti sedang menyusuri dunia yang baru bukan karena tempat itu indah, tetapi karena ia tidak lagi membawa ketakutan sebesar dulu.

Ia terus berjalan melewati pagar kayu yang sedikit lapuk. Jalan setapak itu mengarah ke perbukitan kecil di belakang rumah Kakek Arga. Udara pagi terisi aroma tanah basah dan suara air sungai kecil yang mengalir perlahan.

“Tenang sekali…” gumamnya.

Tempat ini adalah kebalikan sempurna dari rumah lamanya,rumah yang penuh suara keras, tuduhan, dan dinginnya tatapan orang-orang yang harusnya menjadi keluarganya.

Setiap langkah membuat dadanya semakin lapang.

Jingga berhenti di sebuah batu besar di samping sungai kecil. Ia menunduk meraup air bening itu, membiarkan sensasi dingin menyentuh kulitnya.

"Seandainya hatiku bisa sesegar ini,” Lirihnya

Ketika ia berdiri kembali, terlihat beberapa kelopak bunga liar tersangkut di rambutnya. Ia mengibas pelan sambil tertawa kecil. Perasaan ringan itu terasa di hatinya tapi menyenangkan.

Ia tidak tahu bahwa dari kejauhan, ada seseorang yang memperhatikan kehadirannya lebih tepatnya, terpukau oleh pemandangan yang ia ciptakan.

Beberapa meter di belakangnya, seorang pemuda sedang berdiri dengan kamera di tangan. Ia berada di tempat itu bukan untuk mengintai, tetapi karena sedang berburu foto alam untuk koleksi pribadi. Ketika Jingga menunduk di tepi sungai, cahaya pagi jatuh tepat di atasnya, membentuk siluet lembut di antara pepohonan.

Pemuda itu, Arjuna, spontan mengangkat kamera.Satu jepretan di dapat,begitu indah dan sempurna membuat dadanya berdesir.

Jingga tidak mendengar apa pun. Suara sungai terlalu menenangkan.

Ia kembali mengarahkan kameanya.Hanya dua foto, tetapi cukup untuk membuat Arjuna menurunkan kameranya dan menghela napas.

"Aku belum pernah lihat cahaya sebagus itu,” gumamnya.

Ia bukan hanya sedang mengomentari orangnya, tapi juga perpaduan warna, pantulan air, dan suasana sekitar yang membentuk komposisi sempurna.

Namun begitu Jingga berbalik, matanya bertemu sorot kamera yang baru saja turun dari wajah pemuda itu.

Ia tertegun.

Arjuna terkejut setengah mati.

“A—Ah! Maaf!” serunya buru-buru. Ia menyembunyikan kameranya ke belakang tubuh. "Aku tidak bermaksud memotre—,” ia berhenti, mengoreksi, “Maksudku… aku memang memotret, tapi bukan… bukannya… eh…”

Jingga tidak berkata apa-apa. Ia memeluk syal Kakek Arga yang melilit lehernya.

“Sorry banget,” kata Arjuna lagi. “Aku tidak berniat mengambil foto tanpa izin.Tadi kamu berdiri di situ dan posisinya bagus banget sama cahaya paginya. Aku spontan…”

Nada suaranya benar-benar panik, jauh dari nada orang yang berniat buruk.

Jingga akhirnya mengangguk pelan. “Tidak apa-apa. Asal jangan dipakai sembarangan.”

“Tidak! Tidak akan!” jawab Arjuna cepat. “Kalau kamu mau, aku bisa hapus fotonya sekarang juga.”

Ia segera memencet-mencet kameranya, memperlihatkan layar kecil itu kepada Jingga. Ada dua foto keduanya memang indah.Jingga di bawah cahaya pagi, dengan sungai memantulkan bayangan di belakangnya.

Tetapi untuk pertama kalinya, Jingga tidak merasa takut melihat dirinya dalam foto orang lain. Foto itu justru terlihat damai, tidak seperti sosok gadis yang hidupnya selalu dianggap salah.

"Tidak apa. Simpan saja,” katanya akhirnya. "Aku tidak keberatan.” Ucapnya kembali dengan senyum manis di hiasi lesung pipi.

Arjuna membeku.

"Kamu yakin?”

Jingga mengangguk.

"Terima kasih! Aku janji tidak akan mengunggahnya tanpa izin,” katanya lega.

Ia tampak benar-benar tulus dengan rambut sedikit berantakan dan baju sederhana, lebih seperti orang yang sibuk mengejar momen cahaya sempurna daripada memikirkan hal lain.

Setelah rasa canggung mereda sedikit,Arjuna menurunkan kameranya."Kamu tinggal di daerah sini ya? Aku belum pernah lihat sebelumnya.”

Jingga menunduk. "Aku baru tinggal beberapa hari. Tinggal di rumah Kakek Arga.”

Arjuna mengangguk, wajahnya langsung berubah penasaran. "Ah, Kakek Arga! Aku tahu beliau. Banyak warga sini yang bilang beliau orang baik,meski hidupnya sendiri.”

Jingga tersenyum samar. “Beliau memang baik.”

"Kalau kamu tinggal di rumah beliau,berarti kamu tidak jauh dari sini.” Arjuna menunjuk arah setapak. “Aku sering lewat sini buat foto-foto.Tempatnya bagus.”

Jingga hanya mengangguk.

Arjuna ragu sejenak sebelum bertanya, "Boleh aku tahu namamu?”

"Jingga.”

"Nama yang bagus,” kata Arjuna. "Aku Arjuna.”

Laki-laki tampan dengan badan menjulang tinggi,kulit putih serta hidung mancung terlihat lebih dewasa dari Jingga.

"Salam kenal Ka"

Arjuna diam sejenak dengan mata menatap dalam Jingga.

"Umur Kaka sepertinya lebih tua dari ku,jadi tidak masalah kan kalau aku panggil Ka Juna?"

Arjuna tersenyum,anehnya hatinya menghangat.

Percakapan sederhana itu membuat suasana sedikit mencair.

Arjuna kemudian menunjuk sungai. "Kalau kamu jalan sedikit ke atas, ada air terjun kecil. Tidak tinggi, tapi bagus buat duduk-duduk. Banyak kupu-kupu juga.”

“Aku boleh ke sana?”

“Tentu boleh. Ini tempat umum kok.” Arjuna tersenyum.

Jingga mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku mau lihat-lihat.”

“Aku mau ke arah sana juga, sekalian ambil foto. Kalau kamu tidak keberatan… kita bisa jalan bareng. Tapi kalau kamu tidak nyaman, aku bisa jalan duluan.” Ucap Arjuna sedikit hati-hati dan lembut.

Jingga tidak terbiasa diajak orang lain bicara selembut itu, namun ia merasakan sesuatu yang aman dalam tawaran itu.Sama seperti ketika pertama kali bertemu Kakek Arga,kehadirannya tidak menimbulkan ancaman.

“Kita jalan bareng saja,” jawab Jingga.

Arjuna tersenyum lega. “Baik.”

Mereka berjalan pelan menyusuri setapak kecil yang dipenuhi suara gemerisik daun. Arjuna tidak banyak bicara, hanya sesekali mengarahkan kameranya ke burung-burung atau bunga liar. Sesekali ia menunjukkan hasil fotonya pada Jingga, yang hanya mengangguk atau mengucapkan komentar singkat.

"Aku suka foto Kaka,” kata Jingga akhirnya. "Sepertinya kamu benar-benar menikmati pekerjaanmu.”

“Fotografi itu semacam cara menangkap detik yang tidak bisa diulang,” jawab Arjuna. “Kadang kita tidak punya kekuatan buat mengubah masa lalu, tapi kita bisa menyimpan momen yang berharga.”

Jingga menoleh.

Entah kenapa, kalimat itu membuatnya terdiam panjang.

Mereka tiba di sebuah air terjun kecil tidak tinggi, tapi airnya jernih dan bebatuannya memantulkan cahaya matahari. Kupu-kupu beterbangan di sekitar semak bunga.

“Indah sekali…” Bisik Jingga

“Aku tahu kamu akan suka,” kata Arjuna sambil menekan tombol kamera, mengambil foto dedaunan yang tertimpa cahaya.

Jingga duduk di salah satu batu besar, mendengarkan suara air.

Di tempat itu, untuk pertama kalinya ia merasakan dunia seakan tidak menuntut apa pun darinya.

Arjuna duduk di batu lain, menjaga jarak sopan. Ia tidak memotret Jingga lagi tanpa izin hanya memotret sekitarnya.

Sikap itu membuat Jingga merasa dihargai.

"Aku senang bisa lihat tempat ini.” Ucapnya tanpa sadar

Arjuna menatapnya sekilas. "Kalau kamu butuh teman jalan atau butuh tahu tempat bagus lainnya, aku bisa tunjukkan. Tidak harus hari ini. Kapan-kapan saja.”

Jingga mengangguk pelan.

Setelah cukup lama duduk, Jingga memutuskan untuk kembali agar Kakek Arga tidak khawatir. Arjuna mengantar sampai ujung setapak.

"Ini rumahmu, kan?” tanya Arjuna ketika mereka hampir tiba.

Jingga mengangguk.

"Terima kasih sudah tidak marah soal foto tadi,” kata Arjuna. “Aku benar-benar menghargai itu.”

Jingga tersenyum tipis. "Terima kasih juga sudah menunjukkan tempat yang indah.”

Arjuna melambai kecil. "Sampai ketemu lagi, Jingga.”

Ia kemudian berjalan pergi, sementara Jingga melangkah masuk ke halaman rumah. Ada sesuatu yang berbeda di dadanya rasa lega, rasa hangat, dan sedikit rasa ingin tahu terhadap dunia yang selama ini terasa terlalu menakutkan.

Kakek Arga muncul di teras sambil membawa sapu.

"Bagaimana pagi mu hari ini?” tanya Kake Arga

Jingga tersenyum.

“Pagi yang menenangkan, Kek.”

Kakek Arga mengangguk, seolah sudah bisa menebak tanpa perlu bertanya lebih jauh.Di dalam hati, Jingga tahu hidupnya perlahan mulai menemukan titik-titik cahaya kecil.

Dan ia siap untuk melihat lebih banyak lagi.

...🍀🍀🍀...

...🍃Langit Senja Setelah Hujan🍃...

1
Danny Muliawati
hingga gmn dg kuliah nya yah
Puji Hastuti
Aq suka ceritanya kk 💪💪💪
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjut thor
𝐈𝐬𝐭𝐲
punya bapak kok bego bgt, gak percaya ma anak sendiri, suatu saat dia akan menyesal...
𝐈𝐬𝐭𝐲
baru baca bab awal udah bikin nyesek ma emosi thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!