"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 26
Ruangan Finance juga sedang heboh dengan pesta perayaan ulang tahun hotel. Dimas, Julian, Vivi dan Rere asyik mendiskusikan model baju yang akan mereka pakai nanti.
Gladys masuk ke ruangan di tengah kehebohan, perempuan itu terheran-heran melihat para seniornya yang asyik membahas pesta.
"Kalian lagi bahas apaan?" tanya Gladys bergabung.
"Wah, pas banget kamu datang, Dys. Kami lagi bahas pesta ultah hotel, kamu udah siapin gaun belum?" ujar Vivi menghampirinya.
"Pesta?" Wajah Gladys langsung berbinar mendengar kata pesta. Gladys sangat suka pesta, suka karena dapat bertemu dengan relasi baru dan memakai gaun-gaun yang cantik.
"Kapan?" tanya Gladys.
"Lusa, rencananya hari ini aku sama Vivi mau ke butik pilih-pilih gaun usai jam kantor, kamu mau ikut gak?" ajak Rere.
Gladys mengangguk antusias. "Ikut dong!"
***
Sepulang kerja, Gladys, Rere Vivi serta Julian—yang tiba-tiba minta ikut pergi bersama-sama ke salah satu butik terkenal kota atas rekomendasi Vivi.
Semuanya pergi dengan kendaraan masing-masing begitu tiba di butik, Julian tiba-tiba menarik lengan Vivi.
"Vi, aku minta tolong kamu sama Rere pergi berdua aja ya, biarin Gladys sama aku," pinta Julian.
Vivi mengulum senyum. "Kamu naksir Gladys ya, Jul?" goda Vivi.
Julian nyengir. "Hehe, pokoknya tolong ya?"
"Sip, aman itu," ujar Vivi mengacungkan kedua jempolnya.
"Woi! Kalian berdua ngapain? Selingkuh ya?" panggil Rere dari arah depan pintu butik, dia berdiri di samping Gladys.
Vivi menoleh pada Rere dengan mendelik kesal. "Ngaco! Jangan fitnah ya!" ketusnya.
Wanita dua anak itu berlari kecil menggandeng lengan Rere masuk ke dalam butik, Rere hendak protes karena meninggalkan Gladys tapi sebelum itu Vivi membisikan sesuatu di telinganya, Rere pun mengangguk dan mereka berlalu pergi.
"Loh, mereka hilang ke mana cepet banget jalan nya?"" tanya Gladys bingung.
"Maklum aja, Dys. Namanya juga emak-emak. Udah ayo kita jalan berdua aja," ajak Julian menarik tangan Gladys masuk.
Dari jauh orang suruhan Gustav menelpon sang bos begitu keempat orang tadi masuk butik.
"Halo, Bos. Nona pergi ke butik bersama teman-teman divisinya, dia masuk ke dalam digandeng oleh karyawan pria kalau tidak salah dengar namanya Julian."
Gustav di seberang sana kontan naik pitam, ia banting pena di atas mejanya membuat Nick yang berada di sebelahnya terkejut dan hampir menjatuhkan tabletnya.
"Ada apa lagi, Pak?" tanya Nick lelah. Seminggu terakhir ini ia terus lembur mempersiapkan pesta ulang tahun hotel belum lagi menghadapi mood Gustav yang berubah-berubah seperti bunglon, jujur Nick sangat lelah.
Pasti karena Gladys lagi. Batin Nick menebak.
"Telpon Gladys, suruh dia kembali ke sini," titah Gustav.
Kan benar
Nick mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, menekan kontak Gladys, setelah telepon terhubung ia langsung saja memberitahukan perintah sang atasan.
****
"Baiklah," ucap Gladys lantas memasukan ponsel ke dalam tas kembali.
Perempuan itu menatap Julian yang sedang memilih kemeja, mereka sedang memilih baju dan belum membeli apapun tetapi Gustav sudah menyuruhnya datang. Gladys menghela napas lelah.
"Julian," panggil Gladys.
"Ya?" jawab Julian mendekat.
"Kamu mau ke bagian baju perempuan? Biar aku temanin," tawar Julian.
Gladys menggeleng. "Enggak, aku tiba-tiba ada urusan mendadak, maaf ya aku harus pergi sekarang."
"Aku antar ya?"
"Gak perlu aku kan bawa mobil sendiri, sorry ya Jul, bye," pamit Gladys berlalu pergi.
Pria itu menghela napas panjang menatap Gladys yang keluar dari ruangan baju pria.
"Gagal lagi," gumamnya kecewa.
Gladys mengendarai mobilnya untuk kembali kantor, jam pulang kantor sudah lama berlalu, gedung itu sudah sepi hanya tinggal beberapa orang penting saja yang lembur mempersiapkan acara tahunan di ruangan masing-masing.
Gladys menuju ruangan Gustav di lantai atas, karena pria itu juga lembur akhir-akhir ini bersama Nick. Gladys mengetuk pintu ruangannya dan masuk.
"Kau!" Gladys terkejut begitu masuk langsung disambut tatapan tajam pria itu. Tak hanya itu Gustav juga menunjuk wajahnya seolah-olah Gladys adalah tersangka kejahatan.
"Y—ya? Apa aku berbuat salah?" tanya Gladys menunduk mengigit bibirnya.
Gustav menghembuskan napas kasar. Memarahi Gladys hanya akan membuang energinya, sementara itu pekerjaannya masih sangat banyak.
"Duduk di sana," perintah Gustav menunjuk sofa di belakang meja kerjanya.
Gladys menurut duduk tegak di atas sofa panjang dengan meletakan tasnya pada meja kecil bulat di sebelahnya.
Pria itu kembali fokus pada pekerjaan nya yang menumpuk bersama dengan Nick yang membantu di sebelahnya.
Lima belas menit berlalu Gladys mulai bosan, ia hanya duduk tegak sejak tadi seperti patung tanpa melakukan apa-apa, karena bingung mau melakukan apa perempuan itu memutuskan untuk main ponsel saja.
Satu jam kemudian Gladys mulai mengantuk dan tanpa sadar tertidur di atas sofa.
***
Gladys terbangun pukul sebelas malam, ia mengerjapkan matanya yang berat dan mengubah posisi menjadi duduk. Saat sudah tersadar penuh ia melihat Gustav masih ada di meja kerjanya.
"Astaga, dia bekerja dari subuh sampai selarut ini," decak Gladys bangun dari sofa.
"Apakah masih lama?" tanya perempuan itu menghampiri Gustav di atas mejanya.
Namun pria itu tidak menjawab sama sekali, ia tetap fokus pada laptopnya, Nick sudah pindah ke ruangannya di sebelah.
Gladys mencebik kesal. Ia memberanikan diri duduk di atas pangkuan Gustav tetapi tetap saja Gustav tidak merasa terganggu dan melanjutkan kerjanya.
"Kamu sudah bekerja tanpa henti dari subuh, memangnya kamu tidak lelah?" tanya Gladys memposisikan kepalanya bersandar di bahu Gustav.
"Aku terbiasa seperti sejak kecil," jawab Gustav tanpa menoleh.
Gladys mengernyit. Ia tatap laptop yang menyala dan waja Gustav bergantian.
"Memangnya kamu robot tidak punya lelah," celetuknya.
Gerakan jari Gustav yang sedang mengetik terhenti.
"Mama aku bukan robot, aku lelah, tolong biarkan aku istirahat."
"Diam! Lanjutkan terus, pekerjaanmu tadi banyak yang salah kalau kau terus begini bagaimana caranya yang memimpin perusahaan, dasar anak tidak berguna!"
"Tapi, Ma. Lihat hidungku mimisan."
"Mimisan tidak akan membuatmu mati cepat kembali bekerja!"
Gustav menggelengkan kepalanya begitu ingatan masa kecilnya tiba-tiba berputar di otak. Bagaimana dia yang sejak kecil di tuntut belajar dan bekerja keras tanpa kenal lelah.
"Kamu terlihat lelah, ayo tidur." Pria itu menoleh pada Gladys yang duduk di atas pahanya.
"Ayo istirahat, suruh Nick pulang. Kasihan dia bekerja hingga selarut ini," ajak Gladys lagi.
"Kau lebih menghawatirkan dia daripada aku?" ketus Gustav.
Gladys menggeleng. "Aku khawatir kamu sakit, makannya aku ajak tidur. Ayo istirahat dan biarkan Nick pulang."
Nick yang mendengar percakapan mereka di ruangan seberang mengucap syukur berkali-kali.
Kumohon dengarkan perkataan Nona Gladys dan biarkan aku pulang, Pak.
Gustav mengangguk. "Nick, kau boleh pulang!" ucapnya pada Nick di ruangan seberang.
Yes!
"Baik, Pak."
Gladys tersenyum lebar, ia mengalungkan lengannya ke leher Gustav begitu pria itu bangkit dari tempat duduknya menuju kamar yang ada di dalam ruangan kerjanya.