Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Jalanan malam kota masih ramai. Lampu-lampu berpendar menerangi trotoar, mobil-mobil berlalu lalang, dan orang-orang berjalan berpasangan di bawah langit Pennsylvania yang gelap.
Allea duduk diam di dalam mobil, memandangi pemandangan kota yang melewati kaca jendela. Ada sesuatu yang mengganggunya, perasaan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Dan tiba-tiba di tengah lamunannya, ia merasakan sesuatu yang hangat menggenggam jemarinya.
Sentuhan lembut yang biasanya membuatnya nyaman. Biasanya. Namun kali ini, berbeda. Tubuhnya menegang. Perlahan, ia menoleh dan mendapati Davendra menatapnya dengan senyuman khasnya—hangat, penuh kasih.. Tapi, entah mengapa, Allea merasa ingin menarik tangannya.
Drttt.
Getaran ponselnya memberi alasan yang tepat. Dengan cepat, ia menarik tangannya dan meraih ponsel dari dalam tasnya. Nama Sarah muncul di layar. Allea mengangkatnya.
"Halo?"
"Hei, besok weekend. Kau ada rencana?" suara Sarah terdengar bersemangat.
Allea terdiam sejenak, pikirannya masih bercampur aduk. "Aku belum tahu. Mungkin tidak ke mana-mana."
"Ayo ke mall, kita belanja!"
"Emmm," untuk sejenak Allea ragu, namun akhirnya ia mengiyakan. "Okey."
Panggilan berakhir tepat ketika mobil mereka memasuki area parkir restoran Prancis yang tak jauh Apartemen nya. Davendra memarkirkan mobil dengan tenang, lalu menoleh ke arahnya. "Kita sampai," katanya.
Allea mengangguk dan hendak membuka pintu, tetapi tanpa aba-aba pria itu mendekat dan mengecup pipinya. Sebuah kecupan singkat, namun cukup untuk membuat tubuhnya membeku. Matanya membulat, tidak siap dengan keintiman yang terasa begitu nyata seakan meninggalkan bekas.
"Ayo turun," lanjut Davendra dengan tersenyum kecil.
Langkahnya menjadi sedikit kaku, Allea mengikuti pria itu memasuki restoran. Sebuah tempat yang elegan dengan nuansa klasik langsung menyelimuti seakan menyambut kedatangannya, lilin-lilin menyala di atas meja dan pelayan berpakaian rapi mondar-mandir melayani tamu.
Mereka menaiki tangga untuk ke lantai dua, menuju meja yang telah dipesan. Meja itu berada di dekat jendela besar, menampilkan pemandangan kota yang gemerlap di luar sana.
"Kau ingin memesan apa?" tanya Davendra.
"Apa saja, terserah om saja," jawab Allea, jujur ia sedang tak ingin makan apapun. Tapi dia lapar.
Davendra kembali tersenyum dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Dua Soupe A L’oignon, satu Creme Brulee, dan sebotol Red wine."
Pelayan pria dengan dasi pita tersenyum ramah sebelum pergi setelah mencatat pesanan, kembali menyisakan Davendra dan Allea berdua di meja itu. Lilin kecil di tengah meja seakan menjadi penerang diantara keduanya.
"Kau cantik sekali malam ini," puji Davendra, lalu meraih tangan mungil Allea yang tertahan di meja, dia mengecup punggung tangannya lembut dan penuh —cinta.
Sudah hampir tiga tahun hubungan ini berlangsung, namun kali ini, Allea merasa aneh. Sentuhan itu terasa tidak sama seperti dulu. Untuk pertama kalinya dia merasa janggal setelah sekian lama.
Beralih dari keduanya, tak jauh dari meja itu, seorang pria duduk sendirian, juga menunggu pesanannya datang dengan tenang. Alex. Ia mengamati mereka dalam diam, memastikan misi yang diberikan Deon berjalan lancar.
Lebih dari setengah jam berlalu, sejak mereka memasuki restoran itu. Makan malamnya berakhir dalam percakapan sederhana yang hanya terbatas pada kehidupan Allea.
Wanita itu hanya menjawab seadanya dan dia enggan untuk membuka bicara bertanya lagi. Dia ingin makan malamnya cepat berakhir sehingga dia bisa mencari waktu dan tempat yang tepat untuk bicara.
Dia terlalu jelas, Davendra bisa langsung menyadari sikapnya yang berubah.
"Kau baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanyanya.
"Tidak, aku baik-baik saja. Hanya—sedikit lelah."
Tak lama setelahnya, mereka meninggalkan restoran. Begitu melihat targetnya mulai bergerak lagi, Alex langsung bangkit dan mengikuti mereka dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak ketahuan.
Mobil melaju ke sebuah hotel yang hanya berjarak lima menit dari restoran. Allea menatap gedung megah itu dari dalam mobil, ragu.
"Kenapa diam? Kau lelah, kau butuh istirahat." ucap Davendra sambil membuka sabuk pengamannya.
"Iya... Tapi.." Allea menelan ludah dalam. Ia tidak yakin ingin turun. Sudah lebih dari tiga bulan sejak terakhir kali mereka bertemu dan—berhubungan. Dan sekarang, Davendra kembali mengajaknya ke hotel?
"Sayang, kalau kau merasa kurang enak badan, kau bisa istirahat di dalam," bujuk Davendra. "Suasana baru akan lebih nyaman untukmu dan aku juga bisa bersamamu ,—tanpa gangguan."
Kalimat terakhir pria itu seakan mengarah pada seseorang. Allea bisa menebaknya, apapun alasannya tetap saja ia ingin menolak. Dia belum mengatakan apa yang ingin dia katakan sedari tadi, dan hotel? Sepertinya bukan tempat yang pas untuk mengatakannya.
Belum ada jawaban dari Allea saat dia turun dari mobil namun pria itu langsung merangkulnya dan membawanya masuk sebelum ia sempat berkata lebih banyak.
Mereka melewati lobi, menaiki lift, dan berjalan menuju kamar 242 di lantai empat. Begitu sampai di depan pintu, Davendra membukanya dan menariknya masuk.
Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, Allea mencoba lagi. "Om.. bagaimana kalau kita pulang saja?" suaranya terdengar ramah, berusaha menutupi kegugupannya.
"Kenapa tiba-tiba?" tanyanya. Davendra hanya tertawa kecil melihat tingkah Allea yang menjadi sangat berbeda. Dia tak lagi penurut seperti biasanya. Jelas ada yang disembunyikan wanita itu.
"Itu..," kalimatnya terjeda dan tak ada kelanjutan untuk waktu yang lama. Seperti tersangkut di tenggorokannya. Davendra bukankah pria yang penyabar, tak hanya Allea yang punya sesuatu. Tapi pria itu juga.
Dengan cepat Davendra menarik Allea masuk tak ingin menunggu lagi. Dia berjalan cepat tanpa sadar belum menutup pintu rapat-rapat.
Pria itu mendorong tubuh Allea hingga terhempas di atas tempat tidur dan segera menindihnya.
"Akh!" rintih wanita itu. Namun dia tak bisa berkata lagi, pria itu sudah menutup penuh mulutnya dengan ciuman dalam.
Kanan kanannya menahan kedua tangan Allea di atas kepala. Sentuhannya begitu impulsif, jauh lebih liar dari yang sudah-sudah. Sementara tangan besarnya yang lain berkeliaran di blouse yang dikenakan Allea, gerakan tangan yang membuatnya berantakan.
"Kau milikku, Lea.. Hanya aku.." bisiknya, sebelum kembali mencium Allea dengan penuh gairah, bibirnya mulai bergerak turun. Namun, tiba-tiba ia terhenti.
Matanya menatap tajam leher Allea, memastikan apa yang dilihatnya. Ada bekas merah di sana. Ia tahu jelas apa itu, tatapan Davendra langsung berubah gelap. Rahangnya mengeras. Ia bangkit berdiri dengan ekspresi marah yang berusaha ia tahan. "Apa ini?"
Namun Allea kesulitan untuk menjawab, nafasnya masih tersengal-sengal karena ciuman pria itu.
"Jangan bilang itu Deon?!" suaranya dipenuhi kemarahan. Dia menatap Allea dengan ekspresi sangar yang baru pertama kali dilihatnya.
Davendra menarik tangan Allea, berniat ingin menyeretnya menuju kamar mandi. Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, seseorang menghadangnya tiba-tiba.
Deon tiba-tiba masuk dan berdiri di hadapannya, kehadiran pria itu membuat Davendra membeku. Matanya membelalak, tidak percaya melihat keponakannya berdiri di sana dengan tatapan juga penuh amarah.
"Cukup, Paman.," suara Deon terdengar tajam. "Lepaskan Lea."
Davendra mengernyit, lalu tertawa sinis. "Hah?"
"Davendra!!" pekik seseorang di ambang pintu. Davendra langsung menoleh ke sumber suara, matanya menangkap sosok lain di belakang Deon. Seorang wanita berdiri di sana tercengang dengan apa yang dia lihat. Monica. Istrinya.
Darahnya terasa berdesir dingin. Semua warna seakan menghilang dari wajah pria itu. Monica menatapnya dengan mata berkaca-kaca, sebelum mengalihkan pandangan ke Allea yang berdiri di dekat Davendra dengan pakaian yang sudah kusut dan ekspresi ketakutan.
Monica berbisik dengan suara nyaris tak terdengar.
Jadi selama ini... semua itu bukan hanya delusi ku..?
...----------------...