Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Anggun memasukkan koper terakhirnya ke bagasi mobil, lalu menatap Kala yang berdiri di sampingnya dengan santai.
Pria itu mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru tua yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana panjang hitam. Penampilannya begitu rapi dan berkelas, seolah ia hendak menghadiri acara bisnis, bukan perjalanan ke kampung halaman istrinya.
Namun yang lebih mengejutkan bagi Anggun adalah barang-barang yang dibawa Kala.
Di bagian belakang mobil, ada beberapa kardus besar, koper tambahan, dan beberapa kantong belanja berisi entah apa. Anggun menatap semuanya dengan alis berkerut.
"Apa semua ini?" tanyanya curiga.
Kala menoleh dan tersenyum santai. "Hadiah."
Anggun menyilangkan tangan di dada. "Hadiah untuk siapa?"
"Keluargamu," jawab Kala ringan. "Juga beberapa tetangga yang mungkin datang berkunjung."
Anggun hampir tidak bisa mempercayai telinganya. "Aku tidak menyuruhmu membawa ini semua, Kala."
"Kau tidak perlu menyuruh," pria itu menjawab dengan nada santai. "Sebagai menantu yang baik, aku harus menunjukkan itikad baik kepada keluargamu."
Anggun mendecak. "Menantu yang baik? Sejak kapan?"
Kala tertawa kecil, lalu membuka salah satu kardus dan menunjukkan isinya. Ada berbagai jenis oleh-oleh dari Jakarta, termasuk makanan khas, pakaian, dan beberapa perlengkapan rumah tangga.
Anggun menghela napas panjang. "Kau tidak perlu repot-repot melakukan ini."
Kala menutup kardus itu kembali dan menatap Anggun dengan tatapan penuh arti. "Aku hanya ingin memastikan tidak ada yang meragukan status kita sebagai pasangan suami-istri. Jika aku terlihat sebagai menantu idaman, mereka tidak akan terlalu banyak bertanya, bukan?"
Anggun ingin membantah, tapi ia tahu ada benarnya juga. Keluarganya pasti akan mengawasi setiap gerak-gerik mereka, mencari celah apakah pernikahan ini nyata atau tidak.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi kalau mereka mulai curiga, kau harus ikut menjelaskan."
Kala menyeringai. "Itu sudah pasti."
Tanpa menunggu lebih lama, mereka pun masuk ke dalam mobil dan memulai perjalanan ke Tasikmalaya.
---
Perjalanan berlangsung cukup lancar, meski beberapa kali Anggun harus mengabaikan godaan-godaan kecil dari Kala yang sepertinya menikmati perjalanan ini lebih dari dirinya.
Begitu mereka tiba di depan rumah keluarga Anggun, suasana sudah ramai. Beberapa saudara dan tetangga telah berkumpul, menyambut mereka dengan hangat.
"Anggun!" teriak ibunya begitu melihatnya turun dari mobil.
Anggun tersenyum dan segera menghampiri ibunya, memeluknya erat. "Bu, aku pulang."
Ibunya menepuk punggungnya dengan penuh kasih. "Ibu kangen sekali!"
Lalu, tatapan wanita itu beralih pada Kala yang baru saja keluar dari mobil. Mata ibunya langsung berbinar.
"Kala!" serunya riang. "Akhirnya kau datang juga!"
Kala tersenyum ramah dan menyalami ibu mertuanya dengan sopan. "Tentu saja, Bu. Saya tidak mungkin melewatkan kesempatan ini."
Beberapa saudara Anggun mulai mendekat, menatap Kala dengan penuh rasa ingin tahu.
"Wah, Anggun, suamimu lebih tampan daripada di foto!" salah satu bibinya berbisik, membuat Anggun nyaris tersedak udara.
Sementara itu, Kala tampak menikmati situasi. Dengan santai, ia mulai membagikan hadiah yang dibawanya, membuat semua orang semakin terkesan.
"Astaga, ini banyak sekali, Kala," kata ibu Anggun terharu saat melihat berbagai oleh-oleh yang dikeluarkan dari mobil.
"Tidak seberapa, Bu," jawab Kala dengan senyum ramah. "Anggap saja sebagai tanda terima kasih karena sudah menerima saya di keluarga ini."
Anggun melirik pria itu dengan curiga. Kala benar-benar memainkan perannya dengan sempurna. Bahkan, sekarang beberapa saudara perempuannya mulai berbisik-bisik dan tersenyum malu setiap kali melihatnya.
Pesta keluarga belum dimulai, tapi Anggun sudah bisa merasakan kalau semuanya akan jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
Rumah keluarga Anggun dipenuhi dengan suasana hangat dan ramai. Setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta ke Tasikmalaya, Anggun hampir tidak punya waktu untuk beristirahat karena seluruh keluarganya begitu antusias menyambut kedatangan mereka—terutama kehadiran Kala.
Pria itu tampaknya sudah memenangkan hati banyak orang sejak detik pertama ia tiba. Dengan sikap ramah dan penuh perhatian, ia berbincang dengan para paman dan bibi Anggun, membantu mengangkat barang-barang, bahkan ikut bermain dengan anak-anak kecil yang berlarian di halaman.
Anggun mengamati dari kejauhan, merasa sedikit kesal karena situasi ini di luar kendalinya. Ia yang seharusnya menjadi pusat perhatian di rumah ini, tapi justru Kala yang mencuri perhatian semua orang.
"Dek, suamimu itu luar biasa!" seru salah satu bibinya, Bu Lastri, dengan nada kagum. "Ramah, perhatian, ganteng pula. Kau benar-benar beruntung!"
Anggun hanya tersenyum canggung. Jika saja bibinya tahu kebenaran di balik pernikahan mereka.
Sementara itu, ibu Anggun tampak begitu bahagia. Ia menggenggam tangan menantunya dan berkata, "Kala, terima kasih sudah menjaga anak ibu dengan baik."
Kala menoleh sekilas pada Anggun sebelum tersenyum penuh arti. "Tentu saja, Bu. Anggun adalah istri saya. Sudah seharusnya saya menjaganya."
Anggun hampir tersedak mendengar jawaban itu. Pria ini benar-benar terlalu pandai bersandiwara.
Lalu, ibu Anggun menepuk pundak putrinya. "Ibu tahu kau bukan tipe yang suka pamer kemesraan di depan keluarga, tapi jangan malu-malu, Nak. Ini suamimu sendiri."
Kala menahan senyumnya, sedangkan Anggun hanya bisa mengangguk dengan wajah datar.
---
Malam harinya, setelah makan malam bersama, beberapa keluarga berkumpul di ruang tamu. Kala masih sibuk mengobrol dengan para paman Anggun mengenai bisnis dan pekerjaan, sementara Anggun diam-diam memperhatikannya.
"Jadi, Kala, kau bekerja di bidang apa?" tanya salah satu pamannya.
"Saya mengelola beberapa bisnis di Jakarta, Pak," jawab Kala santai. "Termasuk investasi dan pengelolaan perusahaan."
Mata paman Anggun berbinar. "Wah, luar biasa! Tidak heran kau bisa membelikan hadiah sebanyak ini."
"Ah, itu hanya hal kecil, Pak," balas Kala dengan rendah hati.
Anggun berdecak pelan. Pria ini benar-benar terlalu sempurna di depan keluarganya.
Tiba-tiba, seorang sepupu Anggun yang masih remaja—Rina—mengangkat tangan dan bertanya dengan polos, "Kak Kala, Kak Anggun yang duluan suka sama Kakak atau sebaliknya?"
Ruangan langsung hening. Semua orang menatap mereka dengan penuh antusias.
Anggun menegang, sementara Kala malah terlihat santai.
"Ah, pertanyaan yang bagus," ujar Kala dengan nada menggoda. "Menurut kalian, siapa yang lebih dulu jatuh cinta?"
Beberapa saudara Anggun mulai saling berbisik dan tertawa kecil. "Pasti Anggun!" teriak salah satu dari mereka.
Anggun hampir tersedak. "Hei! Kenapa kalian langsung menuduhku?"
Kala terkekeh dan menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Aku tidak keberatan kalau memang kau yang lebih dulu menyukaiku, Sayang."
Anggun ingin menjitak kepala pria itu.
Semua orang tertawa, menikmati interaksi mereka. Namun, di tengah tawa itu, Anggun tahu bahwa drama ini semakin dalam. Dan ia tidak yakin bagaimana harus keluar darinya.
Kala mungkin menikmati permainan ini, tapi bagaimana dengan dirinya?
Mungkinkah tanpa sadar ia benar-benar mulai terbiasa dengan keberadaan pria itu di sisinya?