Aura Mejalani hubungan dengan kekasihnya selama dua tahun, dan mereka sudah merencanakan sebuah pertunangan, namun siapa sangka jika Aura justru melihat sang kekasih sedang berciuman di bandara dengan sahabatnya sendiri. Aura yang marah memiliki dendam, gadis 23 tahun itu memilih menggunakan calon ayah mertuanya untuk membalaskan dendamnya. Lalu apakah Aura akan terjebak dengan permainannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Al-Humaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Di kantor, Aura disibukkan dengan banyak pekerjaan, date line akhir bulan selalu membuat sibuk para keryawan, guna untuk menyelesaikan laporan bulanan yang cukup membuat pusing dan lelah.
Aura bolak balik menatap berkas dan layar komputernya, gadis itu tampak serius dalam kesibukkan pekerjaan yang digeluti, hingga deringan ponselnya membuatnya mengalihkan perhatiannya.
"Nomor ini," Gumam Aura, yang hafal betul nomor tanpa nama itu.
"H-halo.." Jawab Aura dengan gugup.
"Apa kau sengaja ingin membuatnya mati Aura!"
Deg
Tubuh Aura semakin menegang, wajahnya yang tadinya serius kini berubah pucat.
"T-tidak, aku hanya lupa.. maafkan aku," Katanya dengan suara bergetar.
"Segera kirimkan, jika tidak ingin dia mati!"
Klik
Sedetik kemudian, air matanya luruh, tangannya bergetar sambil memegang ponselnya.
"Sudah aku kirim, tolong jangan sakiti dia," Isi pesan yang dikirim sambil menyertakan bukti transfer dari ponselnya.
Aura menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar halus iringi air matanya yang luruh dibalik kedua tangannya.
"Aura!"
Deg
"Kamu kenapa?"
Aura membuka kedua tangannya, dan mengusap lelehan air mata yang membasahi pipinya secepat kilat.
Menyusut hidungnya, Aura memutar kursi duduknya dan tersenyum.
"A-ada apa pak?" Tanyanya dengan senyum kaku.
Enggar masih menatap Aura dengan lekat, "Kamu ada masalah? Kenapa menangis?" Tanyanya lagi dengan wajah penasaran.
Aura mencoba mengeluarkan hembusannya napas pelan untuk mengurangi sesak dadanya, bibirnya pun melengkungkan senyum.
"Tidak apa-apa pak, saya hanya ingat keluarga saya."
Aura menunduk sambil memainkan kedua jaringan di pangkuan.
"Kamu yakin?" Enggar masih belum percaya, tatapnya begitu menelisik.
Aura mendongak dan mengangguk, "Betul pak,"
Hahh
Enggar mengembuskan napas kasar, "Jika Haikal menyakiti mu, katakan saja padaku..aku yang akan memberinya pelajaran,"
Ucapan pak Enggar justru membuat Aura tersenyum, "Tidak pak, ini bukan salah Tuan Haikal," katanya jujur.
"Kalau begitu dia pasti akan galau melihat kamu menangis Aura," Katanya lagi diiringi dengan kekehan.
Aura membulatkan kedua matanya, "J-jangan beri tahu Taun Haikal, Pak." Aura menggeleng dengan wajah takut.
Mata Pak Enggar memicing, "Jadi kau takut jika dia tahu?"
"B-bukan begitu, tapi-" Aura justru bingung harus seperti apa, dia tidak ingin Haikal tahu dan justru mendesakkan untuk jujur, Aura belum siap.
"Baiklah, sepetinya kau terlalu mencintai pria tua itu," Katanya sambil berlalu pergi dengan kekehan.
Aura menghembuskan napas lega, wajahnya langsung telungkup di atas meja dengan kedua tangannya sebagai tumpuan.
"Aura!"
"Iya Pak!"
Aura langsung mengangkat kepalanya saat suara atasanya kembali memanggil.
"Santai saja, kenapa terkejut seperti itu," Ucap Pak Enggar, "Laporannya tolong selesaikan, saya akan mengantarkannya ke kantor pusat,"
Aura mengangguk.
"Dan lagi, kamu jangan sampai lupa makan, itu pesan dari calon suamimu," Setelah mengatakan itu Pak Enggar pun pergi dengan menahan senyum melihat wajah malu Aura.
"Ish..kenapa dia melibatkan Pak Enggar, kan aku jadi malu," Katanya sambil tersenyum sendiri.
*
*
Kantor pusat...
Mario mengetuk pintu besar didepanya dengan ragu, ini kali pertama dirinya menemui Papanya di kantor setelah kejadian tempo lalu.
"Masuk!"
Mario mendorong pintu setelah mendapat ijin.
"Pah," Sapanya dengan nada ragu dan wajah gugup.
Haikal mendongak, menatap Mario yang berdiri tak jauh dari mejanya.
"Ada apa?" Tanya Haikal dengan suara datar, matanya kembali sibuk dengan berkas di tangannya.
"Aku membawa berkas kerja sama dari klien di Bandung," Marion menyodorkan berkas yang dia bawa.
Haikal menaikkan alisnya sebelah membuat Mario semakin gugup.
"Kenapa kamu antar, kamu bisa menaruhnya di meja Sekertaris," Haikal meraih berkas yang Mario bawa.
Sedangkan Mario hanya mengusap pugung lehernya, sebenarnya semua berkas di terima sekertaris Haikal, namun juga ada beberapa berkas penting yang langsung tertuju pada Haikal. Dan berkas yang Mario bawa tak sepenting seperti berkas lainya meskipun juga di butuhkan.
"Sebenarnya-" Mario tampak ragu untuk bicara, lidahnya terasa kelu.
Haikal melempar pelan berkas tadi ke atas meja, dan pugungnya bersandar di bahu kursi kebesarannya dengan kedua tangan saling bertaut dengan kedua siku di pegangan kursi.
"Ada apa?" Tanya Haikal datar.
Mario semakin menelan ludahnya, meksipun sedang tidak marah, tapi aura Haikal begitu mencekam dan mengintimidasi, membuat Mario benar-benar merasa ciut.
"I-itu, apa Papa benar-benar ingin menikahi Aura?" Tanyanya dengan nada gugup.
Haikal memicingkan matanya dengan sudut bibir tertarik sedikit, seperti sedang meremehkan seseorang didepanya.
"Kenapa, apa kamu keberatan Mario?"
Mario menelan ludah, ia merasa udara disekitarnya semakin menipis sehingga menyebutnya susah bernafas.
"B-bukan begitu, tapi Aura itu mantan kekasih ku Pah, apa Papa tidak takut jika dia hanya mempermainkan Papa?"
Mario benar-benar tak rela jika Aura mendapatkan Papanya, Mario seperti kalah saing.
"Apa kau begitu tidak percaya diri, sehingga memikirkan keburukan Aura? Jelas sejak awal kaulah yang mempermainkannya, hm."
Telak, Mario bungkam tak bisa menyanggah ucapan Haikal, pria itu terdiam dengan tatapan rumit.
"Kau salah bergaul Mario, kau menyia-nyiakan wanita baik seperti Aura," Tutur Haikal dengan santai, meskipun ekpresi Mario justru tegang dan tertekan.
"Cepat atau lambat aku akan menikahi Aura, terlepas dia adalah mantan kekasih mu."
Tepuk tangan tentu saja mewakili mereka yang mendapat reward dalam kerja keras bersama, mereka selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi terbaik di setiap divisi, karena reward yang diberikan selalu bisa membuat mereka semua tersenyum cerah.
Mario mendengus kesal, pria itu keluar lebih dulu tanpa memberikan selamat untuk rekan lainya.
*
*