Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Menuju Ibukota
Mobil crossover warna metalik melaju kencang, menembus sinar terik matahari di siang itu.
Perjalanan menuju ibukota terasa cepat sebab sopir melajukan mobil kencang seakan hendak memburu waktu tiba.
Blanco duduk bersandar di dekat kursi sopir dengan raut wajah murung sedangkan Pamela, istrinya duduk di kursi penumpang bersama seorang gadis berparas cantik.
Ada empat orang di dalam mobil crossover menuju ke ibukota.
"Amrita, jangan lupa bersikaplah sopan selagi kita menemui pengusaha estate itu, demi masa depan tanah perkebunan Luhan cobalah mengalah", kata Pamela.
"Ya, ibu...", sahut Amrita.
"Hanya satu-satunya cara kita untuk menyelamatkan perkebunan Luhan, tidak ada jalan lainnya selain kita harus menemui pengusaha estate itu, uang kita sudah berkurang jika kita tidak segera bertindak maka kita akan kehilangan tanah perkebunan", kata Pamela.
"Aku mengerti, ibu", ucap Amrita.
Pamela menghela nafas panjang sedangkan pandangannya murung.
"Seharusnya ayahmu tidak terlalu mempercayai rekan dekatnya dan sekarang semua sudah terlambat karena uang kita dibawa lari olehnya", kata Pamela.
"Siapa dia ?" tanya Amrita.
"Paman Beldiq, dia telah membawa kabur uang yang semestinya akan digunakan buat pengelolaan tanah perkebunan Luhan karena kita akan panen", sahut Pamela.
"Kemana dia ?" tanya Amrita.
"Ayahmu sudah mencarinya kemana-mana akan tetapi tak satupun tempat yang berhasil dia temui akan keberadaan paman Beldiq, dia menghilang bagaikan ditelan bumi", sahut Pamela.
"Dia menipu ayah", kata Amrita.
"Yah, benar...", sahut Pamela sembari mendesah pelan.
"Dan siapa pengusaha estate itu ?" tanya Amrita. "Apa kita mengenalnya ?" sambungnya.
"Kita tidak mengenalnya sama sekali bahkan siapa dia dan siapa namanya pun kami juga belum tahu", sahut Pamela.
"Lalu kenapa kita menemui orang asing yang tidak kita kenali, lebih baik kita menemui saudara daripada orang lain, bukannya tanah perkebunan Luhan adalah tanggung jawab kita semua", ucap Amrita.
Pamela meraih tangan Amrita lalu menepuknya pelan.
"Tanah perkebunan Luhan telah diserahkan kepada ayahmu sebagai penerus generasi ketiga, hal yang tidak mungkin untuk ayahmu lakukan dengan meminta bantuan kepada saudara sebab perkebunan Luhan merupakan tanggung jawab ayahmu", kata Pamela menerangkan.
"Tapi mereka juga menikmati hasil jerih payah ayah selama ini", sahut Amrita.
"Yah, itu benar, hanya saja kita harus bisa menempatkan dimana posisi kita sebagai keluarga, anggaplah kita semestinya tahu diri", kata Pamela.
"Rasanya tidak adil...", sahut Amrita seraya memalingkan muka ke arah jendela mobil yang membawanya ke ibukota.
Terdengar suara dari arah depan mobil, Blanco berkata dari kursi depan.
"Pamela kita sudah sampai di ibukota, kemana kita harus pergi sekarang ?" tanya Blanco.
"Kita berhenti di kedai kue Trifle !" sahut Pamela seraya menunjuk ke depan.
Pamela menengok ke depan dari tempatnya duduk di belakang.
"Katanya toko kue itu berada di dekat alun-alun ibukota, hanya itulah informasinya", lanjutnya lagi.
"Alun-alun ibukota ?!" kata Blanco.
Blanco menoleh ke arah sopir yang sedari tadi sibuk menyetir mobil crossover miliknya.
"Apa kau tahu dimana letak alun-alun itu ?" tanya Blanco.
"Saya tahu tempat itu, maksud saya toko kue Trifle karena setiap panen selalu mengirim pesanan buah kesana", sahut sopir.
"Astaga, rupanya mereka adalah salah satu pelanggan kita !" seru Blanco terkejut.
"Benar, toko kue itu sudah lama menjadi pelanggan kita, mereka selalu memesan buah segar dari tanah perkebunan Luhan selama lima tahun ini bahkan saya sendiri yang mengantar pesanan mereka", ucap sopir.
"Ya, Tuhan ! Aku baru mengetahuinya !" kata Blanco takjub.
Sopir hanya tertawa sembari terus melajukan mobil crossover melewati jalan beraspal menuju alun-alun.
"Pamela, semua menjadi titik terang buat kita, berkat informasi pekerja itu, kita menemukan tempat tujuan di ibukota", kata Blanco.
"Semoga saja akan ada pertolongan bagi kita semua, sayangku !" sahut Pamela sembari tersenyum lega.
"Berdoalah, sayang ! Semoga perjalanan kita kali ini tidak akan sia-sia !" kata Blanco yang mulai terlihat senang.
Mobil crossover terus melaju cepat menuju ke alun-alun ibukota, mencari toko kue trifle yang diinformasikan itu.
Sebuah pemandangan indah langsung menyambut kedatangan mereka berempat di dalam mobil crossover warna metalik ketika mobil menuju alun-alun ibukota.
"Lihat disana !" kata Pamela sembari menunjuk lurus ke arah kaca mobil.
Terpampang sebuah papan bergambar trifle berukuran besar di atas sebuah bangunan klasik.
Hanya ada satu toko trifle di area alun-alun sehingga tidak perlu mencari-cari kemana lagi, toko yang dimaksudkan.
"Rupanya hanya ada satu toko kue yang khusus menjual trifle di sini selain itu tidak ada toko lainnya", kata Blanco.
"Ya, sepertinya begitu", sahut Pamela.
"Kita berhenti di depan toko saja daripada mobil harus memutar arah untuk parkir", kata Blanco seraya turun dari dalam mobil.
"Ya, baiklah, kurasa itu sebuah ide bagus", sahut Pamela lalu turun menyusul Blanco yang sudah berdiri di depan toko.
Pamela segera meminta pada Amrita untuk turun bersama mereka dan gadis cantik itu mematuhi perintah ibunya ikut turun dari dalam mobil.
Ketiganya langsung berjalan ke arah toko kue trifle sesuai informasi yang mereka terima dari salah seorang pekerja kebun Luhan, untuk menemukan keberadaan pengusaha estate maka mereka bisa bertanya pada orang yang ada di toko kue trifle.
Pamela menyapa ramah kepada seorang perempuan yang ada di belakang meja etalase toko kue.
"Permisi...", sapanya ramah sambil melambaikan tangan kepada seorang perempuan di dalam toko kue trifle.
"Ya...", sahut perempuan di toko kue trifle.
"Boleh bertanya sebentar, maaf jika mengganggu waktu anda disini", kata Pamela seraya tersenyum ramah.
"Ya, silahkan !" sahut perempuan di dalam toko kue trifle.
"Mmm..., saya hendak menanyakan perihal pengusaha estate yang katanya terkenal di ibukota ini, dimanakah saya dapat menjumpainya disini ?" tanya Pamela.
"Pengusaha estate ?!" kata perempuan itu agak tertegun.
"Ya, benar, katanya pengusaha estate itu sangat terkenal di ibukota, hanya dengan menanyakannya kepada orang disini maka kami dapat menemukan pengusaha itu", ucap Pamela.
"Jika pengusaha estate yang ada di ibukota ini, memang hanya ada satu orang dan dia memang terkenal tapi dia sangat misterius, tidak suka bertemu orang lain", kata perempuan itu.
"Kalau boleh tahu dimana kami dapat menemukan pengusaha estate itu ?" tanya Pamela.
"Dia tinggal di Asyer Estate, lumayan dekat dari alun-alun sini sekitar dua puluh menit maka sampai disana", sahut perempuan di toko kue memberitahukan lokasi kediaman sang pengusaha itu.
"Asyer Estate ? Dimana itu ?" tanya Pamela.
"Akan ada papan nama yang menyebutkan lokasi rumah sang pengusaha estate", sahut perempuan di toko kue.
"Apa namanya ?" tanya Pamela.
"Ya, Asyer Estate, ada tulisan di papan itu yang terpasang di dekat gerbang utama kediaman pengusaha estate dan dia satu-satunya pengusaha terkenal di ibukota", sahut perempuan di toko kue trifle.
"Terimakasih atas informasinya, kami akan pergi kesana, dan tolong bungkuskan sekotak trifle untukku", kata Pamela seraya menyerahkan lembaran uang kertas kepada perempuan di toko kue.
"Baiklah, aku akan membungkuskan sekotak kue trifle untukmu, nyonya", sahut penjual toko seraya memasukkan lima kue trifle ke dalam kotak kue lalu memberikannya kepada Pamela Blanco untuk dibawa pergi.
Pamela segera berpamitan pergi dari toko kue trifle bersama Blanco dan Amrita kembali ke mobil crossover yang menunggu mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke kediaman sang pengusaha estate di Asyer Estate.